4.2. HARUS IKHLAS?
Langkahnya terasa berat menyusuri lorong rumah sakit dan menginjak kamar nomor 356 kembali. Aurie menetralkan napasnya berkali-kali agar dapat berbicara dengan lelaki yang sangat ia sayangi itu.
"Kak," panggilan Aurie terdengar sangat lembut, sama seperti biasanya. Susah payah ia menahan semua tangisan.
"Aku kecewa Kakak bohong sama aku. Dan maklumatnya, semua yang buat aku sedih dan kecewa akan aku benci. Kakak ingat kan?"
Suara gadis itu semakin bergetar. Matanya terus memanas dan perlahan tangisnya mulai menjadi lagi, mengingat kenyataan bahwa pria yang kini bahkan tidak menjawabnya sama sekali adalah orang yang sama yang selalu mendengar keluhnya.
"Aku mohon Kakak bangun, biar aku bisa marahin Kakak karena bohong sama aku. Ajari aku benci sama Kakak," ucapnya tak karuan. Pikirannya kini sudah kalang kabut mendengar mesin elektrokardiogram yang terus berbunyi. Menunjukkan detak jantung Steve bereaksi terhadap kehadirannya.
Tubuh itu tetap bergeming. Membiarkan dada Aurie semakin sesak dan derai air matanya semakin deras.
"Tapi Kak." Tangannya mengusap pipinya yang basah. Bagaimanapun dia harus tegar. Demi Steve.
"Aku sayang sama Kakak dan aku nggak tahu caranya berhenti," lirih Aurie. "Makanya Kakak bangun, Kak. Aku mohon."
Di luar Linda dan Riana menatap Aurie sendu. Tadi pagi Linda sudah mendengar semuanya dari Revan. Mereka tahu betul, bagaimana rasanya hampir kehilangan orang yang belum benar-benar dimiliki.
Linda merutuki dirinya karena selama ini tidak memerhatikan putrinya dengan baik. Dirinya sibuk dengan pekerjaan. Membuat Steve menjadi satu-satunya orang yang selalu mengisi hari-hari Aurie.
"Aurie," panggil sebuah suara lembut dari arah pintu membuat Aurie terpaksa menoleh menatap seorang wanita paruh baya.
"Steve sudah tiga bulan nggak sadar. Dokter bilang harapannya sangat kecil untuk Steve hidup. Benturan di kepala Steve sangat kuat, membuat banyak sistem di tubuhnya jadi lemah."
"Tapi Kak Steve masih punya harapan, Tante," jawab Aurie menyela kalimat Riana. Sebenarnya, ia memaksa agar harapan itu ada. Dia terlalu tidak siap kehilangan Steve.
"Tante sama Om ikhlas, Ri," lirih Riana. Aurie menoleh lagi tak menyangka akan keluar pernyataan itu secepat ini.
Riana tersenyum pahit lalu merangkul Aurie. "Selama ini, Revan bilang semua alat ini nggak boleh dicabut sebelum kamu tahu yang sebenarnya."
Tatapannya kembali nanar menyelidik setiap alat yang terpasang di tubuh Steve. Sangat banyak, pasti rasanya sesak.
"Kalau tante boleh minta," Riana kembali tersenyum mencoba meyakinkan Aurie. Wanita itu menelan salivanya berat sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Kamu harus ikhlas juga, ya."
Aurie tertegun menatap tubuh Steve, mencoba mencerna kalimat yang baru saja Riana lontarkan. Riana hanya kembali tersenyum kemudian menepuk pundak Aurie dan meninggalkan gadis itu sendiri lagi. Ralat, berdua dengan Steve.
Aurie menggeleng terus, menepikan sebanyak mungkin pikiran yang mulai menghantuinya.
"Kak Steve," Aurie mengaitkan kelingkingnya di salah satu jari Steve, yang ia harapkan saat ini hanya sahutan dari Steve. Aurie mau membuktikan kalau harapan yang kecil itu masih bisa terwujud.
"Aku janji aku nggak akan benci Kakak, nggak akan marah-marah sama Kakak, aku akan buat Kakak bahagia, akan tetap tunggu Kakak. Asalkan Kakak bangun, Kak." Aurie menumpahkan seluruh emosinya.
Dadanya sangat sesak dan air matanya terus terjun bebas. Tubuh Steve yang tidak bergerak membuat tangisannya tak bisa berhenti. Aurie tahu status hubungannya dengan Steve belum pasti, tapi, rasa sayangnya terlalu besar. Jika memang Steve bukan jodohnya, ia harap bukan begini cara berpisahnya.
Aurie bergeming beberapa saat menatap tangannya yang terus menggenggam tangan Steve. Tatapannya sangat memohon Steve untuk bangun. Air matanya masih tetap deras mengalir.
"Tapi, Kak," mendadak napasnya netral dan senyuman lembut mulai terukir walau terlihat perih.
"Kalau Kakak mau aku ikhlas," ia menelan salivanya berat sekali lagi. Kenyataan ini terlalu pahit untuknya.
"Aku akan usahakan. Asal Kakak bisa bahagia."
Senyuman tak hilang dari wajah Aurie walau hatinya sangat sakit untuk mengatakan kalimat tadi. Gadis ini memang selalu terlalu tegar.
Keadaan mendadak panik karena mesin elektrokardiogram menunjukkan garis panjang dan mengeluarkan suara yang memekikkan telinga.
Detak jantung Aurie berdegup berkali-kali lebih cepat. Napasnya sangat terengah-engah. Sayangnya, pikirannya kosong, untuk berteriak pun dirinya tak sanggup. Perlahan tangannya terpaksa melepas genggaman tangan Steve karena seseorang menariknya keluar ruangan. Tubuhnya melemas dan sebentar lagi akan ambruk.
////
"Ri, Steve titip ini buat lo," ujar Revan.
Matahari siang ini cukup terik menyinari beberapa orang berpakaian hitam yang masih setia berdiri di tepi gundukan tanah bertaburan bunga warna merah dan putih dengan aroma khas.
Aurie tersenyum menatap pria di hadapannya yang menyodorkan sebuah flashdisk silver dengan gantungan hati berwarna merah. Tangannya mulai bergerak meraih pemberian itu, "Makasih," ucapnya.
Keadaan mulai sepi menyisakan Aurie, Revan, dan jasad Steve di bawah sana bertiga. Aurie berjongkok dan meraih nisan bertuliskan nama lelakinya.
"Kak," panggil Aurie lembut. "Kakak harus bahagia ya, walaupun nggak ada aku di sana."
Matanya mulai berkaca-kaca. Kenyataan memang sepahit itu untuknya saat ini. Sesuatu yang paling menyedihkan harus terjadi juga. Kehilangan. Air matanya mulai mengalir namun senyuman tak hilang terukir di wajahnya.
"Aku nggak pernah bilang ini secara langsung dan aku sedikit menyesal. Aku harap Kakak tetap sadar karena aku berusaha membuktikan ini," Aurie menghela napas kemudian meunduk dan berbisik.
"Aku sayang Kakak."
Keadaan hening beberapa saat diisi burung-burung yang berkicauan menghibur. Tanpa Aurie sadari Revan berusaha keras menahan air matanya yang sudah di ujung pelupuk mendengar kalimatnya tadi.
"Yuk pulang," ajak Revan mengulurkan tangannya pada Aurie.
Aurie mendongak menatap lelaki itu kemudian mengangguk dan meraih tangannya. Gadis itu berjalan mendahului Revan yang masih menatap nisan kembarannya.
"Gue akan tepati janji gue, Steve. Pasti," ucapnya sebelum melangkah menyusul Aurie.
"Ri, gue minta maaf," lirih Revan sebelum Aurie turun dari mobilnya. Kalimatnya lagi-lagi terpenggal dengan jawaban gadis yang sedari tadi memandang gantungan kunci di flashdisk pemberian Steve.
"Udah gue maafin," sahut Aurie singkat dengan senyum tipis. Entah mengapa rasanya sulit membenci lelaki ini.
"Gue harap setelah ini lo sadar," lanjut Aurie kemudian membuka pintu mobil Revan. "Banyak orang yang sayang sama lo, dan gue harap lo nggak kembali menyakiti mereka."
Revan tersenyum pahit menatap hilangnya gadis itu ditelan pintu rumah. Bagaimanapun ia harus bersyukur bertemu gadis semacam Aurie walau mungkin setelah ini dirinya akan menjalani hari tanpa kehadiran gadis itu.
***
•••
Sedih gimana ga sihh, dunia kayak runtuh buat Aurie😥BTW, bentarr lagii kita ending niihh. Gimana selanjutnya hidup Aurie nih menurut kalian?
Jangan lupa vote n comment. Your supports mean a lot! ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA LAMPU KOTA (✔)
Teen Fiction[ s e l e s a i ✅ ] [SEBUAH KISAH PENANTIAN DALAM KEDEWASAAN TAK BERUJUNG] "Bagaimana kalau suatu hari aku yang membuat Kakak jatuh?" "Kakak akan tetap suka." "Kenapa?" "Sederhana." "Maksudnya?" "Kamu sudah sering melakukannya." "Kapan?" "Setiap kal...