PULANG KAMPUNG

36 4 0
                                    

Wisuda itu disambut handai taulan: bapak, ibu, kakek, nenek, kakak, adik, paman, bibi sampai saudara sepupu. Rupanya orang tuaku mengajak mereka dengan mengendarai mobil setengah terbuka. Selalu begitulah yang dilakukan ibu kalau hendak pergi ke kota. Pergi ke kota adalah momen menyenangkan yang harus dibagi-bagi. Karena pergi ke kota adalah momen yang jarang dilakukan oleh keluarga kami. Undangan wisuda itu pun bisa menjadi sarana rekreasi. Bukan melihat prosesi wisuda yang menjadi tujuan, tetapi melihat keramaian kota, gedung-gedung berserakan, rumah-rumah berhimpitan adalah keunikan bagi handai taulan. Dan itu menjadi mimpi kebanyakan keluarga dan tetanggaku untuk menjadi urban. Kota seakan menjadi sumber emas yang tak habis-habisnya. Itu pulalah nanti yang menginspirasiku untuk kembali ke kota Surabaya.

Kebahagiaan sesaat lalu ternyata hanya seperti mimpi. Inilah kebahagiaan yang membuat semalam tak bisa tidur. Prosesi wisuda yang hanya sesaat memang seakan menghapus beban kuliah selama empat tahun lebih, ibarat mendapat kemerdekaan baru. Teman-teman menyalamiku. Ratusan ucapan selamat mengiringi langkahku meninggalkan kota Surabaya.

"Gimana? Mau pulang kampung selamanya?" tanya Wisnu, mahasiswa yang mempunyai dua gelar, S.E dan S.S.

"Kelihatannya aku tak punya lahan kerja di desa," jawabku agak ragu.

"Memangnya di sini ada lahan untukmu?" tanyanya agak menggoda.

"Ya, belum tahu juga."

Entahlah, sulit untuk menggambarkan perasaan meninggalkan kota Surabaya. Kebahagiaan sesaat lalu ternyata menggeser perasaanku pada kehilangan. Pergumulan menjadi mahasiswa selama empat tahun ternyata adalah episode hidup yang menyenangkan. Banyak hal yang telah terjadi, sehingga ketika bapak bertanya,"Tidak ada barang-barang yang dibawa pulang?"

"Tidak ada, Pak? Mungkin aku akan kembali ke sini."

"Lho, untuk apa kamu kembali ke sini?" tanya kakakku. "Kamu kan sudah lulus kuliah. Mau cari apa lagi?"

"Kelihatannya aku belum siap pulang kampung."

"Ya, sudahlah. Nanti kita bicarakan di rumah. Yang penting kita adakan selamatan dulu. Ibumu sudah terlanjur mempersiapkan selamatan khusus untuk menyambutmu."

Perjalanan 8 jam dari kota Surabaya menuju kota kelahiran tidak memberikan kesan yang menyenangkan. Sepi terasa. Tak ada yang mengajakku bicara. Semua sudah terlelap kecuali sopir. Aku pun tak punya minat mengajaknya bicara. Aku justru merenung sendiri, apa yang hendak aku lakukan setelah hari ini. Jelas aku tak ingin berlama-lama di rumah. Tekadku sudah bulat dari sejak akhir masa kuliah, kalau aku akan kembali ke kota Surabaya. Meskipun mungkin aku juga tidak tahu nasib apa yang akan membawaku. Tetapi aku merasa takdirku tidak untuk kembali ke desa. Aku sudah bisa membayangkan, kalau aku menetap di kota SR, kota asalku, hanya ada dua peluang yang dapat aku kerjakan. Menggarap lahan orang tua alias menjadi petani. Atau menunggu menjadi PNS khususnya guru, seperti orang tuaku.

Peluang pertama hampir tidak mungkin mampu aku jalani. Fisikku yang mungil, bertangan halus, berkulit putih, jika didasarkan pada kecocokan pekerjaan jelas tidak sesuai. Hal ini tercatat dalam buku primbon Jawa. Pekerjaan yang cocok untukku adalah pekerjaan kantor atau segala sesuatu yang berhubungan dengan tulis menulis. Logislah aku pikir ramalan primbon itu, meski sebenarnya aku agak kurang sepaham dengan ramalan-ramalan. Tapi untuk yang satu ini aku sepaham. Selain peluang pertama ini tidak sesuai, lantas mau aku kemanakan gelarku. KTP-ku akan tercatat, Sujadmiko, S.S., pekerjaan: Petani. Jelas tidak macth.

Peluang kedua lumayan cocoklah, gengsi boleh penghasilan lumayanlah. Status sosial juga masih di peringkat atas untuk ukuran kota SR. Tapi ingat kawan, jangan berharap banyak menjadi PNS di era tahun akhir 1980-an sampai dengan awal 2000. Butuh modal besar untuk menjadi PNS. Banyak pos-pos gelap, antara legal dan ilegal, tersistematis, adalah liku-liku calo PNS. Sediakan untuk mereka lima ekor sapi seharga @ Rp 7.500.000,00, maka muluslah melenggang untuk menjadi PNS. Bagaimana ini bisa terjadi? Nanti akan aku ceritakan khusus tentang liku-liku calo PNS.

Berburu Cincin SulaimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang