MANUSIA BIASA

6 2 0
                                    

Kenyamananku naik kereta api di siang itu agak terusik. Lamunanku tentang Nugi baru saja selesai dan akan aku pindahkan pada Tari, tetapi ketika memasuki stasiun Bangil, tiba-tiba serombongon sporter sepak bola berkostum hijau merangsek masuk dengan paksa. Petugas stasiun kelihatan tak berkutik melihat tingkah para sporter yang tak bertiket. Petugas itu pun hanya terbengong menyaksikan puluhan sporter yang bagai tawon segera menyerbu kereta. Sesaat kemudian kereta penuh sesak dengan penumpang gelap bernama sporter. Mereka berdesakan di lorong-lorong, berjubel di depan pintu, dan bergelantungan di atap kereta. Para penumpang tampak tegang. Berita tentang sporter sepak bola Indonesia selalu memberi image kurang baik: nekad dan brutal. Sporter terus bertambah pada stasiun-stasiun berikutnya. Aku hanya berharap tidak terjadi apa-apa, meskipun sesekali kulihat sporter yang dengan setengah memaksa minta rokok pada penumpang. Daripada terjadi masalah, penumpang itu pun memberikan rokoknya meski harus menyerahkan semua. Tetapi untunglah, sampai stasiun Gubeng tidak ada masalah yang berarti. Tak terjadi aksi perusakan atau pelemparan batu seperti yang ditayangkan di berita-berita televisi. Sampai Stasiun Gubeng rasanya aku terbebas belenggu ketegangan sesaat. Satu gerbong bersama sporter kereta api hari itu telah menjadi sport jantung tersendiri yang memberi kesempatan bagiku untuk sedikit melupakan kenangan indahku.

Sekitar jam tiga siang aku sampai di kos. Tak seorang pun tahu kedatanganku, karena memang pada jam itu sebagian besar teman kosku masih berada di tempat kerjanya: Tono kerja di Hotel Santika biasa pulang pukul enam sore, Arif kerja di Pujasera Plaza Surabaya biasanya pulang jam sembilan malam, Muji kerja di Warung Soto biasanya pulang jam sepuluh malam, Herman kerja di Restoran Kowloon biasanya pulang jam sepuluh malam. Masih ada dua teman yang di kos, yakni Didit yang bisa dipastikan masih tidur karena dia mendapat julukan manusia kelelawar. Kerjanya di Garden Discotic dengan jam kerja antara pukul 19.00 s.d. 03.30 pagi. Satunya lagi Dayat, mahasiswa hukum yang belum lulus hingga 15 semester. Sempat kuintip kamarnya yang sedikit terbuka, tubuhnya yang cukup panjang tampak melingkar memeluk bantal.

Persis dua bulan aku meninggalkan kos, 13 Januari 1999 pukul delapan pagi aku meninggalkan kos bersama Mahmoud untuk berburu cincin Sulaiman dan aku masuk kembali ke kos 13 Maret 1999. 13 Januari 1999 pukul delapan meninggalkan kos, 13 Januari 1999 petang hari aku berada di alam entah barantah. Rentang antara 14 s.d. 16 Januari 1999 sejarah hidupku terhapus karena baru tanggal 17 Januari s.d. 10 Februari 1999 aku tercatat menjadi pasien kecelakaan di RSUD Malang. 10 Februari s.d. 12 Maret aku istirahat total di Blitar. Pertemuanku dengan Mahmoud seakan masih terasa beberapa saat yang lalu. Memori pertemuan dengan Kyai Mursid seperti dibentang ulang.

Selama dua bulan, rupanya tak seorang pun yang mengusik kamarku. Gelas kopi kosong mengering masih pada posisi sesaat aku meninggalkan kos. Demikian juga dengan lipatan kertas hasil kopian gambar cincin Sulaiman masih tergelak di samping gelas kopi. Pertanyaan untukku sendiri tiba-tiba saja terlontar, 'Akankah kamu melupakan perjuanganmu mengejar cincin Sulaiman? Akankah perjalananmu yang panjang itu kamu akhiri sampai di sini dengan hasil sia-sia?' Gara-gara pertanyaan itu, kopian gambar cincin Sulaiman yang semula kuniatkan akan kurobek-robek, aku batalkan. Rasanya misi mengejar cincin Sulaiman harus berlanjut. Kunci utama keberadaan cincin Sulaiman, Kyai Mursid, belum aku temui di alam nyata. Suatu saat aku akan mengejar ulang.

Sehabis menjamak takhir salat Dzuhur dan Ashar, kurebahkan tubuhku di atas sajadah dan terlelap karena penat.

***

Menjelang Maghrib, aku terbangun. Sempat aku mengira saat itu sebagai pagi hari. Cukup lama aku terduduk di sajadah sambil mengingat-ingat hari, kapan aku memulai tidur? Hari apa ini? Baru aku sadar ketika dari arah masjid terdengar lantunan khas ayat-ayat Al Quran menjelang Maghrib dari Radio Kembang Kuning, ...biksalismul fusyuku ba'dal iman. Wamallam yatub faulaaika humudholimuun. Kemudian adzan Maghrib terkumandang dari masjid-masjid. "Astaghfirullahal 'adziim," spontan mulutku beristighfar. Sadarlah aku tentang larangan tidur sehabis Ashar hingga Isya', karena kita akan menjadi seperti orang linglung sesaat. Dan apabila itu terakumulasi maka tidak sehat bagi kejiwaan, dan lebih jauh lagi menjadi gila.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang