KOSONG

10 3 0
                                    

Ilmu yang diwariskan Kyai Lanang masih menggantung di kepala Nurdin. Paham, tetapi sulit memahamkan pada kebutuhan lahirnya. Kehidupan harus tetap berputar. Satu kehendak yang ingin dicapai Nurdin dalam langkah berikutnya. Kebaikan. Kebaikan adalah hakikat Tuhan Allah, Yah Weh, Kristus, Sang Budha, Sang Yang Widi, atau pun Tuhan-Tuhan tak bernama. Tuhan yang banyak nama itu tetap satu hakikatnya dan Nurdin tetap meyakini Tuhan satu-satunya adalah Allah. Tuhan yang telah diwariskan dari nenek moyangnya. Tuhan yang tak terkontaminasi kepentingan apapun. Tuhan yang tak dipolitisir untuk kepentingan dunia. Tuhan milik hatinya.

Ada satu pelajaran buat Nurdin selama empat tahun bersama Kyai Lanang, meski tak semua bisa kuceritakan padamu Kawan, yakni tidak adanya doktrinasi. Nurdin diberi kebebasan berpikir meski itu hal yang paling "tabu" untuk dilogika. Kukatakan "tabu" karena menyentuh persoalan hakikat keTuhanan sekalipun. Itulah kiranya tantangan zaman modern yang semuanya dituntut dengan logika. Agama bukan lagi hanya menjadi serangkaian pelajaran mitos yang harus diyakini dalam keraguan sehingga mudah luntur oleh kepentingan duniawi. Agama harus mampu menjawab perkembangan ilmu pengetahuan sebagai bentuk anugerah atas dinamisnya daya pikir manusia. Sehingga tak ada lagi sangkalan semacam ini, 'Hush, Tuhan tidak untuk dipikirkan, tetapi yakini saja.' Cukup puaskah otakmu?

***

Empat tahun sudah berlalu Nurdin tinggal bersama Kyai Lanang plus menempuh ilmu di Mualimin (Pendidikan Guru Agama/PGA). Seharusnya Nurdin menyelesaikan pendidikannya itu tiga tahun, jadi molor setahun. Molor bukan karena kebodohannya tetapi waktu memaksa Nurdin untuk mengulurnya menjadi empat tahun di Mualimin. Ada dua sebab, Kyai Lanang dan jualan tempe. Rasa penasaran pada Kyai Lanang dan kebutuhan hidup memaksa Nurdin menyampingkan belajarnya di PGA. Jangan kira sedikit yang mengalami seperti Nurdin, bersamaan dengan kelulusan Nurdin tak kurang dari separuh kelas dinyatakan harus mengulang.

Pengulangan lebih dari separuh kelas itu, kata Bapak, biasa Kawan! Jangan samakan pola pendidikan dulu dan sekarang. Kalau dulu lulus atau naik tingkat itu hal yang luar biasa tapi sekarang tidak lulus atau tidak naik tingkat itu adalah yang luar biasa. Lantas kesalahannya ada di mana? Lulus masa lalu adalah lulus sebenar-benarnya lulus, tetapi lulus sekarang adalah karena proyek. Proyek gengsi dan prestise yang justru meletakkan kualitas pendidikan Indonesia pada peringkat di bawah Vietnam. Inilah pendidikan Indonesia yang masih berpedoman pada prinsip banyak beban sepi makna, bukan sebaliknya. SDM yang dihasilkan lebih banyak berposisi di ambang, tengah-tengah bin nanggung. Hasil akhirnya, tak mampu mengelola Sumber Daya Alam sendiri dan lebih banyak mengekspor tenaga kasar ke luar negeri untuk jadi TKI dan TKW. TKI dan TKW inilah berjuluk pahlawan devisa negeri yang kaya raya ini.

Kembali pada Nurdin. Selepas dari Mualimin Nurdin langsung mendapat tawaran mengajar. Tawaran ini langsung dari Departemen Agama Tulungagung yang ditawarkan pada para alumnus Mualimin tiap tahunnya. Jadi, tahun 1960-an itu lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah banyak membutuhkan tenaga pendidik. Kebalikan dengan akhir tahun 1990-an hingga sekarang Kawan, justru kebanyakan tenaga pendidik yang membutuhkan lowongan untuk jadi guru. Lulusan ilmu pendidikan sekarang harus mengantri seperti semut dengan perbandingan yang tak seimbang dengan kebutuhan. Hasil akhir, saling sikut terjadi melalui tawar menawar kursi dengan nilai rupiah tertentu. Siapa yang mampu membayar kursi lebih tinggi, itulah pemenangnya. Akhirnya, apa yang diharapkan dari kualitas pendidikan dalam negeri jika tenaga pendidik berorientasi pada balik modal daripada mendidik anak bangsa. Mental anak didik yang dididik oleh pendidik korup akankah menjadi tenaga profesional yang bermoral? Hukum alam menjawabnya, tidak mungkin!

Sorry, aku harus kembali pada nasib Nurdin lagi. Nurdin ditempatkan pada sebuah Madrasah di Tulungagung Selatan. Seperti yang aku ceritakan dulu, wilayah selatan Jawa, seperti Malang Selatan, Blitar Selatan, Trenggalek, Pacitan dan seterusnya sampai ke barat adalah deretan Gunung Kidul yang identik dengan kekeringan, kemiskinan serta kebodohan. Ini sudah image, Kawan. Sampai sekarang belum berubah meski sudah berubah.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang