KEPUTUSAN DI ATAS KEPUTUSAN

7 2 0
                                    

Kurang lebih jam sepuluh pagi aku meninggalkan kos dan berbaur dengan lautan manusia yang bergerak memadat di tengah kota Surabaya. Angkot yang kutampangi terasa bergerak lamban di antara ratusan knalpot yang merampas segarnya udara. Surabaya, kota metropolitan kedua setelah Jakarta yang mulai terjangkiti penyakit stres berupa kemacetan. Kemacetan itu membuat perjalanan menjadi lebih lambat daripada orang berjalan kaki. Hanya sepeda motor yang masih mampu berjalan agak lebih cepat, meliuk-liuk di antara himpitan kendaraan roda empat. Seketika aku menjadi iri pada para pemilik sepeda motor karena itu menjadi mimpiku. Aku hampir yakin akan memiliki sepeda motor jika saja aku mau bertahan di majalah DUNIA JIN untuk beberapa waktu ke depan.

Menyaksikan sepeda motor itu, tiba-tiba benakku diserang kebimbangan kembali untuk mengambil keputusan, mundur jadi wartawan DUNIA JIN atau lanjut. Padahal sebelum berangkat, aku sudah merancang kata-kata untuk mengajukan pengunduran diri meski aku belum punya cadangan pekerjaan baru. Jika hari ini aku mengundurkan diri artinya beberapa waktu ke depan rezekiku terputus, dan untuk kehidupan sehari-hari aku mengandalkan uang simpanan sampai aku mendapat pekerjaan baru. Artinya akan tertunda pula impianku untuk memiliki sepeda motor. Tetapi jika aku memilih tetap bertahan di DUNIA JIN untuk beberapa waktu ke depan, terhambat pula beberapa waktu impianku menjadi Mendiknas.

"Buatlah keputusan besar dengan mengorbankan keputusan kecil," bisik hatiku entah dari mana asal usulnya. Otakku terasa sarat seperti saratnya jalanan depan pasar Wonokromo. Antrian lampu merah semakin menghambat perjalanan. Tak ada wajah ceria di antara para penumpang angkot. Adakah mereka semua bercakap dengan dirinya sendiri, sepertiku? Seorang Bapak dengan stelan kaos oblong putih, terlihat sibuk mengamati arlojinya sejak pertama kulihat. Adakah waktu yang dikejarnya? Seorang ibu dengan sekotak kardus yang ditali rafia merah berulang kali mengusap keringat di wajahnya. Kiranya dia akan keluar kota, bermimpi tentang anak-anaknya yang di kampung. Seorang perempuan sekira usia sedikit di bawahku, bercelana jean ketat dengan kaos hijau berkerah, tekun membaca kamus bahasa Inggris. Dari gaya pakaiannya, dia dapat dipastikan seorang mahasiswa. Seorang lelaki bergaya punk menggoyang-goyang kepalanya dan berkomat-kamit sendiri menikmati musik lamunannya sendiri. Di otaknya sedang ada konser Metalica atau Scorpion. Di sampingnya anak sekolah setingkat SMA yang menutupi seragamnya dengan jaket, tatapan matanya menerobos di antara liuk-liuk kendaraan. Apa pula yang dilakukan anak sekolah di jalanan saat jam sekolah? Satu lagi, seorang banci dengan bibir silikonnya sedang sibuk me-make up diri dengan cermin bedaknya. Pastilah masing-masing mereka sedang membuat keputusan sehingga memilih angkot ini. Dan keputusan sementara adalah pemberhentian angkot dan bus kota, terminal Jayabaya.

Kami di terminal adalah semut yang bergerak mencari mangsa, tetapi kami tak bertabiat seperti semut yang saling bertegur sapa. Di terminal hidup menjadi terasa lebih keras. Bergerak bersama-sama dalam tujuan individualisme. Terminal, di sanalah cerita selalu dimulai dan diakhiri. Masing-masing meretas mimpi dalam gerak dan arah yang berbeda-beda. Dan aku hanyut di dalamnya, meskipun otakku tak tercermin terminal itu. Otakku justru berseliweran beragam kebimbangan untuk melanjutkan perjalanan atau kembali tanpa keputusan. Kendati sudah keteriakkan berulang-ulang di benakku untuk meyakinkan akan keputusan terakhir, masih saja aku tak hendak beranjak dari terminal. Aku masih saja duduk di tepian trotoar samping terminal sambil memandang lalu lalang manusia.

Terbayang kembali aku pada Santun, katanya, "Aku sudah kesulitan mencari pekerjaan di negeri ini. Kalaupun ada pekerjaan, pekerjaan itu tak pernah menjanjikan masa depan." Aku sebenarnya tak pernah membenarkan pernyataannya, tetapi mengapa justru sekarang kata-kata itu yang menghantuiku. Menghentikan pekerjaan berarti kehilangan penghasilan untuk beberapa waktu ke depan. Pekerjaan akan kudapatkan, akankah itu lebih baik? Masa depan selalu berubah jadi monster kegelapan yang menghantui benak karena terlalu gelapnya.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang