TWENTY SIX - BACKPACK

195 38 8
                                    

Tanpa berniat membalas ucapan dari perempuan di depannya, Elang memaksa kakinya melangkah secepat angin. Walau ia masih penasaran apakah perempuan tadi menyimak percakapan antara dia dan timnya sejak awal, tapi ia paham prioritasnya untuk detik ini adalah Edgar.

Berusaha mengalihkan pikirannya dari Nadia, telinganya ia fokuskan untuk mendengarkan arahan dari Dafa.

"Target 1 berjalan ke arah gerbang samping sekolah. Dua satpam yang harusnya berjaga, tak terlihat satupun."

Target 1 di berikan kepada Edgar, sementara pria bertudung pembawa tas mencurigakan adalah target 2. Dafa juga mengungkapkan keganjilan yang menggangu pikirannya, karena semenjak Edgar berkelana mengedarkan barang haramnya, ia tak melihat satupun satpam yang biasanya selalu siap sedia berjaga di pos penjagaan depan. Mereka kali ini tak nampak batang hidungnya.

"Prioritas kita untuk saat ini adalah mengetahui isi tas yang di bawa Edgar. Dan jika transaksi kali ini ada sangkut pautnya dengan orang-orang di rumah bordil sebulan yang lalu, bukan tidak mungkin para satpam ikut ambil 'jatah' mereka." Arthur berspekulasi sambil menekan kata di akhir kalimatnya.

"Berarti beberapa orang di Budi Bangsa adalah oknum?"

"Kita lihat saja nanti."

Kalimat terakhir Arthur memberi tanda tanya besar bagi sesama rekan timnya. Bertanya secara lebih lanjut tak ada gunanya. Misi ini masih abu-abu. Semua orang bisa terlibat dengan Serigala Merah. Pesan dari Mrs. Grey untuk tidak memercayai siapapun serta tetap waspada tertanam dalam pikiran mereka.

"Athena masuk. Target 2 mulai menghilang dari pandangan. Meminta bantuan arahan serta beberapa agen lain untuk pengejaran."

Sedari tadi Moza tidak berhenti mengejar. Gang-gang sempit nan kumuh penuh gerobak kanan kiri serta barang yang terus di lemparkan kepadanya oleh si pria misterius cukup menguras kesabaran serta tenaganya. Lelahnya tak ia hiraukan. Kali ini tekad Moza benar-benar tak ada jalan untuk kembali. Pria misterius itu harus tertangkap, tak peduli walau baku hantam terpaksa harus terjadi.

"Berlin ikut pengejaran target 2. Memulai rute pemblokiran. "

Suara Alexa terdengar. Kaki jenjangnya ikut ia pacu untuk terus berlari. Dari arahan Dafa ia mencari jalan alternatif lain yang terarah menuju si pria misterius dan Moza. Dengan insting-nya, Alexa kini berusaha menebak jalan mana yang akan di ambil oleh targetnya dan berjaga untuk memblokir jalan.

Dengan nafas yang mulai terputus-putus tak mengurangi semangat Moza untuk berlari, ia hanya menyayangkan di balik tembok kokoh Budi Bangsa ternyata terdapat pemukiman kumuh dengan gang sempit seperti ini. Kesenjangan yang sungguh menyayat hati.

Pikiran yang mulai berkelana memecah fokus Moza. Sebuah pot berbahan tanah liat berisi bunga utuh di lemparkan kepadanya. Benda itu tepat mengenai kepala Moza. Untuk beberapa detik rasa sakit menjalar di kepalanya, hal itu juga memengaruhi keseimbangannya.

Ia berhenti beberapa saat dengan kedua tangan berpegangan pada besi gerobak. Berdirinya juga tidak lagi bisa tegap. Moza meringis. Tangan kanannya mengusap jidat kirinya. Telapak tangannya mendapati darah kental. Kini bukan jidat berdarah yang ia khawatirkan, tapi si pria misterius yang tiba-tiba menghilang dari pandangan.

Moza mengedarkan pandangannya di persimpangan gang sambil memberikan laporan.

"Athena masuk. Target menghilang. Posisi terkahir di persimpangan gang berjarak kurang lebih 700 meter dari gerbang belakang sekolah mengarah ke selatan. Meminta bantuan kepada London dan-"

Belum sempat Moza menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba seseorang menyerang leher belakangnya menggunakan benda tumpul. Pandangannya mulai menggelap. Moza membalikkan kepalanya tapi si pria bertudung yang ia kejar lebih dulu memukul wajah mulus Moza. Sebelum ia benar-benar memejamkan matanya, pukulan itu menyadarkan Moza bahwa ia gagal kembali.

Speak The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang