NEGERI PUNGLI

4 2 0
                                    

Hari Minggu, pukul 11.25 aku duduk di peron stasiun Blitar, di antara puluhan penumpang. Beberapa penumpang tampak resah sambil sesekali melihat arloji, ada yang mondar-mandir di pinggiran rel, bahkan ada yang mengumpat, karena kereta terlambat 30 menit. Tetapi sebagian besar duduk tenang di peron, sudah terbiasa dengan terlambatnya kereta. Kata mahasiswa yang duduk di dekatku, "Kereta Indonesia itu terlambat adalah sudah biasa. Tepat waktu itu baru aneh namanya. Lebih cepat dari waktunya ya jelas tak mungkin."

Aku hanya tersenyum saja. Apa pun kata mereka tentang kereta api, tetap saja mereka mencintai kereta api Indonesia. Meski kereta api Indonesia bukan alat transportasi yang efisien tetapi ekonomisnya menjadi rebutan, meskipun harus bergelantungan di pintu-pintu atau bahkan naik ke atap. Meskipun sudah banyak korban akibat tingkah polah penumpang, seperti tersangkut kabel, bahkan terlempar jatuh, masih juga kereta api diperebutkan. Setiap inci ruang kosong kereta api adalah tempat yang berharga meskipun itu kamar kecil yang pesingnya minta ampun. Benarlah kata orang, hitam-hitamnya kereta api masih juga banyak yang menanti.

"Inilah yang membedakan Indonesia dengan Singapura atau Jepang, Mas," kata mahasiswa itu lagi, yang kemudian kuketahui dia bernama Budi, mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Rata-rata mahasiswa politik adalah para ahli kritik, termasuk Budi yang akan menjadi teman bicaraku selama perjalanan ke Surabaya.

"Apa itu?" aku pun mulai tertarik.

"Singapura dan Jepang itu sedikit sekali memiliki potensi alam untuk memperkaya bangsanya. Bisa dikata, kekayaan alam Jepang apalagi Singapura hanyalah sebesar ujung kuku jika dibanding dengan kekayaan Indonesia. Tetapi lihatlah, Singapura menjadi negara Eropa yang ada di Asia Tenggara, demikian halnya Jepang, meski pernah mendapat hadiah bom Hirosima dan Nagasaki, kemajuannya belum tertandingi di Asia. Bahkan sebagian besar kebutuhan elektronik dan transportasi Indonesia masih bergantung dengan Jepang. Ini membuktikan bahwa sumber daya alam tidak berbanding lurus dengan kemajuan suatu negara," jelasnya berapi-api, yang kemudian kuketahui kalau dia aktivis organisasi kampus, GMNI.

"Apa kira-kira rumusnya Singapura dan Jepang?" tanyaku meskipun aku sudah bisa mengira-kira jawabannya.

"Rumusnya adalah disiplin..." saat dia menyampaikan itu, operator menyampaikan kalau penumpang diminta bersiap-siap karena kereta Penataran ke Surabaya akan memasuki stasiun. Dari arah Tulungagung terlihat terengah-engah sosok kereta api karena termakan usia. Kereta api yang sebagian besar onderdil dan jalannya adalah warisan Belanda, seakan sudah terlalu capek dan pada waktunya diganti dengan kereta peluru misalnya, (Ini hanya mimpiku pribadi).

Memasuki stasiun, kereta itu meneriakkan cericit rem yang serasa menyayat dadaku. Segera para penumpang berebut masuk, berjubel di depan pintu. Saling sikut tak ada yang mau mengalah, tak ada yang peduli kalau di antara yang berdesakan itu ada anak-anak, lansia, maupun perempuan hamil. Mereka ingin segera mendapat tempat duduk yang tak dibagi menurut nomor kursi, meski kursi-kursi itu bernomor. Nomor-nomor kursi di dinding kereta kiranya hanyalah asesoris saja. Setelah mereka mendapatkan tempat duduk, kemudian cuek pada sekitarnya seakan tak melihat banyak ibu-ibu atau bapak-bapak usia lanjut yang tak kebagian tempat duduk. Ya, ada sih beberapa orang yang masih peduli pada mereka, kemudian menyerahkan tempat duduknya tetapi kepedulian yang semacam itu sudah minim dilakukan kebanyakan orang. Begitu memasuki gerbong, suasana hiruk pikuk pun mulai menyiksa dan menampah penatnya otak, apalagi hari itu hari Minggu, penumpang full. Dapat dipastikan, sampai di stasiun Garum, Wlingi, Kesamben dan seterusnya penumpang terus bertambah. Ini mungkin mirip apa yang terjadi pada peristiwa Holocaust pemerintahan Nazi di Jerman. Ribuan penumpang Yahudi, anak-anak, perempuan, laki-laki tak berbatas usia diusung pakai kereta tertutup menuju ke neraka Nazi. Yang hampir dapat dipastikan satu persatu di antara mereka akan mati dengan cara yang mengerikan, mati pada ruang pengasapan.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang