SIMALAKAMAKU

6 2 0
                                    

Majalah DUNIA JIN dalam banyak hal telah membuatku tertarik. Tetapi kata tertarik saja tidak bisa membuat hidupku lebih hidup. DUNIA JIN berada dalam ambang ketiadaan menurut kenyataan pancaindera. Masalahnya, rata-rata manusia hidup dalam pancaindera. Sehingga DUNIA JIN hanya akan menggugah keheranan, dan keheranan adalah sensasi perasaan yang memberi efek kesenangan. Tak lebih DUNIA JIN adalah majalah hiburan sekaligus pelipur lara ketika manusia berada dalam kebuntuan batin. Akibat yang lebih tragis mendorong manusia untuk kembali pada zaman primitif, seperti gambaran Tuhan ala Karen Amstrong yang ditelurkan melalui buku "Sejarah Tuhan", kita akan kembali pada dunia paganisme. Paganisme tak lebih keren dibandingkan dengan dinamisme atau animisme. Itulah sifat dasar manusia ketika belum berbenturan dengan petuah para Rasul, Nabi, Rabi atau Mesias. Dan aku terjebak pada penyesatan umat yang semestinya sudah memasuki zaman ranah nalar. Hidup dalam dunia mistis menjadi terlalu sempit makna dilihat dari fungsi manusia sebagai makhluk bumi. Karena Tuhan tak pernah menjadikan manusia hanya sekedar untuk main-main, dan Tuhan tak sedang bermain catur dengan buah caturnya manusia. Tuhan menciptakan manusia dengan bahan dasar tanah, karena dalam banyak hal tanah selalu memberi manfaat. Unsur tanah pada manusia melingkupi daging dan tulang bahkan juga darah. Artinya tanah merupakan unsur dominan yang membelenggu cahaya dalam qalbu dan membelenggu api dalam nafsu. Manusia adalah makhluk seimbang, sehingga pantaslah kalau manusia dijadikan makhluk paling mulia dan jauh lebih mulia dibandingkan jin dan malaikat. Dan pantaslah jika jin dan malaikat diminta sujud pada manusia oleh Tuhan karena hierarki kemuliaan. Pada manusialah sifat keTuhanan dihembuskan melalui ruh suci. Manusia telah dijadikan wakil Tuhan di muka bumi untuk mengaturnya agar kembali dalam fitrah. Kesadaran akan fungsi itulah menjadikanku lari dari majalah DUNIA JIN untuk berharap menjadi Mendiknas.

Menjadi Mendiknas mungkin kekonyolan. Ketika pertama kali Kamu membaca novel ini dan kuungkapkan niatku menjadi Mendiknas, aku yakin seyakin-yakinnya, Kamu tertawa tergelak atau paling tidak tersenyum, minimal tertawa dalam hati. Karena aku sendiri kadang juga mentertawakan diriku sendiri terhadap cita-citaku yang terlalu berlebihan ini. Ah, bagiku ini tak terlalu berlebihan karena aku tak pernah mencita-citakan jadi Presiden. Karena bagiku jadi Presiden di negeri ini akan memangsa buah simalakama, kalau ingin masuk surga akhirat berarti harus menikmati neraka dunia atau kalau merasakan surga dunia berarti harus siap dengan neraka akhirat. Menjadi Mendiknas ini hanyalah impianku pribadi. Tak seorang pun tahu, bahkan orang terdekatku. Kalaupun ada yang pernah mendengar cita-citaku ini dari mulutku, mereka tak lebih menganggapnya lelucon. Lelucon dari manusia kerdil bernama Jatmiko. Lelaki minim prestasi kecuali juara I tingkat Kabupaten membaca puisi dan harapan 2 lomba pingpong tingkat Kecamatan. Tapi aku serius, meski aku tak terlalu yakin. Tak terlalu yakin yang kulawan dengan meyakinkan diri secara terus menerus dan senantiasa kuteriakkan dalam setiap benakku. Inilah teriakku dalam hati, bisa juga dianggap sebagai dzikir, "Aku adalah calon Mendiknas. Aku adalah calon Mendiknas. Aku adalah calon Mendiknas." Bahkan, jika Kamu bedah otakku, barangkali di pangkal otakku akan terekam tulisan Mendiknas begitu kuat dan belum pernah terhapus oleh memori lain.

Jadi, ketika Pimred DUNIA JIN memaksaku untuk menyelesaikan pengejaran berita tentang cincin Sulaiman adalah jebakan simalakama. Sebenarnya tak sulit untuk melarikan diri dari DUNIA JIN di kota Surabaya yang lumayan besar ini. Bisa saja aku meninggalkan kos, kubuang pager-ku, sehingga aku tak dikejar-kejar lagi. Meninggalkan jejak di negeri ini tak terlalu sulit, teroris yang konon musuhnya negara saja mudah sekali berpindah lokasi persembunyian dan tidak diendus aparat, atau bahkan publik figur yang korup saja bisa meninggalkan jejak. Apalagi aku, cecunguk yang tak diperhitungkan, terlalu mudah untuk menghapus jejak. Tapi aku di sini menjadi sadar kalau aku tak pernah bisa lari dari masalah yang kemudian meninggalkan masalah bagi orang lain. Akhirnya simalakamaku kutelan juga. Kukejar juga cincin Sulaiman itu untuk kedua kalinya. Dan sekarang aku sedang berada di dalam bus antar kota jurusan Surabaya – Ponorogo.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang