KYAI LANANG

9 3 0
                                    

Cita-cita tak harus berhenti dengan peristiwa memalukan itu. Bapak atau Nurdin sudah terlanjur terjun di dunia spiritual meski berhias kenakalan. Kenakalan itu mungkin bagian dari ketaksengajaan atau semacam kewajaran. Hidup bukan hanya garis horisontal atau vertikal. Hidup seperti halnya kurs keuangan yang membentuk kurva tak beraturan naik turun. Yang penting fluktuatifnya hidup tak pernah terlepas dari orbit yang bernama prinsip. Prinsip dalam dunia materi bersifat relatif, sedangkan dalam dunia ruh adalah hakiki nan abadi. Inilah dua dunia milik manusia yang dibangun dari ruh dan materi. Semua harus tumbuh seimbang, saling membangun dan menguatkan. Tetapi sayang, manusia dicipta Tuhan untuk menjadi makhluk bebas. Akibat kebebasan inilah dunia menjadi dinamis, akan tetapi akibat kebebasan pula kadang manusia harus mengabaikan prinsip yang menjadi milik nurani.

Katakanlah kenakalan Nurdin adalah bagian dari kisah penyimpangan orbit. Padahal penyimpangan orbit setara dengan chaos, kehancuran bahkan kiamat. Inilah pengertian terbatas yang dimiliki otak manusia yang berbatas pula. Akibatnya yang muncul hanyalah caci maki dan mengerucut pada satu kata 'penyalahan'.

"Anakmu benar-benar telah memalukanku," aduan Pak Topa pada ibu Nurdin, atau Bu Ruminten, juga istri Pak Topa. Tampak raut yang mencoba menahan amarah. Nurdin bukan anaknya sendiri jadi seakan tak punya hak untuk mengeluarkan amarah itu. Bu Ruminten diam.

"Aku ini terlahir dari keluarga terhormat. Jadi peristiwa anakmu seperti hendak mencabik-cabik wajahku. Kupikir pesantren itu akan mendidik akhlaqnya. Dia pulang membawa ilmu akhirat. Kuserahkan Nurdin padamu, apa yang baik baginya."

"Memangnya tetangga sudah ada yang tahu?"

"Belum. Tapi akan segera tahu kalau kamu tak menjauhkan dia dari sini."

Menjauhkan, ya menjauhkan Nurdin dari lingkungannya yang justru akan mengubah takdirnya. Hanya dua hari Nurdin berkesempatan di rumah setelah pristiwa eksperimen subuh. Peristiwa yang menggelikan bagi kebanyakan orang, tetapi memalukan bagi keluarga Mustopa. Memisahkan dari induk seakan berarti menghilangkan dan mematikan. Tetapi jika dipahami sebagai filsofi pohon pisang, pemisahan itu justru akan menumbuh suburkan.

***

Dititipkanlah Nurdin pada seorang Kyai sepuh di Tulungagung. Atau lebih tepatnya Nurdin dibina dengan pendidikan akhlaq sebelum aib itu menyebar pada para tetangga. Kyai sepuh ini pendiri pesantren tua di perbatasan Tulungagung - Trenggalek. Ukuran tahun 50-an, jarak Blitar-Tulungagung itu sudah dijauhkan dari rumah sehingga tetangga tak tahu pasti sebab kepergian itu kecuali hanya menganggap Nurdin pindah pesantren.

Kyai sepuh ini lebih dikenal dengan Kyai Lanang, dengan nama asli Muhammad Husein Al Quthubi. Kyai Lanang ini ilmunya, kata Bapak, sangat tinggi. Kabar angin yang pernah sampai ke telinga Bapak, meskipun Bapak tak pernah melihat dengan mata kepala sendiri, mampu berjalan bagai angin. Mampu bicara dengan jin dan malaikat. Mampu melihat masa depan seseorang. Ilmunya konon turunan langsung dari Syeh Siti Jenar. Ilmunya sudah lepas jalur dari pemahaman syari'at. Tak mampu dinalar oleh akal manusia awam. Karena saking tingginya ilmunya inilah, ia juga berjuluk Kyai Nyleneh. Saking Nylenehnya kebanyakan orang menyejajarkan Kyai Lanang dengan wali. Saking Nylenehnya lagi, tak seorang pun bisa menemui Kyai Lanang untuk keperluan tertentu. Hanya orang-orang beruntung saja yang bisa menemui Kyai Lanang.

Ah, mana yang betul itu tak penting. Nurdin atau Bapak tak pernah menganggapnya begitu. Tak kurang dari tiga tahun Nurdin berada langsung di bawah asuhan Kyai Lanang. Nurdin juga tak pernah kesulitan menemui Kyai Lanang. Di mata Nurdin pun, Kyai Lanang tidak jauh beda dengan pada umumnya manusia, butuh makan, butuh minum, butuh buang hajat ke belakang, butuh tidur. Hanya saja, kenapa kebanyakan orang sulit menemui Kyai Lanang, karena dia banyak menghabiskan waktunya untuk bersemedi ala Islam alias dzikir di kamar pengapnya.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang