MENYUSUN MISI

6 2 0
                                    

Satu minggu sudah berlalu menunggu pemulihan di rumah ibu, Blitar. Aku rasa kepulihanku mendekati normal. Aku sudah bisa jalan-jalan sambil menghirup udara pagi yang memberiku rasa damai. Menginjak tanah kelahiran rasanya seperti menginjak surga kembali. Kembali aku bisa melihat tetes embun di kebun belakang rumah, kembali aku bisa melihat hamparan sawah di mana aku bisa bercengkerama dengan bintang-bintang di kala malam, kembali kunikmati musik alam berupa gesekan sayap jangkrik. Surga yang terlalu damai yang justru membuatku tidak kerasan karena ambisiku mengejar obsesi menjadi Mendiknas. Meski obsesi itu pada akhirnya mengabur dan membentuk alur yang tak terarah. Alur yang menjadi tak seindah perjalanan cinta Romeo dan Juliet, atau alur tragis antara Rara Mendut dan Pranacitra. Aku telah menjadi pemberontak terhadap kedamaian surga itu. Kedamaian itu menurutku tidak dinamis hingga aku meniru Adam untuk memakan buah kuldi, dan berharap Tuhan melemparnya ke dunia yang penuh tantangan. Hidup yang sebenarnya hidup. Biarlah kupuaskan dulu hidup pada dunia fana yang pada suatu saat pasti aku akan merindukan surga itu kembali.

Semenjak keberangkatan kembali ke Surabaya setelah memperoleh gelar Sarjana Sastra, aku hanya pulang dua kali. Pertama saat lebaran, itupun hanya dua hari pada tanggal merahnya saja dan cuti bersama menjelang Natal dan Tahun Baru. Tak kurang dari lima puluh kali penerbitan majalah DUNIA JIN sudah aku lalui. Liputan dunia ghaib yang telah kususun menjebakku untuk menjauh dari obsesi semula. Batu lompatan itu pun tak pernah aku temui, justru aku terpikat pada batu pijakan pertama.

Saat aku berada di Blitar kembali, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di pembaringan karena sisa pusing efek operasi kadang masih menyerangku. Saat itulah aku kembali merenung. Pada saat di pembaringan itu kilasan-kilasan kenangan perjalanan seperti diputar ulang, tentang bagaimana aku mendapat gelar sarjana sastra, tentang tekadku untuk menjadi Mendiknas, tentang perjalananku bersama DUNIA JIN, tentang pengejaran cincin Sulaiman, tentang pertemuanku dengan Kyai Mursid di dunia entah berantah, tentang perjalananku ke lorong waktu, tentang kecelakaanku yang tidak bisa kuiingat kejadiannya, dan yang terakhir pertemuanku dengan perawatku yang cantik. Pembaringan ini membuatku untuk break down sejenak untuk menyusun alur berikutnya. Aku harus punya pilihan.

Aku akan memilah misiku menjadi tiga. Pertama, misi jangka pendek yakni menemukan pekerjaan baru meskipun aku belum resmi keluar dari majalah DUNIA JIN. Kedua, misi jangka menengah menemui perawatku sekedar mengenal lebih dekat. Ketiga, misi jangka panjang yakni mengejar posisi Mendiknas. Ada pula misi di luar misi, yakni menemui Kyai Mursid di alam nyata.

Pada malam itu, ketika kami, aku, Bapak dan Mak sedang bercengkerama di depan televisi, di sela-sela iklan sinetron Cinta Suci, aku sampaikan kembali maksudku seperti ketika aku berpamitan ke Surabaya beberapa waktu lalu, "Mak. Bapak. Besok aku akan kembali ke Surabaya."

Sudah kuduga sebelumnya, ada sorot keterkejutan dari mata Mak. Sedangkan Bapak seperti tak mendengar apa yang kusampaikan. Bapak begitu menikmati asap rokoknya yang berputar-putar di depan wajahnya.

"Kamu akan kembali jadi wartawan?" tanya Mak. Bapak sedikit melirik ke arahku. Menunggu.

"Menurut Mak enaknya bagaimana?"

"Kalau menurut Mak juga Bapakmu kamu tak perlu balik ke Surabaya. Tapi aku tak yakin kamu memilih tetap tinggal di sini."

"Dia kan sudah dewasa, jangan paksa dia memilih. Persoalan mushola, aku masih bisa merawatnya, meski hanya dengan adzan," Bapak menimpali. Justru kata-kata Bapak ini yang menjadi penghambat terbesar niatku ke Surabaya kembali. Masalah mushola yang pernah kusampaikan dulu, ibarat gambaran AA Navis dalam Robohnya Surau Kami, memang memberi hujatan tersirat padaku, seharusnya kamu yang muda ini melanjutkan misi mengabdikan hidup pada langit. Sekali lagi aku melawannya dengan sanggahan, 'Aku masih butuh dunia untuk usiaku yang belum genap tiga puluh tahun.' Mushola samping rumahku, selalu saja menjadi hantu ketika aku pulang. Mushola itu selalu mengejarku pada perasaan bersalah. Setiap kali aku pulang, baik ketika aku masih kuliah atau saat bergabung dengan majalah DUNIA JIN, aku selalu diposisikan sebagai imam sama Bapak. Padahal salatku lebih sering tak genap lima kali sehari. Akankah mushola itu tak akan ada imamnya sepeninggal Bapak? Dan bagi Bapak, aku satu-satunya harapan bukan kedua kakakku. Alasannya sederhana, hanya aku yang mengenyam pendidikan agama nonformal Madrasah Diniyah dalam waktu yang panjang, dari kelas 1 SD sampai 3 SMA. Sementara kedua kakakku, mengaji di Madarasah Diniyah hanya terputus sampai kelas 6 SD. Bacaan Al Quran-ku lebih layak diperdengarkan sebagai imam, meskipun tidak terlalu tertib tajwidnya. Selain daripada itu, kedua kakakku yang sama-sama laki-lakinya semenjak menikah tak pernah lagi bersentuhan dengan lantai mushola meski hanya menjadi makmum. Alasannya sederhana, 'Capek. Salat tak harus berjamaah.'

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang