2.4. MAAF, RAHASIA
“Ya Tuhan, untung sayang,” Aurie menghela napasnya berat. Seandainya Steve ada di sini, pasti hidupnya sudah terancam. Aurie masuk kembali dan tidak akan menuruti perintah Steve lagi.
“Oh gitu,” ucap sebuah suara yang entah asalnya dari mana. Aurie segera membuka pintu rumahnya lagi.
Dia kenal betul itu adalah suara Steve dan ia harap Steve tidak mendengar perkataannya yang terakhir. Seketika jantungnya berdegup lebih cepat dan ia harus meremas telapak tangannya untuk mengontrol napasnya yang memburu.
“Jadi marah nggak?” tanya Steve polos lalu menyenderkan dirinya ke pintu agar dapat melihat wajah Aurie. Kini jarak mereka hanya sekitar 10 sentimeter hingga Aurie harus berkali-kali mengerjapkan matanya agar jantungnya tidak lepas sekarang juga.
“Nggak deh,” jawab Aurie setelah beberapa lama Steve mengunci pandangannya. Ia segera beralih dan duduk di teras rumahnya, bersandar pada pilar disana.
Steve mengikuti Aurie dan duduk di sisi lain pilar, membuat keduanya tidak dapat saling melihat lagi. Beberapa waktu mereka sibuk menikmati langit yang tampak cerah malam ini.
“Tumben ke sini. Biasanya lagi buat tugas,” ujar Aurie tanpa menoleh.
“Di rumah lagi ada urusan lain. Dan Kakak tahu kamu butuh teman,” jawaban Steve terdengar penuh keragu-raguan. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
“Urusan lain?” Aurie menoleh melihat Steve yang masih sibuk mencari bintang di atas sana.
“Iya,” jawab Steve singkat lalu mengubah posisinya ke sebelah Aurie. Aurie melirik lelaki di sebelahnya sejenak. Ia mengerti jawaban Steve mengartikan bahwa ia belum mau cerita soal urusan lain yang dikatakannya tadi.
Mereka sibuk menatap langit hitam cerah lagi. Raut wajah Aurie sendu, menujukkan bahwa gadis itu sedang memikirkan sesuatu.
“Kenapa?” tanya Steve tanpa basa-basi. Saat itu juga Aurie langsung menoleh dan mengerti arah pertanyaan Steve.
Gadis itu tersenyum kecil kemudian menatap langit lagi, “Papa sama mama udah satu minggu nggak ada kabar.” Steve menatapnya prihatin. Papa dan mamanya Aurie sedang bekerja di luar kota, tapi, Aurie tentu tak menyangka jika sampai tak berkabar.
“Wajar nggak kalau aku sirik sama keluarga Kakak?”
Steve mengernyitkan dahinya lalu menatap Aurie dalam. Pertanyaannya terlalu sulit untuk ia jawab.
Sebenarnya Steve sedikit banyak tahu kondisi keluarga Aurie. Papa dan mamanya selalu sibuk bekerja. Dalam satu hari hanya sempat untuk mengantar Aurie ke sekolah, sisanya mereka berada di kantor atau ke luar kota. Sejak kecil, Aurie lebih sering ditemani asisten rumah tangganya, Bi Kiran. Selain itu, Aurie adalah anak tunggal, membuat rumahnya yang cukup besar terasa sangat sepi jika tak ada papa dan mama. Walaupun begitu, Aurie tak pernah berhenti berpikir positif jika mereka melakukan itu untuk masa depannya. Itu kenapa dia selalu berusaha menjadi anak yang dewasa dan mandiri.
“Apa yang kamu lihat belum tentu sama dengan yang terjadi, Ri. Kemarin selalu tergantikan dengan hari ini, dan hari ini dengan besok. Selalu ada seseorang yang menggantikan kemarin-mu yang bahagia dengan hari ini yang menyakitkan. Dan menyakitkan saat orang itu seakan-akan dirimu sendiri.”
Lelaki itu tersenyum pahit menatap Aurie, “Hanya harapan yang bisa mengubah semuanya.”
Jawaban Steve membuat Aurie lagi-lagi bertanya-tanya tentang apa yang terjadi sampai Steve keluar rumah malam-malam. Sayangnya, ia tahu lelaki itu tidak pernah bisa dipaksa untuk bercerita. Lagi-lagi dia harus menunggu. Aurie juga sedikit menyesal karena telah manganggap masalahnya terlalu berat di hadapan Steve yang tampaknya memiliki masalah lebih berat. Egois, batinnya.
“Nggak ada bintang, kamu lihat apa?” tanya Steve setelah melihat Aurie yang bergeming menatap langit sejak jawabannya yang terakhir. Bintang-bintang sepertinya memang sudah tertutup polusi kota yang padat ini.
“Lampu-lampu itu,” jawab Aurie menunjuk jajaran lampu kota di seberang rumahnya.
“Yuk ikut,” ujar Steve tanpa basa-basi lalu langsung menarik Aurie keluar gerbang rumahnya. Perlakuannya lagi-lagi membuat Aurie pasrah dan memilih mengikutinya.
“Malam-malam nyulik anak orang,” gumam Aurie selagi tangannya masih ditarik Steve menyeberangi jalan. Steve menoleh lalu tersenyum dan kembali fokus berjalan. Senyumnya terkesan sederhana dan selalu mampu membuat Aurie bungkam dan kembali tersenyum.
Steve memilih untuk mengajak Aurie duduk di bangku tepi jalan dan menatap aspal yang tersorot cahaya kuning lampu kota. Mereka memang unik, sering bersama dan sangat menikmati saling diam untuk waktu yang lama. Membiarkan hati yang berbicara pada satu sama lain.
“Kamu terlihat sangat suka menatap lampu-lampu ini,” Steve akhirnya memecah keheningan antara dirinya dan Aurie.
Aurie tersenyum menoleh ke arah Steve, “Lampu-lampu ini selalu menemani aku mengerjakan tugas. Biasanya hanya bisa ditatap dari jauh, baru kali ini sedekat ini. ternyata mereka sangat indah.”
“Kamu mau tahu apa yang membuat mereka indah?”
“Apa?”
“Kamu.”
Jawaban singkatnya menggantung di udara dan bergeming di hati Aurie. mengukir senyum indahnya lagi. Steve selalu saja tahu cara membuat gadis itu tersenyum.
“Kenapa aku?”
“Sesuatu akan indah saat yang melihatnya mengatakan dia indah,” jawab Steve logis.
Aurie mengangguk setuju. “Itu pentingnya kita harus melihat segala sesuatu dari sisi indahnya, kan?”
Steve tersenyum menatap gadis di sebelahnya lalu meraih tangan Aurie yang terkait di ujung kursi, menahan agar kakinya tetap dapat ia silangkan di bawah kursi.
“Maaf, ya,” ucap Aurie tiba-tiba membuat Steve terheran dan menatapnya dalam.
“Aku nggak selalu ada buat Kakak. Aku selalu fokus dengan masalah aku”
Steve tersenyum melihat tingkah gadis polosnya itu. Dia tahu Aurie selalu berhasil membaca bahasa tubuh dan mengartikan setiap ucapan bahkan tatapannya dengan cepat. Mata Steve terlalu jujur untuk membohongi gadis sepeka Aurie.
“Ri, it’s okay to not be fine.” Steve menepuk punggung tangan Aurie yang sedari tadi ia genggam, menyalurkan ketenangan agar gadis itu tidak terus-menerus merasa bersalah.
“Kakak tahu nggak? Lampu kota ini menyimpan banyak rahasia,” ujar Aurie setelah merasa lebih tenang berkat ucapan Steve tadi.
“Ada rahasia kamu juga?” tanya Steve serius.
“Ada, tapi aku juga nggak tahu apa,” jawabnya polos.
“Gimana? Kan rahasia kamu?” tanya Steve lebih serius lagi.
“Kan rahasia,” Aurie tersenyum penuh kemenangan. Segera pria itu mengacak gemas rambut gadis di sebelahnya. Dia sadar saat ini dan seterusnya ia akan sangat menyayangi gadis dingin penakluknya ini. Selamanya.
***
“Saya mohon,” ucap sebuah suara dicampur isak tangis menggemakan lorong rumah sakit yang sepi.
•••
Kira-kira mohon apa ayoo?
Btw, thanks for your vote guyss!❤
(Good newsnya skrg Rahasia Lampu Kota ada di urutan ke 373 dalam #hujan)
Your supports mean a lot!✨
![](https://img.wattpad.com/cover/227010087-288-k960883.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA LAMPU KOTA (✔)
Ficção Adolescente[ s e l e s a i ✅ ] [SEBUAH KISAH PENANTIAN DALAM KEDEWASAAN TAK BERUJUNG] "Bagaimana kalau suatu hari aku yang membuat Kakak jatuh?" "Kakak akan tetap suka." "Kenapa?" "Sederhana." "Maksudnya?" "Kamu sudah sering melakukannya." "Kapan?" "Setiap kal...