TITIK NOL

13 2 0
                                    

Kawan, satu minggu ini aku tak bisa konsentrasi. Banyak hal yang hendak kuceritakan padamu. Aku masih ingin melanjutkan reportaseku tentang perjalananku setelah masa-masa krisis itu. Yang jelas obsesiku untuk menjadi Mendiknas tak pernah surut, meski sampai detik ini aku belum mencapainya. Jika kuhitung-hitung dari sekarang, jika maksimal usia 55 aku dapat mewujudkan obsesiku, maka masih ada waktu 28 tahun untuk mengejarnya.

Untuk sekedar tahu saja, setelah sehari menjadi sales, aku mencoba tak putus asa melompat dari pintu ke pintu menyodorkan lamaran pekerjaan. Demi keuangan yang semakin menipis, aku merelakan diri menjadi karyawan di perusahaan emas meski hanya tiga bulan. Dengan tiga bulan aku mampu menyambung nafas yang sempat tersengal-sengal karena harus sering menahan lapar. Tapi dengan perjuangan yang tak pernah pupus, akhirnya aku mendapat peluang untuk bekerja di depan kelas alias menjadi guru di sebuah Yayasan Pendidikan Islam. Bersamaan dengan itu, aku ditawari mengajar pula di sebuah Sekolah Kejuruan yang masuk siang hari. Dari sekolah kejuruan, aku mendapat tawaran lagi menjadi guru sekolah malam yakni kejar paket A.

Dengan berprofesi sebagai guru, bagiku sejengkal obsesiku sudah teraih. Dari pengalaman setahun, aku bisa membanggakan pengalamanku untuk melamar guru di sekolah yang lebih bonafide. Tuhan meloloskan keinginanku, setelah satu tahun mengajar di Yayasan Pendidikan Islam, aku mendapat peluang menjadi guru di sekolah orang-orang elite di Surabaya. Demi kelancaran keuangan dan meloloskan obsesi, Yayasan Pendidikan Islam aku lepaskan dan aku mengajar di sekolah elite, yang di dalamnya terdapat anak Wali Kota, anak Gubernur, anak Menteri, anak para anggota DPR, anak para pengusaha atau anak-anak para kepala instansi pemerintah.

Dalam mengajar, aku dinilai sebagai guru yang memiliki kemampuan lebih karena mampu mengorkestrasi Quantum Teaching dan Learning, aku mampu mengendalikan anak dari usia dini hingga remaja tidak hanya di atas kertas. Aku mulai aktif menulis artikel-artikel pendidikan, beberapa tulisan dimuat di media massa kalau tidak, kumasukkan dalam blogs Wacana Pendidikan. Sambil mengajar, akhirnya aku juga menyelesaikan kuliah akta IV dengan cara instan dari perguruan tinggi swasta yang sudah terakreditasi. Karirku pun melompat, dari guru biasa menjadi guru pembina, dari guru pembina menjadi kepala bagian akademik. Di lingkup Surabaya, aku menjadi public figur, sehingga sering dijadikan konsultan pendidikan di beberapa lembaga pendidikan. Di saat karirku mulai memuncak inilah, seminggu yang lalu aku menerima telepon dari Mak, "Le, Bapakmu ingin ketemu Kamu. Kalau ada waktu mbok ya pulang."

"Maaf Mak, hari ini aku masih ada di Jakarta. Saya sedang menyelesaikan MOU dengan Yayasan Pendidikan yang hendak mengajak kerja sama," jawabku dengan bangga.

Dua hari setelah hari itu, Mak telepon lagi, "Le, pulanglah! Bapakmu sangat berharap Kamu bisa pulang. Bapakmu dua malam ini tidak bisa tidur."

"Maaf Mak, hari ini aku masih ada di Tabalong (Kalimantan Selatan). Saya harus mengisi pelatihan guru yang dilaksanakan perusahaan batu bara," jawabku dengan membanggakan diri.

Tiga hari kemudian, Mak telepon lagi, "Le, pulanglah! Bapakmu sakit. Bapakmu menunggumu."

"Ya Mak, dua hari lagi saya pulang. Sekarang sedang ada supervisi guru di Bontang (Kalimantan Timur)."

Dua hari kemudian, tepatnya hari ini, jam 3 pagi, adikku yang telepon, "Mas Jatmiko harus pulang hari ini. Bapak masuk rumah sakit."

Kawan, inilah yang menjadi alasan mengapa aku tidak konsentrasi. Aku harus pulang pagi ini juga.

***

Jam 10 pagi aku sudah sampai di Blitar. Aku langsung menuju rumah sakit di mana Bapak dirawat. Mak, kedua kakakku dan adikku sudah ada di sana. Kulihat Bapak membujur dengan selang oksigen di hidung dan selang infus di kaki. Nafasnya tersengal-sengal seperti knalpot sepeda motor yang bensinnya dicampur dengan minyak tanah. Raut kebencian kakakku dan adikku terasa menyudutkan kehadiranku, kecuali Mak. Mak memelukku, kemudian berbisik, "Sabar ya, Nak."

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang