Chap 18

125 41 21
                                    

Gadis itu masih menangis, kepalanya disandarkan di pundak sahabatnya. Kini semua sudah dia curahkan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Perasaannya sekarang merasa lega, ternyata benar jika kita mampu mencurahkan isi hati kita kepada orang yang sangat peduli dengan kita, mungkin akan terasa lebih baik dari sebelumnya. Seperti yang dialami oleh Anggun sekarang.

Anggun mengambil selembar tisu yang  kini tepat di depannya. "Gu--e juga kadang merasa nyesel kenapa nasib gue harus kayak gini," ucap Anggun masih diiringi isakannya.

Stela hanya menatap Anggun dengan tatapan prihatin, dan menghembuskan napasnya lalu tersenyum. "Jangan sedih Gun, lo masih punya gue kok."

Anggun membalas ucapan Stela dengan senyuman tipisnya, Stela benar-benar setia kepadanya. Anggun berharap semoga saja dengan taunya Stela akan latar belakangnya tidak akan menghalangi persahabatan mereka untuk ke depannya.

"Gue nggak cerita ini dari awal, karena gue takut lo ilfeel sama gue," Anggun berusaha membuka matanya yang sembab itu.

Lagi-lagi Stela tersenyum, "Gue nggak akan ninggalin lo Gun, apalagi dengan kondisi lo kayak gini." ucap Stela. "Lo pikir gue temen apaan?" Stela menatap tajam Anggun, dia melakukan ini untuk menghibur sahabatnya.

"Makasih ya Stel," ucap Anggun dengan lirih.

Stela segera memeluk sahabatnya itu, dan Anggun juga membalas pelukannya. Kini perasaan Anggun mulai reda, dan sedikit bahagia karena Stela mau mendengar semua masalah yang tengah dia hadapi saat ini.

Stela melonggarkan pelukannya itu. "Eh, jangan kasih tau Bunda sama Ayah kalo gue pacaran ya?"

Anggun memasangkan wajah yang pura-pura sedang mempertimbangkan. "Hmmmmmmm,"

"Gun, jangan kayak gini lah!"

"Hahahaha, iya iya." Kini Anggun kembali dengan raut wajah yang ceria walaupun matanya masih merasa sembab, dan luka serta lebamnya belum hilang sepenuhnya. Tapi dia sudah merasa lebih baik karena Stela sudah mengobatinya.

Mereka menghabisi waktu bersama dengan bercanda, saling bertukar cerita, menonton acara televisi sambil menikmati semangkuk mie indomie kuah, serta mengerjakan PR bersama sambil mendengar curhatan bahagia Stela yang baru merasakan indahnya berpacaran, jelas hal ini membuat dirinya panas untuk sebagai para jomlo.

•••

Raga menjalankan motornya dengan perlahan, satu tujuannya saat ini adalah pulang ke rumah. Tidak ada niat untuk nongkrong bersama teman-temannya, padahal Al dan Satya di sekolah sudah mengajak Raga untuk ngopi di Cafe, tapi dia menolaknya. Jelas, alasannya karena hari ini bukan jadwal Anggun mengisi acara live music.

Ketika dia melewati jalan, kedua matanya menangkap seorang wanita yang mengenakan seragam sama dengannya, dan baru saja keluar dari rumah sakit.

Sepertinya dia mengenali perempuan itu dari tas yang dia pakai, segera Raga menepikan motornya tepat di hadapan gadis itu.

"Ayo!" ajak Raga sambil memakaikan helm kepada gadis itu.

Tapi gadis itu menepis tangan Raga, dan memakaikan helmnya sendiri sambil tersenyum ke arah Raga. "Gue bisa sendiri,"

Raga membalasnya dengan senyum yang kecewa, dan segera menaiki dan menyalakan motornya. Gadis itupun menaiki motor Raga sambil memegang pundak Raga dengan erat.

Motornya dijalankan secara perlahan, rasanya canggung berbeda sekali dengan biasanya.

"Hm, tadi dari rumah sakit ngapain?" tanya Raga memulai pembicaraan.

"Hah?"

"Perlu gue ulang lagi?"

"Ouh, tadi gue cuma check up aja."

"Emang lo kenapa?" tanya Raga dengan sedikit rasa khawatir.

"Akhir-akhir ini dada gue ngerasa kesakitan,"

"Terus kata dokter?"

"Gapapa sih," jawabnya singkat

Suasananya sudah terasa canggung, gadis itu sudah mengaggap Raga biasa saja tidak ada tanda dari sorot matanya. Sial! Sulit sekali melupakan gadis yang ada di belakangnya itu, tapi kenapa semudahnya dia menepis semuanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua.

"Berhenti di depan sana," ujar gadis itu sambil menunjuknya ke arah Raga.

Raga segera menepikan motornya di sisi jalan, sesuai perintah gadis itu.

Dibukanya lah helm dari gadis itu, tapi lagi-lagi dia menepisnya dengan kasar.
"Gue bisa sendiri," ucap gadis itu sambil tersenyum.

"Thanks."  gadis itu menyodorkan helmnya kepada Raga,

"Kenapa harus berhenti di sini, rumah lo kan masih jauh," Raga menerima helmnya itu.

"Gue mau langsung les," gadis itu segera melangkahkan kakinya. Tetapi Raga turun dari motornya dan menahan tangan gadis itu.

"Fell," panggil Raga

Gadis itu menepis tangan Raga. "Apa?"

"Kenapa lo jadi kayak gini?"

"Kayak gini gimana? Gue emang dari dulu kayak gini."

"Lo bukan Felly yang gue kenal,"

Felly menghembuskan napasnya dan tersenyum lagi ke arah Raga, "Gue udah bilang, kita temen."

Deg! Ada perasaan sesak setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh gadis itu. Pasalnya gadis itu sudah berapa kali mengatakan hal ini kepada Raga.

"Gue tau kita cuman temen, tapi kenapa lo menjauh dari gue semenjak gue nembak lo? Apa itu yang namanya temen?"

Lagi-lagi gadis itu tersenyum. "Lo tau kan perasaan Gaby buat lo gimana?" ucap Felly. "Dan lo tau kan Gaby sahabat gue? Apa wajar gue nyakitin perasaan sahabat gue sendiri?" lanjutnya

Raga mencekal kedua tangan Felly. "Kalo lo bisa ngehargain perasaan Gaby, kenapa lo nggak bisa ngehargain perasaan gue untuk lo?"

Felly menepisnya secara perlahan. "Gue udah mencoba untuk ngehargain perasaan kalian berdua. Bagi gue, lo dan Gaby itu sama-sama penting, kalian berdua sangat berperan di hidup gue."

"Gue tau Gaby bukan tipe lo, tapi seenggaknya lo ngehargain perasaanya dan keberadaannya untuk lo," lanjutnya sambil tersenyum.

Raga tidak bisa berbicara apa-apa lagi, dari penjelasan Felly sudah bisa dijelaskan bahwa Felly sudah menghapus namanya di pikirannya. Sebenarnya sebelum mereka seperti ini tidak ada hubungan khusus sama sekali, hanya saja Raga menyayangi gadis itu dengan tulus sampai sekarang, tapi nyatanya seperti ini.

"Mau Gaby ataupun Anggun, sama aja sih." ucap Felly.

"Anggun?" tanya Raga dengan bingung.

Felly mengangguk. "Tapi hati-hati Gaby bisa jadi bahaya dan Anggun bisa jadi hama untuk lo," ucapnya. "Pilih diantara mereka yang tepat untuk lo, dan satu lagi jaga." gadis itu menepuk pundak Raga dan berlalu pergi meninggalkan Raga, tapi sebelumnya ada penekanan di kalimat terakhir yang dia ucapnya kepadanya.

Sedangkan Raga merasa kebingungan atas ucapan Felly, tapi dia sama sekali tidak meghiraukannya lagi, Raga terus menatap pundak Felly yang perlahan menghilang meninggalkan dirinya. Mungkin sudah tidak ada harapan lagi untuk menggali perasaan gadis itu untuknya. Tapi kenapa sulit sekali melupakannya, sial! Dia memang terlalu indah untuk dilupakan.

Raga segera melajukan kembali motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, emosinya semakin memuncak setelah Felly mengatakan hal seperti itu.

Diingatnya lagi lah kisahnya dengan gadis itu.

"Lo mau jadi pacar gue?"

"Nggak bisa, gue udah anggap lo jadi temen baik gue Ga,"

Penolakan itu dilihat oleh semua orang di sekolah, tepat di atas stage saat acara prompt gabungan antara SMA Angkasa, Mulya Bhakti, dan Yadika di tahun kemarin.

Malu! Itu yang dirasakan Raga, tapi bagaimana lagi namanya perasaan tidak bisa dipaksakan ataupun di atur oleh satu pihak. Tapi perasaan sayangnya masih ada dan nyata untuk Felly sampai sekarang.

The Wound (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang