REALITAS TAK MASUK AKAL

7 2 0
                                    

Ini salah satu kejadian aneh hidupku yang tak kutulis dalam bagian 110 halaman reportaseku. Namanya saja kejadian aneh, dipastikan mengandung unsur tidak masuk akal. Sebelumnya aku mohon maaf pada Kalian, kalau bab sebelum ini aku sudah menghujat hal-hal yang tak masuk akal, kemudian aku bercerita sesuatu hal yang tak masuk akal. Ini kedengarannya aku tak konsisten. Jangan salah mengerti dulu dengan maksud hujatanku. Hujatanku itu hanyalah ketidaksukaanku dengan hal-hal yang tak masuk akal setelah memasuki dunia tak masuk akal selama dua tahun kurang sedikit. Tapi aku tetap meyakini bahwa yang tak masuk akal tetaplah sebuah realitas, realitas tak masuk akal. Dan satu-satunya realitas tak masuk akal di luar reportase-reportaseku ini harus aku ceritakan karena ini menyangkut sejarahku akan datang, jika Kalian masih setia dengan ceritaku berikutnya. Dan aku punya alasan khusus mengapa itu tak kutulis dalam naskah reportaseku yang terakhir. Kamu nanti juga pasti tahu itu, tapi simpulkan sendiri.

***

Setelah pulang dari Kyai Mursid, Pak Tua aku mendapatkan kepuasan terakhirku dalam pengejaran berita misteri. Bukan kepuasan pada objek beritanya tetapi lebih pada terlepasnya dari belenggu. Setelah hari itu aku tak terikat lagi dengan berita-berita yang memaksaku harus menemui tempat-tempat angker, para dukun, manusia-manusia aneh atau jin. Hasil reportaseku tentang cincin Sulaiman semacam sertifikat agar lulus ujian dan aku bisa melanjutkan misiku sebenarnya.

Perjalanan Ponorogo – Surabaya menjadi sangat ringan. Saking ringannya aku terlelap sangat nyenyak meski bus yang kutumpangi hanyalah bus kelas ekonomi tak ber-AC. Suara bus itu mirip kaleng bekas yang digelindingkan, sangat ribut. Tapi keributan bus itu tak tertangkap gendang telingaku karena aku dibuai mimpi indah. Mimpi itu berjalan secara slow motion. Aku bermimpi tentang Kyai Mursid yang menyerahkan kotak cincin Sulaiman padaku dengan cuma-cuma. Kotak cincin itu aku masukkan di saku samping tasku, kemudian aku menjabat tangannya dan meninggalkan rumah Kyai Mursid. Masih dalam ritme slow motion aku melangkah menjauh, menjauh, dan ketika kutengok ke belakang rumah Kyai Mursid menghilang perlahan-lahan. Aku tersentak bangun, ketika bus itu seperti terguncang oleh lubang jalanan. Sesaat saja, kemudian aku terlelap lagi dalam mimpi yang sama. Mimpi itu berulang dan berulang hingga lima kali, hingga bus memasuki gerbang terminal Bungurasih, Surabaya.

Sampai di kos, aku rasakan penat yang berlebih. Aku tak melakukan apa-apa, kubanting tubuhku di kasur bahkan tak sempat kulepas sepatuku. Aku kembali terlelap dan mimpi itu berulang untuk keenam kalinya. Pada akhir mimpi aku tersentak bangun, kemudian kuraih tasku, kubuka saku sampingnya. Kotak berwarna emas dengan kaligrafi tak berharokat tergolek di sana. Dadaku serasa sesak karena degup jantungku begitu cepat. Siapa yang memasukkan kotak ini? Bayangan Pak Tua terlintas di benakku. Tapi bagaimana dia memasukkan ke saku samping tasku? Aku menjadi ingat pencopet Wonokromo, jelas Pak Tua lebih lihai dari para pencopet itu.

Perlahan-lahan kuambil kotak seukuran kotak snack yang terbuat dari bahan logam. Kukira kotak itu terbuat dari bahan sejenis kuningan. Yang jelas bukan kotak buatan baru. Ahli arkeologi yang mampu memastikan ketuaan kotak. Untuk menyembunyikan barang berharga, kotak itu terlalu mudah untuk dibuka. Kalau cincin-cincin itu bertuah, kupastikan kotak itu bukan wadah aslinya. Atau memang sebenarnya cincin-cincin itu tak memiliki wadah. Kotak itu hanya dikait kawat seukuran lidi, dan ada penekannya. Sehingga kalau penekan itu ditekan sedikit saja, pengait kawat itu terlepas dan kotak terbuka. Dalam kotak itu tergolek tiga belas cincin dalam posisi tidak teratur. Cincin-cincin itu seperti tak bernilai, sangat biasa, tanpa permata., hanya berupa kerangka berpola hexagon/bintang segi enam/bintang Daud/simbol bendera Israel. Israel, negara yang paling dibenci oleh kebanyakan orang Islam. Israel, tanah yang banyak melahirkan para Nabi keturunan Ibrahim, kecuali Muhammad.

Apa yang kurasakan saat melihat cincin-cincin itu? Semestinya aku melompat kegirangan, mendapatkan tiga belas azimat tanpa mengeluarkan mahar. Semestinya aku bisa menghitung keuntunganku dengan menjualnya pada Haji Rustam. Kalau Pak Tua pernah mengatakan kalau cincin-cincin semacam itu dapat diperoleh di pasar Ampel, itu bagiku hanya olok-olok konyol.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang