Mario menyampingkan tubuhnya. Menatap Delon berharap untuk memastikan hatinya.
Namun perkataan Delon selanjutnya membuatnya kembali dilema.
"Enggak, enggak mungkin juga Mar. Lo inget kan waktu Karen bilang dia keguguran. Enggak mungkin sih. Pasti ini cuma kebetulan doang"
Mario menutup matanya gusar. Padahal hatinya sudah melonjak-lonjak sedari tadi. Mario ingin seseorang menghiburnya dengan sebuah kalimat yang memenuhi perasaannya.
Sudahla. Mau itu benar atau tidak, yang jelas Mario tidak akan membiarkan mata itu berpindah pada orang lain.
"Del, jangan sampai lo berani ngelakuin hal yang tadi lo sebutin. Apapun alasannya"
"Tapi lo tau kan alasan dia mau jadi pendonor?"
Cih, masalah kecil untuknya.
"Kau tau kan aku bahkan bisa membeli rumah sakit ini? Jadi tutup mulutmu dan lakukan apapun untuk dia ataupun adik-adiknya. Jangan pernah ungkit soal biaya"
"Tapi Mar, kalau mereka nanya gue mau bilang apa? Lagian, kenapa lo jadi peduli banget. Ingat Mar, itu bisa aja kebetulan. Nanti lo bakal kecewa"
Mario menatap celana hitamnya. Baru kali ini dia bertingkah seperti ini. Suatu sisi dia merasa ini tidak perlu dilakukan. Namun hatinya berkata, jika dia tidak melakukan nya maka akan terjadi hal yang lebih buruk lagi.
"Gue gak peduli sama status mereka dan segala kemungkinan lainnya. Gue ngerasa punya tempat pulang lagi setiap mandang mata itu Del"
"Setiap?"
Mario mengangguk. Mengingat kembali pertemuan mereka sebelumnya. Ternyata semuanya ini sudah diatur oleh takdir. Semesta memepertemukan mereka di waktu yang tepat. Mario bahagia.
"Dua kali. Tapi rasanya seperti sudah berkali-kali"
-----------------------
Saat dokter yang menangani adiknya itu selesai menyampaikan berita membahagiakan tersebut kepadanya, Randi dan Devan tak henti-henti mengucap syukur.
Dengan senyum yang tak pernah luntur, Randi merangkul Devan masuk ke dalam ruangan. Menatap Danu yang melihat mereka kebingungan.
"Ada apa gerangan nih wahai kakak-kakakku tercinta"
Devan berjalan mendekat lalu memeluk Danu dengan sangat erat. Lupa bahwa yang sedang dipeluknya itu susah untuk bernafas.
"Bangke kak lepas. Gue gak bisa napas"
Randi menarik baju Devan paksa. Adiknya satu itu memang keterlaluan jailnya.
"Hehe. Ya maap gue bahagia nih"
Randi mengabaikan. Dirinya tersenyum tulus kepada Danu yang sedang mengelus lehernya.
"Dan, kamu bentar lagi sembuh Dan. Kamu bisa operasi"
Danu membulatkan matanya. Operasi?
Ahahahaha. Apakah kakaknya ini sedang bercanda. Untuk membayar tagihan rumah sakit saja Danu tau mereka kesulitan. Boro-boro operasi.
Lagian Danu juga sudah pasrah dengan hidupnya. Ya jika sewaktu-waktu dia harus berpulang, paling-paling Danu merasa sedih karena kedua kakaknya juga akan sedih.
"Perasaan ini bukan bulan april. Kok kakak becanda sih ah"
Devan menoyor lengan Danu pelan. Sudah sadar diri bahwa adiknya itu sedang menjadi seorang pasien.
KAMU SEDANG MEMBACA
Random Us [TAMAT]
Historia CortaRandi memandangi adik-adiknya malas. Seorang berada di atas kasur memegang konsol game. Seorang lagi berada di atas adiknya yang sedang bermain itu. Randi tau Devan sengaja. adiknya yang lahir 5 menit setelah dirinya itu tidak akan hidup jika tidak...