Empat

2.6K 355 44
                                    

Malam harinya, Randi mendiamkan Devan yang keluar dari dalam kamar. Devan menenteng handuk di bahunya. Semetara Danu masih tertidur pulas di kursi.

Makanan sudah tersedia. Devan keluar dari dalam kamar mandi. Sebenarnya, dirinya takut untuk keluar dari kamar. Rasa bersalah di hatinya tidak bisa hilang.

Tadi itu, dia terbawa perasaan dan sungguh merasa dirinya bodoh sekali.

Pikirannya sedang kacau. Devan tidak tau harus berbuat apa.

Diliriknya Randi yang menyiapkan sepiring makanan dan berjalan ke arah kursi. Devan mengerutkan keningnya.

Randi terlihat mengelus pelan rambut Danu yang lembab hasil dari keringat.

Raut wajah Randi terlihat sedih.

Devan kaku di kursinya.

Apa dia melewatkan sesuatu tadi?

"Danuu...dek, makan dulu Danu"

Randi memeriksa suhu badan Danu lalu menggoyang pelan lengan adiknya itu. Merasakan suhu tubuhnya yang sedikit panas, Randi mengangkat Danu masuk ke kamar yang tadi ditempati Devan seorang diri.

Devan seketika tersentak dari diamnya. Dia benar-benar telah melewatkan sesuatu ternyata.

Arghhh

Devan menjambak rambutnya kuat. Kepalanya sakit dan terasa sangat berat. Devan tidak punya nafsu untuk makan ataupun melakukan sesuatu.

Randi kembali keluar, mengambil piring yang tadi ditinggalkannya dan juga segelas air hangat dari dapur. Mendiamkan Devan yang hanya dilalui nya begitu saja dan kembali masuk ke dalam kamar tidak lupa menutup pintu.

Devan mengamati sekitarnya, mencari tempat untuk melampiaskan kegundahan dalam hatinya. Dan memutuskan untuk keluar dari rumah. Berjalan di malam yang dingin dan sepi.

Devan tau dia salah. Devan tau tadi dia sangat brengsek. Devan membenci dirinya sendiri.

Devan sedang merasakan fase dimana dirinya tidak berguna sama sekali dan tidak tau harus berbuat apa. Devan malah melampiaskannya kepada kedua keluarganya yang sangat dicintainya. Devan berteriak frustasi.

Menendang apapun yang ada disekitarnya. Perlahan rintik gerimis membasahi bumi. Devan mendongakkan kepalanya ke atas. Menikmati bulir demi bulir air hujan yang jatuh membasahi wajahnya.

Devan lelah.

Devan lelah dengan semuanya.

Devan lelah melihat keadaan finansial mereka. Randi yang banting tulang. Danu yang tidak pernah check up ke rumah sakit. Dan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Devan lelah dengan kehidupan karena merindukan kasih sayang orang tua. Ibu dan ayah.

Devan lelah karena tidak tau siapa ayahnya di dunia. Ayah mereka bertiga. Apakah mereka memang semenjijikkan itu? Ataukah memang tidak pernah diharapkan terlahir. Atau, apakah ayah mereka memang sudah tiada?

Jalanan memang sepi. Hujan turun semakin lebat, hanya Devan seorang yang menikmatinya. Tidak dengan orang lain. Tidak dengan kendaraan yang lewat.

Hingga kakinya berhenti melangkah di sebuah jembatan di ujung tebing. Kaki Devan sudah terlalu jauh melangkah. Beberapa meter dari rumah mereka memang terdapat sebuah tebing curam.

Tebing itu seakan memisahkan kehidupan jenis manusia. Jika kita menatap kebawah, maka banyak sekali lampu, kendaraan dan manusia yang berlalu lalang dengan bahagia. Orang-orang disana tampak tidak memiliki penderitaan sama sekali.

Berbeda dengan tempat mereka saat ini.

Sepi, gelap dan juga kosong.

Disana Devan menyaksikan semuanya bersama hujan. Menyaksikan betapa kehidupannya sangat menyedihkan. Orang-orang tertawa dan berbelanja. Devan menangis dan terkurung dalam rasa bersalah.

Random Us [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang