4.3. THANK YOU, NEXT?
“Hai, Auristella Arabelle.”
“Kakak sengaja buat video, karena kalau tulis surat tangan Kakak sakit,” Steve melirik tangannya yang dibalut kain berwarna biru. Kalimatnya diselingi tawa kecil. “Plus, Kakak harap kamu bisa tetap lihat Kakak setelah ini, walau cuma lewat layar.”
“Bisa aja,” jawab Aurie seraya tertawa kecil memandang senyum Steve yang sangat dipaksakan. Perih.
“Banyak cerita berawal karena pertemuan dingin dan hangat. Ternyata, mereka salah ya. Kamu yang dingin nggak perlu jadi api dulu untuk buat Kakak mencair.”
Aurie sedikit tersipu mendengar perkataan Steve, matanya terus membendung agar air mata tidak meluncur. Lelaki ini benar-benar terlalu menguasai hatinya.
“Kamu ingat pertama kali bertemu cameraman nyebelin waktu SMP? Sejak saat itu, kamu harus hati-hati menilai orang, Ri,” ujar Steve bijak, “Kan sayang banget cewek kayak kamu jadi suka sama orang nyebelin.”
Aurie terkekeh mendengar godaan Steve sekali lagi. Namun rasa sakit itu semakin besar saat dirinya berusaha tersenyum.
“Di sisi lain, Kakak bersyukur banget. Karena pertemuan itu, ketakutan terbesar Kakak untuk jatuh langsung hilang. Karena kamu berhasil membuat Kakak merasakan jatuh paling indah dan kamu lakukan itu berkali-kali. Jahat, kan?”
“Dan setelah itu,” Steve melanjutkan kalimatnya. “Ketakutan Kakak berganti. Dari jatuh jadi kecewa. Kamu tahu kenapa? Karena lebih besar kemungkinan kekecewaan itu terjadi dalam diri kamu.”
Aurie tersenyum kecut menatap seringaian licik dari bibir pucat Steve. Lelaki itu selalu saja bisa membuat Aurie tersenyum walau dalam balutan gips dan selang oksigen di hidungnya. Dapat Aurie tebak Steve sangat berjuang untuk berbicara karena napasnya tersenggal-senggal.
“Nggak boleh senyum-senyum sendiri, Ri,” ujarnya masih dengan seringaian licik seakan tahu apa yang Aurie sedang lakukan.
“Ri,” panggilnya dari dalam video membuat Aurie yang menunduk dan mengusap air matanya kembali menatap laptop.
“Kakak lakukan berbagai cara agar kamu nggak kecewa. Dan Kakak sadar, semua cara Kakak justru bikin kamu lebih kecewa. Kakak sudah melakukan kebohongan terbesar, Ri.”
Kali ini Steve tidak dapat menahan air matanya. Kristal bening mulai terjun bebas dari pelupuk matanya, membuat Aurie yang melihat mau tak mau ikut menangis. Ini terlalu perih, apa lagi perkataan Steve selanjutnya.
“Kakak mohon jangan benci Kakak, Ri.”
Lelaki itu terlalu tahu tabiat gadisnya. Membuat isakan Aurie semakin menjadi melihat Steve yang tetap berusaha tegar di dalam video.
Steve mengusap pipinya, “Kamu adalah cinta pertama dan terakhir Kakak, Ri. Walaupun Kakak bukan yang terakhir buat kamu.” Lelaki itu tersenyum kembali.
“Kakak cuma mau bilang, terima kasih, Aurie. Kamu berhasil tunjukkan kalau ada orang yang lebih dingin dari Kakak. Serem, kan?” Steve terkekeh pelan.
“Tapi,” Steve memenggal perkataannya. “Dibalik dinginnya kamu, kamu juga orang yang mengajarkan Kakak arti kata sabar. Kamu yang nggak pernah menyerah sama semua tingkah laku Kakak. Kamu, Auristella Arabelle, satu-satunya orang yang mendefinisikan jatuh cinta begitu nyata.”
Aurie terpaku mendengar perkataan Steve. Air matanya terus mengalir walau bibirnya tersenyum kelu bersama detak jantungnya yang memburu, menahan sesak di dadanya.
“Setelah ini, tepati janji kamu, Ri,” ucapan Steve berubah serius. “Kamu janji akan bahagia terus, kan? Kakak punya informan hujan dan lampu-lampu kota loh ya kalau kamu nangis! Harus bahagia. Ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA LAMPU KOTA (✔)
Roman pour Adolescents[ s e l e s a i ✅ ] [SEBUAH KISAH PENANTIAN DALAM KEDEWASAAN TAK BERUJUNG] "Bagaimana kalau suatu hari aku yang membuat Kakak jatuh?" "Kakak akan tetap suka." "Kenapa?" "Sederhana." "Maksudnya?" "Kamu sudah sering melakukannya." "Kapan?" "Setiap kal...