PERTEMUAN

7 2 0
                                    

Nurdin turun gunung di antar sama muridnya dengan mengendarai sepeda unta sampai kota kecamatan yang letaknya sudah di tanah datar. Dengan numpang cikar, semacam gerobak yang dieret sapi, Nurdin menuju Tulungagung. Untuk menuju Blitar, Nurdin melewati daerah Ngunut. Sampai Ngunut, Nurdin istirahat untuk membuka bekal makanan yang dibawakan oleh Pak Modin. Pada sebuah toko yang ditutup, Nurdin berteduh di emperannya. Saat sedang asyik melahap makanan, terlihatlah oleh Nurdin seorang perempuan di seberang jalan. Perempuan ini kelihatan capai, dan agak kebingungan. Pakaiannya yang lusuh membuat hati Nurdin tergerak untuk mendekat. Disegerakan makannya, kemudian mendekati perempuan. Menurut rasa Nurdin perempuan itu pasti sedang tak punya arah. Apalagi hari sudah menjelang sore, tak pantaslah jika ada perempuan berjalan sendirian. Masa itu masih tabu melihat perempuan berjalan sendiri, tak elok menurut adat.

"Permisi Mbak. Boleh tahu Mbak mau ke mana?" tanya Nurdin.

Perempuan ini agak terkejut. "Saya mau pulang ke Blitar."

"Wah, satu tujuan kalau begitu."

Inilah pertemuan Nurdin dengan Surati. Pertemuan mereka ini sangat cepat menumbuhkan benih rasa cinta. Hanya dalam hitungan hari, bertemulah dua keluarga dalam perayaan perkawinan yang sederhana. Karena pernikahan itulah yang kemudian dijadikan alasan Nurdin untuk mengajukan mutasi ke Blitar. Dari pernikahan itulah kemudian terlahir empat anak dan salah satunya adalah aku, Djatmiko, S.S. , lelaki yang masih gamang menghadapi masa depan.

***

Satu minggu sudah sejak wisuda itu aku berada di rumah. Aku seperti tak punya gambaran langkah hidup selanjutnya jika berlama-lama di rumah. Kampung halamanku sepertinya sulit aku gantungkan harapan dengan gelar S.S.ku. Rutinitas di rumah membuat otakku semakin tumpul. Aku seperti terputus dari tali ilmu yang banyak kudapatkan di perguruan tinggi. Bahkan tak ada pemicu bagiku untuk menyalakan otakku dan semakin tumpul saja otakku. Inikah yang dinamakan terputusnya jembatan antar dendrit dalam otak? Benang-benang penghubung antar dendrit itu menipis akibat tak ada aliran listrik yang memicunya. Dan kalau ini didiamkan pastilah kantung-kantung memori otakku akan mengerak dan mengkristalkan ilmu yang kudapatkan. Saat-saat kritis itulah aku benar-benar merasakan ilmu dan hikmah adalah semacam makanan bagi otak dan hatiku. Dan apabila dilanjutkan akan menjadi penyakit hati yang menghilangkan rasaku.

Beginilah kegiatan selama seminggu itu yang bisa kulakukan: Bangun tidur kemudian salat Subuh. Habis itu tidur lagi. Bangun agak siang, makan, ngopi, mandi dan nonton TV sampai terkantuk-kantuk di depan TV dan tidur lagi. Bangun tidur, makan, salat Dzuhur agak akhir, kemudian bengong di teras rumah sambil membayangkan menjadi raja atau menjadi milyader atau selebritis atau konglomerat, sampai terkantuk-kantuk dan tidur lagi. Bangun tidur, salat Asyar sudah dekat dengan Maghrib, kemudian mandi. Habis mandi langsung jamaah Maghrib, makan malam, menonton sinetron atau telenovela yang senantiasa memancingku untuk menonton lagi pada esok hari. Habis nonton sinetron, nonton film atau apa sajalah yang penting menarikku sampai terkantuk-kantuk di depan televisi dan tidur lagi sambil bermimpi indah sampai pagi. Kegiatan itu berputar menjadi rutinitas selama satu minggu. Bayangkan kalau setahun saja berbuat itu? Inilah yang dikatakan orang yang kelihatannya hidup tapi pada hakikatnya mati. Sehingga benarlah pesan hadist yang mengatakan, Kalau hidup tak ada manfaat lebih baik mati saja.

Khusus untuk sinetron, ini perlu kuceritakan padamu Kawan. Karena gara-gara sinetronlah salah satu yang memberatkan aku kembali ke Surabaya, membuatku semakin betah di rumah. Dan ini menurutku yang harus kubunuh segera.

Ceritanya begini. Awalnya aku ini orang yang sangat benci dengan sinetron. Kebencian ini mungkin karena pengaruh otak bawah sadarku yang sudah lama bergelut dengan cerita-cerita serius baik itu film maupun karya sastra. Aku penyuka film-film yang berlebel Nomination Academy Awards seperti English Patient, Life is Beautiful, Gladiator, Titanic, Shakespeare in Love, Les Miserables, Cold Mountain, Chicago dll. Aku pecinta karya sastra serius seperti Godlop karya Danarto, Saman karya Ayu Utami, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Para Priyayi karya Umar Kayam, Kunang-Kunang di Manhattan karya Kuntowijoyo, Canting karya Arswendo Atmowiloto, Cha Bau Kan karya Remy Sliado, Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) karya Pramudya Ananta Toer, Sayap-sayap Patah karya Kahlil Gibran, The Oldman and The Sea karya Ernest Hemingway, Animalism entah karya siapa lupa dan karya sastra-karya sastra lain yang seabrek jumlahnya dan menjadi koleksi pribadiku. Karya sastra itu seakan menjadi bacaan wajib bagiku karena keterlanjuranku terjerumus masuk jurusan sastra. Roman picisan dan cerita-cerita populer tidak pernah masuk dalam memori kesukaanku. Bahkan aku sering memandang manusia berselera rendah teman-teman kos yang suka menonton cerita populer seperti sinetron atau telenovela negeri tetangga. Aku selalu angkuh dihadapan mereka akan kebencianku terhadap sinetron. Bagiku mereka generasi kacangan yang mencintai kamuflase kehidupan bersenang-senang. Sering kukatakan pada mereka begini, "Apa jadinya generasi ini kalau disuguhi tontonan yang suka mempermainkan perasaan. Jadi generasi itu generasi yang berkelas, jangan mau dikibuli cinta mengharu biru yang tak ada ujung pangkalnya. Tiba-tiba tua kamu nanti kalau nonton sinetron macam itu!" ejekku.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang