PERISTIWA BERU'

11 4 0
                                    

"Kamu jadi ke Surabaya, Ko?" tanya Bapak di pagi itu.

"Jadi, Pak." Jawabku.

"Kamu yakin mau ke Surabaya," dihisapnya rokok lintingannya sendiri. Kemudian dihembuskannya asap itu ke udara membentuk lingkaran. Satu dua lingkaran asap pun melayang-layang sesaat di udara kemudian memudar. Kebiasaan yang tidak pernah hilang, bermain-main asap rokok sambil menikmati siulan burung perkutut.

"Yakinlah Pak. Di rumah begini saya malah bingung. Tak ada pekerjaan yang bisa aku lakukan."

"Kamu mau kerja apa di Surabaya?"

"Pasti ada-lah, Pak," aku ragu.

"Sudah punya gambaran pekerjaan?"

"Mungkin aku mau melamar jadi wartawan."

"Perusahaan yang kamu tuju sudah ada?"

"Di Surabaya kan banyak perusahaan media, Pak."

"Sudah siap menjadi wartawan."

"Sekarang kan sudah aman, Pak."

Aku katakan aman karena memang saat aku lulus menjadi sarjana sastra, orde baru sudah berlalu. Wartawan sudah tidak lagi dibeli pemerintah untuk kepentingan propaganda.

Bicara sedikit soal Orde Baru adalah bicara masa suram pers. Barang siapa memberitakan hal-hal yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah atau sedikit mengkritik kebijakan pemerintah konsekuensinya adalah bredel. Media massa dan elektronik harus senada yakni membicarakan kebaikan pemerintah dan menutup berita yang mendeskreditkan pemerintah meskipun itu nyata adanya. Semua dibuat seakan-akan tak ada: tak ada berita demonstrasi, tak ada berita penggusuran, tak ada berita penculikan tokoh-tokoh publik, tak ada berita pembunuhan massal oleh tentara pemerintah, dan tak ada berita korupsi, kolusi dan nepotisme. Semua berjalan seperti air tenang, stabil, bak sungai tenang menghanyutkan. Tak ada riak, tak ada ombak. Semua dibuat seindah mungkin seperti lukisan anak-anak kita: gunung, langit biru tak berawan, sawah-sawah dengan padinya menghambar subur dan jalanan menjulur menembus perdu dengan tiang-tiang listriknya. Seragam tapi mencekam seperti api dalam sekam. Dan sekam pun terbakar menghanguskan. Di antara hangusnya sekam bersemilah benih-benih kebebasan yang mulai tumbuh subur menjadi euphoria. Euphoria yang kadang-kadang kebablasan inilah yang menghantarkan para reformis baru dan menjadi sebentuk aliran globalisasi. Aliran globalisasi ini pun menghantarkan benih-benih yang bernama demokrasi, HAM, dan liberalisme menuju lahan-lahan subur bernama Indonesia. Benih-benih pun telah terlanjur tumbuh dan berkembang hingga kemudian Indonesia berjuluk negara paling demokratis. Lebih demokratis dibandingkan negara yang menelurkan konsep demokrasi. Saking demokratisnya, Pemilu yang menghabiskan bermilyar-milyar rupiah harus digelar berulang-ulang.

"Hati-hatilah dan jujurlah," pesan Bapak.

"Ya, Pak." Aku ragu. 'Jujur itu tak mudah,' bisik diriku sendiri.

Ya, saya akui Bapak adalah orang terjujur yang pernah aku kenal. Bapak memang pernah memiliki masa suram di masa mudanya. Tapi paling tidak jika digambarkan dengan grafik maka ada titik drastis perkembangan yang menanjak tajam menuju garis vertikal. Kalau saja perjalanan hidup Mak saya ceritakan, rasanya tak adil jika aku tak menceritakan Bapak juga. Bagaimanapun perpaduan antara Mak dan Bapak hingga terbentuk manusia bernama Djatmiko adalah bagian dari garis hidup yang bernama takdir. Garis pertemuan perjalanan dua manusia hingga menjadi simpul start garis perjalananku bagiku wajib untuk kuceritakan.

***

Bapak, masa kecilnya berada pada sekelompok manusia gunung di Lampung. Yang Bapak ingat hanyalah gunung dan lahan-lahan pertanian di sela-sela hutan. Hidup nomaden dari hutan satu ke hutan yang lain. Akan tetapi, ketika menginjak usia sekolah Bapak sudah tinggal agak menetap dengan orang tuanya di sisi timur perbukitan Propinsi Lampung. Rata-rata orang mengambil tempat bermukim di sisi timur perbukitan, karena sisi barat perbukitan terlalu lembab dan gelap. Andaikan diambil garis lurus ke utara maka akan sederet dengan Bukit Barisan. Bisa dikatakan tempat tinggal Bapak semasa kecil adalah desa. Desa yang tak berbagi RT/RW, wajah kepala desa pun tak pernah tahu. Tak diperlukan KTP untuk tinggal di sana. Jika kau berkirim surat jangan berharap alamat yang jelas dengan Jl. X No sekian, RT ? / RW !! Desa D, Kecamatan C dst. Rumah itu memencil di sela pepohonan kopi dan karet setengah liar, karena terlihat ditanam dengan sengaja tapi tak ada yang memiliki. Jarak antara rumah satu dengan yang lainnya tak terhitung kilonya, hanya dengan satu kata kunci 'jauh' atau 'cukup jauh'. Salah satu yang diingat Bapak, orang menyebut puncak bukit itu Tanggamus. Jika orang turun untuk menukarkan hasil hutan dengan beras, apakah itu kayu atau kopi, kota terdekat yang dituju adalah Talangpadang. Kalau ingin menukar dengan barang-barang yang agak bervariasi maka harus mengambil jalan memutari bukit dan turun ke arah selatan menuju Kotaagung. Jangan coba-coba ke arah utara, hutan dan bukit seperti tak berujung. Jangan coba-coba pula jalan sendiri kalau tidak ingin ditantang berkelahi dengan Beru' atau Harimau Sumatera.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang