Pagi ini Moza mengendarai mobilnya di salah satu kawasan perumahan elit.Sebelum menjalankan misi bersama Alexa dan yang lainya, Moza berencana mengunjungi rumah kedua orang tuanya. Sebenarnya mamanya yang bersih keras memerintahkan Moza untuk pulang. Misi terakhirnya kemarin berlangsung selama dua minggu. Dan selama itu pula Sabrina tidak bertemu dengan putrinya.
Mobil Moza berhenti di depan gerbang besar berwarna hitam. Rumah berlantai tiga dengan gaya arsitektur percampuran Eropa dan adat Jawa nampak setelah gerbang di bukakan oleh seorang satpam perumahan yang kebetulan melintas di dekat rumah orang tuanya.
Setelah memarkirkan mobilnya di samping mobil-mobil milik papa mamanya, Moza melangkah menuju pintu besar rumahnya yang terbuka lebar.
Moza yang hafal betul kelakuan mamanya ketika dirinya pulang, langsung menuju ruang makan keluarganya. Benar saja, Sabrina nampak tengah menata hidangan di atas meja makan.
"Hai mam!" sapa Moza.
"Kok udah sampe Za? Cepet banget! Kamu ngebut ya?"
"Enggak. Tadi jalanannya agak sepi, nggak kena macet kayak biasanya."
Moza tadi berangkat pagi-pagi sekali. Dan sebelum ke sini, ia sempat ke supermarket dekat kediaman kedua orang tuanya untuk berbelanja kebutuhan sehari-harinya yang mulai menipis.
Tapi sebenarnya jika dirinya mengebut pun tak masalah. Dirinya inikan agen Intelijen yang sudah biasa dengan adegan nyaris mati. Mamanya ini berlebihan!
Moza berjalan mendekati Sabrina yang masih sibuk mondar mandir dari area dapur ke meja makan, memindahkan menu sarapan keluarganya sendirian.
Memang tidak ada asisten rumah tangga di rumah besar kedua orang tuanya. Pekerjaan yang bertaruh nyawa membuat papa maupun mamanya tidak mudah mempercayai orang. Mereka benar-benar hanya mengandalkan diri mereka sendiri untuk mengurusi semua kebutuhan rumah tangga di kediaman mewahnya.
"Aku bantu?" tawar Moza.
Sabrina meletakan piring terakhir berisi ayam panggang buatanya. Wanita berumur tiga puluh sembilan tahun itu tersenyum. Ia mendekati Moza yang berdiri di sisi meja makan. Kemudian mengecup kilat dahi putrinya.
"Mama!" Gerutu Moza.
Sabrina langsung menyingkir dari hadapan Moza. Putrinya itu selalu terlihat kesal jika ia memperlakukanya posesif.
"Kenapa? Marah kamu?" Sabrina tertawa mengejek pada Moza.
Terlepas dari pekerjaan penuh resiko putrinya, Sabrina selalu menggangap Moza adalah gadis kecilnya. Pertemuan yang sangat jarang dengan Moza membuatnya selalu berfikir bahwa setiap kebersamaanya dengan Moza selalu menyenangkan. Sabrina gemar menggangu Moza. Ekspresi kesal Moza selalu menjadi bagian favoritnya.
Moza tidak menanggapi ucapan mamanya. Ia menarik kursi di depanya kemudian duduk di sana.
Ada tujuan lain Moza datang ke sini. Percakapan dirinya bersama Arthur yang sesekali membahas Elang membuat dirinya penasaran dengan latar belakang kehidupan kakak beradik itu.
Selama ini Moza selalu menggangap bahwa Elang hanyalah laki-laki genit yang ingin selalu menarik perhatian setiap wanita yang di temuinya. Tapi pandangannya sedikit berubah ketika ia mendengar pengakuan Elang tentang kematian orang tuanya.
Moza juga sekalian ingin bertanya sedikit tentang Serigala Merah. Siapa tau, ibunya mempunyai informasi tentang kelompok ini. Walau Moza sadar, tindakanya ini sama saja dengan ia mencoba untuk membocorkan misi rahasianya.
Tapi menambah informasi demi keberhasilan misi tak ada salahnya kan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Speak The Truth
AdventureNarkoba. Barang haram yang dilarang penggunaanya oleh negara maupun agama. Lebih banyak memberi dampak negatif daripada dampak positif, katanya. Tapi sayangnya, walau beribu-ribu kali kalimat penuh peringatan tersebut sudah sering di gaungkan oleh...