Jam setengah dua dini hari udara di kota Jogja begitu dingin. Moza menyesal hanya mengenakan kaos tipis tanpa membawa jaket atau sweater. Tapi untung saja Fero berinisiatif meminjamkan salah satu jaket nya yang sengaja dia taruh di bagasi mobil bersama beberapa barang lain.
Setelah menerima ajakan Jeje untuk melihat balap mobil yang akan di ikuti Raditya, Moza bersama Fero dan segerombolan anak muda lainnya berkumpul di basemant salah satu gedung yang letaknya di tengah kota.
Acara di mulai setengah jam lagi, tapi para peserta maupun penonton sudah berkumpul di area basemant ini.
"Emangnya nggak bahaya ya, lintasanya pakai jalan protokol?"
Moza yang duduk di kap mobil milik Fero bertanya. Disampingnya ada Fero yang menyandarkan bokongnya di tepi kap mobil, sementara Jeje dan Gilbert berdiri di depan Fero dengan posisi tubuh menghadap ke samping.
"Justru itu yang di cari, Za! Sensasi adrenalin berebut jalan sama pengendara lain!" Jeje menjelaskan sistem perlombaan balapan mobil yang mereka datangi dengan menggebu. "Di sini yang di nilai nggak cuma dulu-duluan sampai garis finish doang! Tapi, ketika lo bisa nyelesaiin balapan tanpa harus menimbulkan kecelakaan dan yang pasti, bisa lolos tanpa kena tangkap polisi, itu artinya lo menang dalam perlombaan!" lanjut laki-laki tambun tersebut.
"Nah, kalau kena tangkep polisi, gimana tuh?" Moza lanjut bertanya, walau ia sudah tahu pasti jawabanya.
"Paling di tahan semalem doang, paginya udah bisa bobok cantik di ranjang! You know-lah, the power of money!"
Moza menggaguk-anggukan kepalanya.
"Prizes?"
"Absolutely, kalau nggak cewek ya uang! Kadang juga drugs."
Kini Gilbert yang membantu menjawab rasa penasaran Moza terhadap dunia balap di lingkungan Raditya dan kawan-kawan. Tapi setelah kalimat terakhir di ucapkan Gilbert, Fero dan Jeje menjadi saling berpandangan. Kemudian kedunya menatap Gilbert dengan pandangan yang seolah mengatakan 'bego! Lo kenapa harus bilang yang itu sih!'
Yang dilakukan Gilbert selanjutnya adalah menundukan kepala sedalam-dalamnya.
Menyadari situasinya bagaimana, Moza berinisiatif untuk memecahkan keadaan dengan berkata, "kenapa? Santai kali!" Moza tertawa keras tanpa di buat-buat. "Temen-temen gue dulu juga enggak jauh-jauh dari barang begituan!" perkataan Moza benar-benar kelihatan natural, bukan bualan. "Lagian anak muda jaman sekarang mana bisa sih, jauh-jauh dari yang begituan?"
Mendengarnya, ketiga laki-laki yang mengitaranya menatap tak percaya.
"Seriusan lo?" Jeje yang memberikan tanggapan pertama kali.
Moza mengangguk, meyakinkan. Senyuman masih terpatri jelas di wajah cantiknya.
"Kalau lo sendiri?"
"You got it, Athena!"
Suara Fero yang terdengar penasaran di susul dengan suara dari Dafa yang terdengar senang di telinga kanan. Ia bersama Tio dan Alexa menunggu di luar gedung, tak masuk ke dalam area basemant.
Lagipula, tanpa masuk kesana pun Dafa dan yang lainya masih bisa memantau dengan jelas, berkat cctv yang berhasil di retas Dafa tentunya.
Moza terseneyum miring, ia menatap Fero lekat. Tubuhnya ia condongkan ke arah lelaki tersebut. Wajah mereka begitu dekat karena Fero yang ikut menundukan kepalanya.
"Menurut lo?"
Lagi-lagi Fero tersenyum miring. Gadis di depanya ini penuh dengan kejutan dan tanda tanya, menantang Fero untuk terus mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Speak The Truth
AventuraNarkoba. Barang haram yang dilarang penggunaanya oleh negara maupun agama. Lebih banyak memberi dampak negatif daripada dampak positif, katanya. Tapi sayangnya, walau beribu-ribu kali kalimat penuh peringatan tersebut sudah sering di gaungkan oleh...