Pasrah

164 11 0
                                    

Kasturi bangun dengan mata yang masih berat. Ia coba langkahkan kaki menuju kamar mandi mengulur waktu beberapa menit kedepan jadi pilihannya saat ini. Ia mencoba membasuh mukanya terlebih dahulu dan sialnya  bekas tamparan kemarin masi terasa sangat perih. Ia melihat ke arah cermin di depannya, cukup menyedihkan batinnya.

Padahal kenyataan yang sebenarnya ia belum siap dengan perkataan yang akan dilontarkan bapaknya pagi ini. Malam itu setelah adegan ia tertunduk lemas akhirnya bapaknya meneriakinya untuk segera masuk kamar muak katanya, dan lagi cukup malam untuk membahas perbuatan biadab perempuan ini.

Mencoba mengingat perbuatan yang beberapa hari terakhir ia lakukan seingatnya dia ga clubing, jual sabu, atau malah jual diri. Plis deh opsi pertama nih ya ga mungkin banget, mau clubing pake apa kalo duit aja minim, opsi kedua dan ketiga seenggak punya duitnya Kasturi ga akan cari rezeki haram dia masi waras kali kalo yang dia sebutin tadi dosa semua di agamanya.

Bukan apa-apa, persetannya otak cerdasnya kali ini benar-benar sama sekali ga guna tau gak. Buat nerka hal negatif beberapa hari terakhir aja ga nemu-nemu, Kalo laknat sama temen teh sering, apalagi mulutnya emang kadang rem blong, tapi  kalo menyangkut keluarga Kasturi ga mungkin berbuat yang enggak-enggak. Entahlah, ia sudah cukup leleh menerka-nerka mencoba menyiapkan mental setebal baja untuk paginya kali ini.

Ia melihat pantulan dirinya di cermin lumayan baikkan sih dari pada tadi pas bagun. Baiklah, sepertinya semua sudah siap baju, hati, raga. Bahkan ia sempat kepikiran jika memang keluarganya mengiginkan dia untuk penghapusan diri dari kartu keluarga, ia siap. 

Cukup tau bahwa Bapaknya orang yang sangat tempramental, ia benar-benar bersyukur kemarin hanya tamparan yang dilayangkan. Kasturi tidak bisa membayangkan jika dengan tubuh seperti kemarin dan bapaknya melakukan tindakan lebih, mungkin sekarang ia sudah tidak hidup di dunia lagi.

"Mencoba mengulur waktu rupanya" suara intimidasi dan berbagai sorot mata tertuju padanya bak rumah rumah kosong tak berpenghuni segala aktifitas yang tadinya ramai menjadi hening seketika.

Kasturi berjalan kearah dapur guna menata beberapa hidangan yang belum tersaji. Makan dengan keadaan hening mencekam, dan bahkan hidangan yang Kasturi bawakan tadi tidak tersentuh oleh Bapaknya. Padahal ia sangat hapal bahwa makanan yang ia bawakan tadi adalah makanan kesukaan Bapaknya. Sehina itu kah dirinya?.

Meja makan telah bersih, Kasturi sudah berancang-ancang untuk mencuci piring, dan berakhir ibunya meninggalkan dia dan kembali ke meja makan guna menunggu Kasturi selesai dengan kegiatannya.

Kasturi mendaratkan bokongnya di kursi sebelah sang adik.

Bapak melirik Kasturi dengan ekor matanya "Lusa kamu nikah"

DEG!

Seakan tak terbantahkan dunia Kasturi benar-benar hancur, ia mungkin tidak kaget jika Bapaknya menginginkan namanya keluar dari kartu keluarga. Oh ayolah ia mending dicap anak durhaka oleh tetangga daripada dioper sana-sini, Kasturi meyakini bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral, butuh komitmen yang kuat untuk ini, dan Kasturi belum sanggup melakukannya.

Pernah berfikir bahwa mungkin menikah menjadi salah satu pilihan terakhir ketika ia benar-benar seputusasa itu, tapi ia mencoba menyadarkan dirinya kembali.

Setelah mengatakan itu Bapaknya pergi. Entah ingin kemana, tapi arah tujuannya adalah keluar dari rumah ini, itu yang bisa Kasturi lihat. Ibunya pun juga ikut beranjak dari duduknya menuju halaman belakang, dan sang adik juga begitu meliriknya sekilas terus langsung ngibrit kamar mandi.

Benar-benar tidak ada yang mau menjelaskan apa yang menjadi salahnya. Kasturi memegang pangkal hidungnya kayaknya dunia mulai gila, atau hanya dunianya yang menggila?.





SONshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang