MENJEMPUT IMPIAN

7 2 0
                                    

Tak sia-sia perjuanganku semalam. Tepat jam 11.00, aku duduk berhadapan dengan perawatku, Tari, Lestari Dwi Anggraini di teras kamar kosnya. Inilah wajah aslinya tanpa kostum putih-putihnya, tanpa make up, baju sederhana: kaos tak bercorak dengan warna jingga dan trining hitam bergaris merah dan putih. Demikian juga dengan rambutnya, dibiarkan masih acak dan diikat tali rambut berwarna ungu. Tak ada keangkuhan dalam tampilannya, justru dari kesederhanaan itu terpancar exotisme yang mengukuhkan kebenaran lagunya Ahmad Dani, "Makhluk Paling Sexy." Penampilan apa adanya ini aku kira adalah kesengajaan untuk menunjukkan kesejatian diri. Atau Tari ingin membuktikan diri, bahwa kecantikan fisik sejati pada seorang perempuan adalah saat bangun tidurnya. Kesan pertama memang begitu menggoda, dan sudah sepantasnya kalau hatiku berteriak, "Eureka."

"Kata Ayu, semalam Mas Jatmiko sudah ke sini?" tanyanya menyentuh rasa simpati.

"Ya. Aku hanya spekulasi saja, barang kali kamu ada."

"Mas nggak kontak dulu."

"Bagaimana bisa kontak, kamu hanya kasih alamat?"

"Kan bisa telepon 108."

"Kenapa aku tak kepikiran begitu, ya? Tapi tak apalah, yang penting aku sudah bertemu kamu." Aku sedikit melirik reaksinya. Dia agak gugup kurasa, hinggsa ada kebisuan sesaat. Aku sengaja tak melanjutkan percakapan. Aku menunggu reaksinya.

"Mas Jatmiko nginap di mana?"

"Menginap? Aku bermalam di masjid."

"Mas Jatmiko tak punya saudara di Malang?"

Aku geleng kepala.

"Tak punya teman di Malang?"

Aku geleng kepala.

Dia tampak berpikir menatapku. Tatapannya terasa unik saja. Aku baca apa yang hendak dia katakan, 'Mas bermalam di masjid hanya untuk menemui saya?'

"Mas bermalam di masjid hanya untuk menemui saya?"

"Ya. Ada yang salah?"

"Tidak salah tapi aneh."

"Anehkah seseorang yang bermalam di masjid untuk memenuhi hasrat hati?"

"Maksudnya?"

Terlalu cepat rasanya aku mengatakan itu. Aku pun membelokkan pernyataanku, "Hasrat hati bertemu dengan seseorang yang berjasa dalam hidupnya."

"Ah, Mas Jatmiko terlalu menyanjungku. Itu kan sudah kewajiban profesiku."

"Aku tak peduli. Bukankah profesi tetap memerlukan ketulusan agar tidak sekedar mekanis, yang kemudian diperhalus dengan kata kewajiban?"

Kulihat dia hanya tersenyum. Untuk kali ini aku tak bisa menerjemahkan senyumnya. Suasana terasa menjadi kaku.

"Ah sudahlah, mengapa aku menjadi bicara serius. Yang jelas aku ke sini bukan untuk yang serius-serius. Intinya aku ke sini hanya untuk bermain dan memastikan kebenaran alamat yang kamu berikan." Kucairkan kembali kekakuan sesaat.

"Kalau ternyata alamat itu tidak benar?"

"Ya...berarti salah."

"Kalau salah?"

"Ya...aku tak akan bertemu kamu."

"Kalau kamu tidak bertemu aku?"

"Ya...patah dech hatiku." Ups tak seharusnya ini kuucapkan. Artinya itu membuka perasaanku lebih cepat. Betul kan, akhirnya dia tersipu.

Yah, begitulah Kawan. Pertemuan itu cukup menyenangkanku. Tiba-tiba saja aku menjelma menjadi manusia baru kembali. Bisalah kiranya kau simpulkan sendiri, aku sedang jatuh cinta. Dan jatuh cinta itu seakan sudah menjadi semestinya, karena aku laki-laki dan dia perempuan. Cinta itu seakan menjadi simpel bagiku, dia menarik secara fisik dan keakraban yang begitu cepat. Hanya karena itu, telah mengubah makhluk bernama perempuan yang saat itu duduk di depanku telah menarikku pada warna merah jambu. Warna merah jambu itu menjelma ke dalam rupa jantung yang banyak orang mengartikan sebagai 'love' atau 'cinta'. Rasa cinta, secara klise aku sampaikan, adalah anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Cinta. Cintalah yang telah menginspirasi ribuan lagu para musisi, cinta pula telah menginspirasi para pujangga menguntai kata-kata indah lewat syairnya, dengan cinta pula regenerasi berlangsung terus menerus dari dua manusia bernama Adam dan Hawa hingga terbentuk keluarga Bani Adam yang bertebaran di muka bumi. Aku tak pernah merasa bersalah, jika kemudian Tari, perawatku, kupilih menjadi penumbuh cintaku. Tetapi yang jelas aku tak akan buru-buru mengungkapkan perasaanku. Biarlah cinta itu tumbuh seperti benih yang disemai, tidak buru-buru dan kemudian layu. Cinta itu harus tumbuh secara alami mengikuti alur hidup semestinya, bukan hasil kloning dari ribuan mayat cinta atau rekayasa genetika yang menghasilkan generasi cepat tumbuh namun tak memiliki usia lama. Cinta itu musik yang keluar dari perpaduan gesekan biola atau tiupan seruling gembala yang mengalir lamban diterpa semilir angin. Cinta bukanlah serangkaian tombol digital mesin-mesin modern yang justru melemahkan keinginan untuk menikmati berlama-lama. Cinta adalah cinta, cinta bukan bercinta, juga bukan tercinta, bukan pula pecinta, apalagi percintaan, dan yang lebih parah lagi bukanlah bercinta-cintaan.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang