HIJRAH

9 3 0
                                    

Peristiwa beru' menyisakan trauma mendalam bagi Bapak dan Bu Ruminten, nenekku. Setelah peristiwa itu Bapak dan Bu Ruminten tidak berani tinggal di rumah. Mereka menumpang pada tetangga jauh yang masih terhitung kakak jauh Pak Topa. Disebut kakak jauh karena sulit menjelaskan seluk beluk kekerabatannya. Yang jelas masih ada pertalian darah dengan Pak Topa. Paling tidak terlahir dari tanah yang sama, yakni Jawa Timur. Kedekatan batinlah tepatnya yang membuat Pak Topa dengan kakak jauhnya menganggap saudara. Sebut saja Kakak jauh Pak Topa ini Pak Tarjimun.

Pak Tarjimun menyarankan pada Bu Ruminten untuk kembali ke Jawa. "Kembali ke Jawa saja. Kasihan anakmu di sini, nanti tidak bisa jadi apa-apa," saran Pak Tarji. Tidak jadi apa-apa bisa diterjemah jadi manusia hutan.

"Jawa mana, Kang? Saya tak punya saudara di sana."

"Nggak punya saudara gimana? Saudara suamimu itu di sana banyak. Suamimu saja yang tidak mau kembali ke Jawa."

"Terus siapa yang saya tuju di sana?" Mak masih tak yakin.

"Yang saya tahu, saudara suamimu itu ada tujuh yang sekandung. Sedangkan yang tidak sekandung ada dua. Jadi semua ada sembilan. Kalau tidak salah, salah satu tiri suamimu ada yang ikut program transmigrasi di Palembang. Dia sukses jadi petani karet di sana. Kamu ke sana saja. Kamu ceritakan apa yang terjadi, kamu pasti dapat tempat di Jawa."

Bu Ruminten masih bingung. "Terus aku harus bagaimana sekarang?"

"Kapan kamu siap aku antar ke Palembang?"

"Terserah kamu lah, Kang."

"Kamu tidak ingin menikah lagi?"

"Saya belum bisa berpikir, Kang. Bagaimana nantilah? Kalau memang masih ada takdir untukku bersuami lagi, pasti akan ada jalan."

"Ke Jawa sajalah, kamu akan dapat jodoh lagi di sana."

Setelah percakapan di malam itu, semua cepat berubah. Setelah menempuh perjalanan ke Kota Agung berlanjut naik angkutan ke Palembang. Perjalanan melelahkan. Jalannya melonjak-lonjak. Jalannya memang sudah beraspal, tetapi jangan tanya bentuknya, lebih mirip dengan batu-batu berserak. Sepuluh hari perjalanan, harus melompat dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain. Sebagian besar perjalanan adalah jalan kaki. Bicara soal kendaraan jangan dibayangkan kita tinggal berdiri di pinggir jalan, kemudian ada bus atau angkudes lewat, kita tinggal melambaikan tangan. Ini tahun 1948 kawan, apalagi ini daratan Pulau Andalas. Beruntunglah jika menemui kendaraan buatan Jerman, barangkali itu adalah satu-satunya kendaraan yang lewat selama tiga hari perjalanan. Sisa-sisa kendaraan yang ditinggalkan kompeni.

Selama di perjalanan tak terhitung berapa kali harus menguras isi perut. Seingat Bapak, hari terakhir sebelum sampai Palembang adalah perjalanan sungai. Seinggat Bapak pula, sungai itu bernama Musi. Dari cerita Bapak aku sempat bingung, sungai Musi itu dari arah utara, sedangkan Lampung berada di selatan. Sungai Musi memang bermuara di Palembang dan melwati Jembatan Ampera nan megah. Ada dua kemungkinan, Bapak salah menyebutkan nama sungai yang dilaluinya atau Bapak kesasar ke utara Palembang terlebih dulu. Ah, mengapa aku jadi memperdebatkan ini? Cukuplah perjalanan ini jauh bahkan amat jauh. Tetapi perjalanan yang sebegitu panjangnya tetap saja seperti mimpi karena otak Bu Ruminten masih tergambar duka yang tak habis-habisnya. Apa yang menimpa suaminya sama persis dengan yang menimpa kedua orang tuanya, dimangsa beru'. Hanya saja kedua orang tua Bu Ruminten dimangsa beru' saat masih bekerja di ladang kopi milik perusahaan Hindia Belanda. Saat beru'-beru' datang, para pekerja dipaksa melawan beru'-beru' itu. Beru'-beru' banyak yang mati dalam pertempuran itu. Akan tetapi, empat orang terkapar tak bernyawa. Salah duanya adalah orang tua Bu Ruminten. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan traumatis yang mungkin akan berkepanjangan adalah meninggalkan Gunung Tanggamus.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang