Ada banyak makian yang ingin Arthur lontarkan, tapi coba ia tahan dengan alasan tidak ingin terlihat konyol di antara rekan timnya. Jika boleh jujur, ia sangat lelah. Lelah karena harus selalu siap baku hantam dengan para targetnya, lelah setiap saat selalu waspada dan terus berpikir demi berjalanya misi, dan lelah karena harus terlihat tenang, terlihat semua akan baik-baik saja di depan rekan kerjanya. Banyak beban yang selalu ia pendam dan rasakan sendirian. Hidup di tengah ancaman membuatnya selalu bertanya-tanya, apakah kedamaian itu sebenarnya ada di dunia yang sedang ia pijak ini?
Akhir-akhir ini, Arthur mulai memikirkan kembali perkataan Elang beberapa tahun silam. Malam itu ketika mereka sama-sama berkunjung ke makam kedua orangtuanya, dirinya hanya menunggu di dalam mobil. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tapi yang jelas adiknya itu telah berupaya menyeretnya keluar dari dalam mobil tapi ia tak bergerak sedikitpun. Elang memaki tapi seakan telinganya tuli. Ia hanya berkata 'abang doa dari sini, lagi capek.'
Elang mendecih sambil melipat tangannya di depan dada. Dengan nada garangnya, adiknya yang kurang ajar tersebut mencercanya habis-habisan selama bermenit-menit lamanya, tapi dari ceramah di tengah kuburan yang dilakukan adik lelakinya, ada tiga kalimat yang berhasil mencubit secuil hatinya serta melekat dalam hati dan kepalannya sampai sekarang, dan mungkin akan ia terus ingat sampai kematian menghampirinya.
"Bang Arthur capek karena semuanya berusaha diselesaikan sendiri, itu masalahnya!"
"Pikiran abang terlalu logis, sampai bikin hati abang terkikis!"
"Abang terlalu sibuk sama pikiran abang, sampai nggak peka kalau ada yang peduli sama bang Arthur..."
Yah, begitulah faktanya seorang Arthur beberapa tahun belakangan. Arthur yang beringas tapi cerdas, Arthur yang selalu merasa tidak puas jika kata 'misi selesai' belum terucap langsung dari mulut sang atasan. Dulu Ia juga tidak segan untuk menyiksa targetnya demi terungkapnya sebuah informasi. Ia benar-benar rela melakukan segalanya tanpa pandang bulu. Oh, jangan lupakan salah satu prinsipnya yang selalu mengangap rekan kerja hanyalah sebuah beban dan penggangu.
Sedikit berbeda, akhir-akhir ini Arthur lebih sering menjalankan misi bersama tim daripada misi yang di jalankan sendiri seperti beberapa tahun lalu. Bersama tim- dengan kepribadian mereka yang beragam pastinya, membuatnya mempertahankan sepercik nurani di hatinya. Ia belajar untuk hangat. Dan di hadapan targetnya saat ini, akan ia uji seberapa besar kekuatan nurani yang selama ini telah ia asah dan pelihara.
"Edgar Dewangsa!"
Arthur muncul dari balik pintu kamar mandi. Edgar yang mendengar suara seseorang yang sepertinya tidak asing membalikkan tubuhnya. Ia tercengang. Perlahan ia berjalan menghampiri Arthur.
"Lo..." Edgar menunjuk wajah Arthur. "Lo guru olahraga yang baru itu kan?"
Arthur diam. Ia berdiri santai. Tangannya ia lipat di depan dada, gestur yang berusaha ia tunjukkan untuk menunjukkan bahwa Edgar ada dalam genggamannya.
"Jadi sebenarnya selama ini lo Intel? Udah lama lo ngincer gue?" Edgar tertawa keras, Arthur masih diam membiarkan.
"Nih ya gue kasih tau," Edgar menepuk-nepuk pundak Arthur, "gue tau lo polisi rendahan yang berjuang untuk naik pangkat buat bisa dapet gaji lumayan, tapi daripada lo susah payah dan berjuang mati-matian kayak gini, yang nantinya atasan lo bakal nutup ini kasus padahal sebenarnya belum selesai, mendingan lo gabung ke kita aja. Percuma man, Serigala Merah bukan tandingan lo!"
"Jadi benar, kau anggota Serigala Merah?"
"It's done. Edgar Dewangsa membuka sendiri rahasianya." Dafa bergumam. Rekan kerjanya ikut memanggut-manggut antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Speak The Truth
AventuraNarkoba. Barang haram yang dilarang penggunaanya oleh negara maupun agama. Lebih banyak memberi dampak negatif daripada dampak positif, katanya. Tapi sayangnya, walau beribu-ribu kali kalimat penuh peringatan tersebut sudah sering di gaungkan oleh...