BAPAK MENTERI

92 7 0
                                    

Bayangkan seandainya kita bisa membaca takdir. Ketika kita masih berada di taman kanak-kanak, mungkin guru-guru kita tidak akan bertanya, "Apa cita-citamu, Nak?"

"Aku ingin jadi dokter, Bu!" atau "Aku ingin jadi tentara, Bu." Dan akan jarang yang menyampaikan, "Aku ingin jadi guru, Bu!" bahkan tidak ada yang mengatakan, "Aku ingin jadi tukang becak, Bu." Apalagi pengamen, pedagang asongan dan sejenisnya. Seandai saja ada lembaga survey yang meneliti, tentu pilihan pertama dan kedua adalah peringkat teratas dengan prosentase 98,9% dan deviasi 0.00%. Tapi pada kenyataannya, di dunia ini profesi kita beragam. Dan bahkan profesi yang kita sandang bukan bagian dari cita-cita masa kanak-kanak kita. Cita-cita kita adalah antara pilihan, keterpaksaan dan takdir. Hanya ada batas limit antara pilihan dan takdir, yang mana limit sebenarnya tak bisa diterjemahkan secara kongkrit untuk otak kita yang hanya sekepal.

Dan pula seandainya takdir sudah ditunjukkan Allah setelah kita lahir, mungkin seharian kita tak perlu berencana. Semuanya sudah bergerak secara otomatis. Tenaga-tenaga refleks menggerakkan tangan kita makan, mandi dan tidur. Bekerja tanpa memahami keinginan yang kita harapkan, semua berjalan begitu saja, bahkan tertawa dan menangis muncul begitu saja. Kiranya kita hanya akan menjadi benda mati yang bergerak sendiri.

Ah, tak mungkinlah Allah berbuat begitu pada seluruh makhluknya. Memang keadilan Allah adalah pada saat kita masih memandang gelap masa depan kita. Gelap tentang kejadian semenit yang akan datang.

Misalkan saja, beberapa waktu lalu tetanggaku masih berbincang dengan aku tetapi satu jam kemudian meninggal tersengat listrik karena ada kabel putus yang nyangkut ke tali jemuran dari kawat. Padahal esok hari tetanggaku hendak pergi haji. Ceritanya, tetanggaku ingin menjemur sajadah yang kemarin kena kencing kambing yang tiba-tiba masuk ke mushola. Kambing itu ketakutan karena dikejar-kejar adikmu sambil membawa cambuk dari ikatan lidi aren yang pohonnnya tumbuh di depan rumahmu. Andaikan saja tak ada pohon aren di depan rumahmu. Andaikan saja kamu tak punya adik. Andaikan saja kambing itu tidak lari masuk mushola. Andaikan saja tali jemuran itu tidak dari kawat. Pastilah tetanggaku tidak meninggal hari itu, dan mendapat titel haji di depan namanya sebelum tetanggaku meninggal. Lantas siapa yang salah, yang menanam pohon aren di depan rumah, adikmu, atau kambing itu, atau yang memasang tali jemuran dari kawat?

Begitulah kiranya hidupku saat ini, mungkin pula hidupmu. Di sekitar rumahku saja, ada anak yang sedang membuat layang-layang, tiba-tiba menjadi pegawai Pertamina dan sering terbang ke Timur Tengah. Ada yang berbakat menggambar, tetapi kemudian menjadi penjual burung. Ada yang mengaji setiap hari pada Kyai Kusdar, tetapi kuliahnya tak pernah selesai-selesai dan dia memilih menjadi pengusaha tahu di Padang. Ada yang tak pernah menyelesaikan sekolah, justru telah membangun rumah mewah setelah sukses menjadi TKI di Arab Saudi. Ada yang semasa kuliahnya menjadi aktivis kampus sehingga dikejar-kejar tentara Orde Baru, sekarang menjadi sopir angkot.

Sedangkan aku sendiri yang masih gamang terhadap hadirnya takdirku yang tak pernah memuaskan. Atau mungkin ketidakpuasan itu yang telah menjadi takdirku. Aku menjadi guru di sebuah sekolah swasta yang diragukan masa depannya. Padahal dulu ketika ditanya Bu Guru tentang cita-citaku, aku ingin menjadi Menteri Pendidikan. Tetapi profesiku tak terlalu jauhlah dengan cita-citaku, masih seputar pendidikan. Siapa tahu tiba-tiba ada tokoh politik yang mengajakku bergabung dengan partainya. Kemudian aku aktif di dalamnya, aku selalu menjadi asistennya saat dia kampanye. Bahkan, kalau dia berhalangan hadir memenuhi undangan para tokoh-tokoh pendidikan, aku yang mewakili dia bicara di depan mereka untuk menyampaikan arah perjuangan partai. Kebetulan aku pernah menjadi guru, aku bicara soal pendidikan. Aku bicara soal kesejahteraan guru, soal sertifikasi yang tak objektif, soal kebocoran soal ujian nasional oleh oknum-oknum pendidik, soal kualifikasi guru yang baik. Eee...tak tak tahunya para tokoh pendidikan itu tertarik dengan yang aku sampaikan. Mereka lebih mengenalku daripada tokoh politik itu. Pada tahun berikutnya, mereka memaksaku untuk menjadi caleg dengan biaya yang disponsori oleh kroni-kroni tokoh pendidikan itu. Aku hanya mengeluarkan biaya kampanye 0,00000001 %. Bukan main, karena hasil kerja keras tim sukses para tokoh pendidikan itu, aku berhasil menjadi anggota legislatif yang terhormat. Mulailah aku dikenal oleh anggota legislatif yang lain, dan karena latar belakangku sebagai guru swasta, maka aku menjadi salah satu anggota komisi yang khusus membahas pendidikan. Aku pun mulai mengkritik kualitas pendidikan di Indonesia yang jauh terpuruk dibanding Vietnam, karena ini terkait dengan anggaran pendidikan yang kurang dari 9%, karena kesejahteraan guru yang masih jauh dari standar layak, karena sistem ujian yang hanya menguji ranah kognitif, karena beban kurikulum yang terlalui tinggi. Sehingga salah satu calon presiden tertarik dengan pemikiranku. Dan ketika calon presiden itu jadi presiden beneran, tanpa fit dan propertes, aku ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan. Bukankah begitu kiranya perjalanan takdir itu.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang