MAKELAR CINCIN SULAIMAN

6 2 0
                                    

Ketika Haji Rustam kusodori gambar cincin Sulaiman, dia kelihatan mengamati dengan seksama dan penuh selidik sambil sesekali melihatku. Kemudian ditaruhnya gambar itu di atas meja. Ditaruh pula kacamatanya yang tebalnya lebih dari dua mili. Menghela nafas, aku menunggu reaksinya. Diambilnya sebatang cerutu, dinyalakan, disedotnya dalam-dalam. Dihembuskan asapnya, sekita asap memenuhi ruangan. Aku segera membanting wajah ke kiri, menghindari asap yang segera bergerak ke arahku. Asap rokok yang tak pernah kusuka, demikian juga dengan rokoknya.

Tanya Haji Rustam setelah beberapa detik kebisuan, "Ini benar ada?"

"Saya sendiri juga belum melihat Pak Haji. Mahmoud yang membawa gambar itu ke saya."

"Kukira ini hanya mitos yang dibawa para sufi. Tapi menarik juga kalau benar-benar ada. Bisa memperkaya koleksiku." Diambilnya lagi gambar cincin itu. "Siapa itu Mahmoud?"

"Saya juga belum mengenal dia. Tiba-tiba saja dia datang ke rumah, membawa gambar ini lalu ... (hampir saja kusampaika aku diminta mencari orang yang mau dengan cincin ini, lalu kalimat itu aku aku anulir menjadi...) lalu aku membawanya ke sini. Dia orang Timur Tengah Pak Haji."

"Jadi gambar ini langsung dibawa dari Timur Tengah?"

"Saya belum tahu Pak Haji. Tapi Timur Tengahnya kelihatannya Timur Tengah Ampel, Surabaya, Pak Haji."

Pak Haji sedikit tergelak. Disangkanya apa yang kusampaikan gurauan, tetapi aku tak bermaksud begitu. "Lalu dia dapat dari mana gambar ini?"

"Saya juga tidak tahu, Pak Haji. Lha wong saya hanya disuruh cari orang yang mau dengan barang ini." Selesai menyampaikan ini, aku agak menyesal. Itu artinya aku keceplosan juga kata-kata yang sebelumnya aku anulir untuk diucapkan.

"O..begitu. Artinya kamu makelarnya..."

"Bukan begitu Pak Haji.." tanggapan Haji Rustam langsung aku potong. "Saya hanya punya kepentingan untuk peliputan cincin Sulaiman ini untuk majalah, Pak Haji."

"Tapi tetap dapat persenan, kan? Tapi sudahlah, itu tak penting. Yang penting barang ini benar-benar ada."

Sesakku sesaat agak melega.

"Kapan kamu pertemukan aku dengan Mahmoud?" tanya Haji Rustam tampak sangat berharap.

"Jadi, Pak Haji mau dengan barang ini?"

"Gimana to? Wong barangnya belum ada kok sudah disimpulkan mau. Yang penting sekarang barangnya. Yang penting pertemukan aku dengan Mahmoud," nada suaranya agak meninggi. Aku menjadi merasa bersalah.

"Ya, maksud saya begitu Pak Haji."

"Begitu bagaimana?"

"Ya, jika barang itu ada, Pak Haji mau." Aku tak mau kehilangan muka.

"Soal itu gampang. Yang penting sekarang datangkan Mahmoudnya ke sini."

Setelah pertemuan dengan Haji Rustam, aku langsung bertolak ke Surabaya lagi dengan menumpang bus. Di antara gerimis hari itu dan lalu lalangnya kendaraan, aku jauh menerawang memikirkan cincin Sulaiman, pertemuan dengan Mahmoud dan Haji Rustam. Kupikir-pikir ada kejanggalan jika kukaitkan dengan profesiku, rasanya sedikit agak menyimpang dari profesionalisme. Kesimpulannya, aku telah menjadi makelar cincin Sulaiman, mengambil keuntungan dari transaksi yang tidak sekedar berupa liputan berita. Dan setelah agak lebih dalam aku berpikir, aku juga telah menjadi bola pingpong. Saat pertemuan dengan Mahmoud, pada akhir pertemuan bilang, soal posisi cincin itu gampang, yang penting ada orang yang mau... Demikian pula setelah bertemu dengan Haji Rustam, katanya yang terakhir, soal itu gampang, yang penting datangkan Mahmoudnya ke sini. Ada dua kata 'gampang', padahal transaksi belum lagi berjalan. Belum barangnya yang berada dalam posisi abstrak. Berpikir ini aku jadi mengumpat-umpat sendiri dan menyesali, "Mengapa aku bersedia jadi makelarnya Mahmoud?" Padahal aku tak pernah mengenal Mahmoud sebelumnya. Bulsit!!

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang