Tiga belas

1.9K 246 23
                                    

Pria berjas putih itu meminum segelas teh yang tersaji di atas meja. Wajahnya tampak letih. Kedua kantung matanya yang berwarna gelap membuat pria dihadapannya mengerutkan keningnya.

"Kau seperti pria tua yang sangat depresi. Apa menjadi dokter begitu merepotkan?"

Pria tersebut menjawab dengan ekspresi kesal. Pertanyaan macam apa itu?

"Kalau jadi dokter sangat mudah, kurasa semua manusia di dunia ini akan jadi dokter"

Pria bertuliskan nama Delon di jas putihnya itu sampai-sampai lupa menanggalkan jas dokternya. Delon mendecih saat pria di depannya mulai nengeluarkan sebatang rokok.

"Bastard. Kau bukannya sudah janji pada Angel untuk tidak merokok lagi?" Tanyanya. Setaunya teman lamanya ini sudah berhenti mengisap batang nikotin itu sejak hadirnya Angel. Apalagi, profesinya yang tidak sembarangan harus membuat pria dihadapannya ini menjaga sikapnya.

"Alah sok sok bastard. Aku juga tau kau mau. Ambil saja, jangan sungkan. Kalau habis padamu, aku bisa membeli pabrik-pabriknya sekaligus."

Dan benar saja, Delon mengambil sebatang. Tempat mereka ini sangat jarang didatangi orang-orang. Delon seperti punya akses tersendiri untuk berada di atap rumah sakit yang biasanya hanya didatangi oleh petugas untuk menyimpan barang-barang yang tidak digunakan lagi.

Udara disana sungguh menyejukkan. Panas matahari yang terbawa oleh angin membuat Delon dan pria dihadapannya ini bebas untuk menghembuskan asap rokok.

"Kenapa? Kau sedang ada masalah berat?" Ucap Mario.

Iya, pria yang sedang berada bersama Delon saat ini adalah Mario. Teman lamanya yang baru datang dari kota sebrang.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Tumben sekali kau menemuiku. Biasanya jika di telp saja kau sangat sibuk dengan media"

Mario terkekeh pelan. Ditatapnya langit cerah di atas sana. Sungguh menyejukkan wajah dan pikirannya yang sedang kusut.

Hening hingga beberapa waktu. Delon melempar batang rokok yang tersisa sedikit itu ke lantai lalu menginjaknya. Ingatkan dia nanti untuk mengambilnya kembali.

Mengikuti gaya Mario yang menutup mata dan bersender di kursi, Delon menutup matanya juga.

"Kau tau, aku tiba-tiba memikirkan Karen"

Delon lantas membuka matanya dengan sekejab. Wah wah wah, pantas saja lelaki sombong di depannya ini mendatangi kota ini lagi. Ternyata merindu oleh mantan istrinya itu.

Delon mengenal sekali Karen. Mereka satu kampus dulu. Karen perempuan baik-baik. Delon mengenal wanita itu sangat baik. Karen berprestasi, pandai memasak, suka menolong orang dan tidak sombong.

Namun sayangnya, Karen tidak terlahir dari keluarga mapan. Ibu Karen hanya penjual roti di sebuah kedai sederhana. Ayahnya seorang buruh lepas.

Keadaan ekonomi mungkin bisa dijadikan alasan mengapa temannya si Mario ini tidak mendapat restu dari kelurganya. Apalagi nenek dan kakeknya yang jelas-jelas seorang pebisnis ternama.

Tapi satu hal yang Delon tau, Mario sebenarnya mencintai Karen dengan sangat dalam. Wanita sederhana itu dulu mampu membuat kepribadian seorang Mario jauh lebih baik.

Namun Mario sangat bodoh. Saat itu keluarganya membuat keputusan bahwa Mario harus memilih antara mimpinya dan juga wanita malang itu.

Dan Mario memilih mimpinya. Menjadi seorang penyiar ternama juga mengurus beberapa perusahaan terpandang.

"Entah mengapa semenjak hari itu, hari perceraian kami, aku merasa ada yang salah Del. Seperti sesuatu yang selalu menghantuiku setiap saat. Aku tidak bisa bernafas tenang."

Random Us [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang