BAB 2 (HARAPAN, HUJAN, HATI)

20 6 2
                                    

2.2. SAYANG KAMU

“Ri, kita tunggu hujan reda ya.” Steve sepertinya sedari tadi menyadari kecemasan Aurie dari sorot matanya yang ia lihat di spion. Setelah melihat Aurie mengangguk dari kaca spion, Steve pun menepikan motornya di depan sebuah tempat bekas toko yang kini sudah tidak berpenghuni.

Mereka duduk di teras memandang jalanan yang masih digandrung oleh banyak pengendara yang tampaknya terburu-buru menghindari hujan yang mulai turun. Beberapa kali Aurie tahu jika Steve memandangnya sembari tersenyum kemudian kembali melihat jalanan dan dia memilih diam.

Setelah jalan cukup sepi, Aurie merasa mulai bosan jika harus tetap bertahan tanpa suara bersama Steve begini. Jadi, ia putuskan untuk memulai pembicaraan. Sesuatu yang sangat jarang ia lakukan.

“Kak,” panggilnya dengan suara lirih, takut mengganggu ketenangan Steve. Kemudian ia melirik pria di sebelahnya yang tampak terus memerhatikan jalan yang basah diguyur air hujan.

“Hm?” Steve menoleh dan melempar senyumnya. Rasanya sudah sangat lama Aurie tidak melihat senyum ini. Tampak tulus dan tanpa beban.

Aurie menghela napas, mencoba menghilangkan rasa deg-degannya agar dapat berbicara denga tenang. “Kita mau sampai kapan seperti ini?” tanyanya lirih menatap Steve penuh harap.

Steve tertegun sejenak. Rasanya ia sangat bersalah dengan memilih untuk menjauh. Padahal jelas Aurie sama sekali tidak salah, bahkan dirinya rela bertahan dalam masalah yang tak ia mengerti selama 5 bulan.

“Semuanya salah Kakak, Ri,” jawab Steve singkat tanpa membalas tatapan Aurie.

“Prinsipnya semua masalah akan selesai jika dibicarakan, kan?” ujar Aurie seraya menyejajarkan pandangannya dengan Steve. Menatap jalanan kosong yang basah. Prinsip ini memang disebut-sebut harus menjadi yang terutama sejak keduanya memiliki hubungan spesial.

“Iya. Kakak tahu nggak akan pernah bisa jauh dari kamu. Bodohnya, Kakak pernah mencoba hal itu,” ujar Steve mengundang tanya Aurie semakin dalam. Gadis itu memeluk lututnya dan terus menatap pria di sebelahnya, memilih untuk diam dan menunggu penjelasan selanjutnya.

“Clara itu sahabat Kakak dari SD. Dulu waktu SMP dia pernah suka sama Kakak, padahal dia tahu posisinya Kakak suka sama kamu. Tapi, Clara bilang kamu nggak akan bisa suka sama Kakak. Akhirnya, Kakak coba buka hati buat Clara dan kenyataannya Kakak tetap nggak bisa. Lalu pas Kakak akhiri semuanya, Clara nggak pernah bisa terima itu, bahkan sampai detik ini,” jelas Steve panjang.

Aurie menatap Steve nanar. Dia tidak menyangka sosok yang dewasa dan tenang di hadapannya ini pernah melalui kebimbangan yang begitu hebat.

“Kakak minta maaf. Selama ini Kakak nggak bermaksud menjauh. Tapi, Kakak nggak mau Clara melakukan sesuatu yang jahat sama kamu, dia orangnya nekat. Mungkin dengan Kakak menjauh kamu akan aman dari ancaman Clara.”

Aurie memejamkan matanya dan menghela napas. Rasanya sekarang seluruh tubuhnya merinding. Bukan karena cuaca menjadi dingin karena hujan, tapi, ia menyadari lagi-lagi ia harus bersabar menghadapi Steve dan cara pikirnya yang terlalu jauh.

“Ri,” panggil Steve setelah beberapa lama Aurie tidak merespon kecuali dengan hembusan napas.

“Kak, aku bisa jaga diri aku, tapi, nggak dengan menjauh dari Kakak, kan?” jawab Aurie sedikit kesal dan tatapannya berubah tajam.

“Dengan Kakak menjauh, justru aku akan semakin dalam bahaya. Nggak ada yang bisa aku jawab kalau sewaktu-waktu Kak Clara tanya aku karena aku nggak tahu cerita sebenarnya,” jelas Aurie lagi. Kali ini spertinya dia benar-benar kesal.

“Maaf, Ri,” ucap Steve lirih melihat tingkah gadisnya yang tidak seperti biasanya. Sangat terpancar jika selama 5 bulan Aurie memendam semua kekesalannya sendiri. Buktinya setelah Steve minta maaf dia memilih diam dan menatap jalanan kosong lagi.

“Aku mengerti,” ucap Aurie tiba-tiba memecah keheningan di antara keduanya yang sudah cukup lama.

Seketika mata Steve berbinar mendengar ucapan Aurie. Nadanya terdengar sangat lembut dan penuh pengertian, sama seperti biasanya. Senyuman mulai terukir di bibirnya dan matanya memandang Aurie lekat, mungkin tak berkedip.

“Aku nggak pernah marah, Kak. Aku tahu Kakak punya alasan dibalik semua ini dan pasti cukup serius, makanya aku tunggu Kakak cerita. Tapi, setelah ini, please, kalau ada apa-apa cerita. Jadi aku tahu dan mungkin bisa bantu Kakak.”

Jawaban Aurie terdengar tenang dan tulus membuat Steve tak sanggup membendung air mata harunya lagi. Spontan ia bergeser mengikis jarak yang ada antara mereka kemudian merangkul Aurie dan meletakkan kepalanya di atas bahu Aurie.

“Makasih, ya, Ri. Kakak selalu beruntung punya kamu yang dewasa dan selalu jadi pendengar yang baik.”

Aurie tersenyum kemudian melirik Steve. Dia yakin, ternyata lelaki dewasa, tenang, dan dingin semacam Steve tidak butuh gadis hangat dan periang. Justru membutuhkan gadis dingin yang bisa mendengarkan dengan baik dan mengerti semua kata-katanya yang terkesan dangkal dengan dalam.

“Kenapa kamu nggak marah, Ri?” tanya Steve usai melepas rangkulannya, mengangkat kepala kemudian menatap Aurie.

Aurie tersenyum. Dia tahu Steve akan memberinya pertanyaan ini. “Tadinya mau,” jawabnya singkat.

“Terus, kenapa nggak jadi?”

“Karena semua orang akan jadi rapuh saat ditinggal orang yang dia sayang, nggak terkecuali sahabatnya. Sejahat apa pun caranya meninggalkan.”

Steve tersenyum kemudian menunduk. Kata-kata Aurie benar, bagaimanapun Clara tetaplah seseorang yang pernah ia sayangi dan mengisi hari-harinya. Bahkan, masa kecil mereka selalu dihabiskan bersama.

“Maaf ya kalau Kakak sering buat kamu kecewa. Kakak sayang kamu,” ucap Steve pelan dan terdengar sedikit bergetar di tiga kata terakhir, namun masih sangat jelas terdengar oleh Aurie.

Steve meraih tangan Aurie yang mulai pucat karena udara cukup dingin. Spontan ia melepas jaketnya kemudian menyampirkannya di bahu Aurie.

Aurie menatapnya lekat dengan senyum yang sangat hangat. Membuat Steve sedikit salah tingkah dan jantungnya berdegup tak karuan, menciptakan aliran kuat dalam setiap nadinya. Tatapan mata Aurie tulus, tenang, dan penuh kasih sayang. Sudah lima bulan tidak ia lihat dan itu menimbulkan kerinduan tersendiri bagi Steve.

“Aku juga.” Jawaban Aurie hari itu seolah menjadi penutup yang indah untuk lima bulan melelahkan yang mereka lalui tanpa kejelasan.

***

Tanggal 4 Januari merupakan hari penting bagi keluarga Steve. Pasalnya, hari ini adalah ulang tahun pernikahan orang tuanya yang ke-30 tahun. Setiap tahun mereka selalu merayakan hari ini dengan membuat pesta kecil-kecilan. Biasanya hanya keluarga dan kerabat dekat saja yang diundang, untuk sekadar makan-makan dan potong kue.

Happy Anniversary!” ujar Steve sesaat setelah Aurie mengunci pintu rumahnya.

•••
Sesuai ekspektasi kalian ga nih kelanjutannya?😁 Enjoy! Jangan lupa vote n comment yaa💛

RAHASIA LAMPU KOTA (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang