SANG IMAM

5 2 0
                                    

Satu jam perjalanan, kami telah sampai di rumah Haji Rustam. Memasuki halaman Haji Rustam seperti hendak memasuki lorong waktu dan kembali ke masa lalu. Rumah Haji Rustam seluruh arsiteknya memanfaatkan impresi kuno. Pilar, pintu dan jendelanya berupa ukiran kuno, berbahan baku kayu jati wangi asli. Tidak hanya kuno dalam hal bentuk, tetapi memang bahannya kuno dan dari zaman kuno. Pilar, pintu dan jendelanya dibeli dari rumah-rumah kuno. Ada kemungkinan sebenarnya berasal dari bagian istana kerajaan-kerajaan modern antara abad 15 dan 17, begitu kata Haji Rustam. Aku bisa maklum informasi Haji Rustam, karena memang itu sudah menjadi hobinya, koleksi barang-barang antik. Tetapi jangan dibayangkan pilar, pintu dan jendelanya itu berukir bagus, rapi dan dipelitur mengkilap hingga tampak batiknya kayu. Kayu-kayu itu dibiarkan apa adanya dengan warna kusam dan tuanya. Sama sekali tak diperhalus. "Itulah letak seninya, membiarkan semua apa adanya. Dalam kebersahajaan masa lalu ini justru saya melihat kekayaan dan keindahan sejati," kata Haji Rustam menanggapi saranku untuk memoles ukiran-ukiran itu.

Ketika kami datang, Haji Rustam sedang santai bercengkerama dengan koleksi anggrek-anggreknya. Seulas senyum dilemparkan pada kami. Aku pun segera merasa nyaman setelah dirundung kegundahan selama perjalanan.

"Assalamu'alaikum..." sapa Haji Rustam mendahului, menyadarkanku kalau kami belum salam. Aku menjadi agak kaku menjawabnya.

"Tafadhol..tafadhol," kami dipersilakan di sebuah gazebo panggung setengah terbuka. Semilir angin dan cuap-cuap burung cemblek menyambut kami. Kekakuan terjadi sesaat, tak ada yang memulai meski basa basi. Hanya saling senyum yang tak ada maknanya.Seharusnya aku yang memulai, tapi dari mana?

"Yang namanya Mahmoud mana ini? Semuanya kok kelihatan berwajah Mahmoud," Haji Rustam membuka pembicaraan dengan sedikit gurau. Kami tersenyum. Senyumku terasa hambar, seharusnya itu yang harus aku lakukan: memperkenalkan.

"Yang duduk di tengah itu namanya Mahmoud, Pak Haji. Duduk samping kirinya Umar dan samping kanannya Mustofa," perkenalanku terasa canggung. "Dan saya Djatmiko," padahal Haji Rustam sudah tahu namaku. Memang kusengaja sedikit bumbu guyonan yang kuharap menjadi pencair. Sedikit disambut gelak Haji Rustam, dua teman Mahmoud tersenyum tak paham. Guyonanku ternyata hanya untuk Pak Haji.

"Perkenalanmu seperti mau cerdas cermat saja. Sebentar." Haji Rustam turun gazebo. Seorang perempuan berumur menunggu di teras. Bisa kutebak, dia pembantu dan diminta mengambil suguhan untuk kami. Haji Rustam kembali bergabung dengan kami, duduk membentuk setengah lingkaran.

"Jadi Pak Mahmoud ini yang punya cincin Sulaiman?" tanya Haji Rustam.

Mahmoud mau bicara, tetapi aku mendahului, "Mahmoud ini hanya perantara dan yang lebih tahu posisi cincin Sulaiman, dua temannya ini Pak Haji." Dua teman Mahmoud mengangguk.

Raut wajah Pak Haji seketika agak berubah, "Lha, terus posisi cincin sekarang ada di mana?"

Mahmoud bicara dengan bahasa Arab pada kedua temannya. Pak Haji manggut-manggut, mungkin memahaminya.

"Ya, itu tadi Pak Haji. Posisi cincin itu memang tidak pada kami. Kami nanti yang akan menghubungkan pada penyimpan cincin itu," jelas Mahmoud.

"Siapa?" tanya Pak Haji memberi kesan tak begitu suka. Raut keramahan itu seketika sirna.

"Kyai Mursid, pengasuh pesantren di Ponorogo," jawab Mahmoud. Semacam ada gumpalan di dadaku, kecut. Perjalanan ini akan menjadi panjang jika diturutkan. Seketika aku bimbang, terus atau berhenti. Deadline dari pimred terasa menghimpitku. Tiga hari lagi, majalah harus terbit. Aku sama sekali belum setor berita. Semestinya esok hari tinggal editing.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang