SIX - PIZZA BOX'S

383 55 3
                                    

Ingat ketika Moza datang terlambat padahal pertemuan belum di mulai dan Elang akan memberikan hukuman sebagai konsekuensi?
Hukuman tersebut ternyata benar benar dirasakan Moza.

Setelah membahas misi yang di warnai perdebatan yang sebagian besar di picu oleh Elang, para agen memutuskan untuk berkumpul di balkon ruang pertemuan milik Elang terlebih dahulu. Mereka mengobrol sambil menikmati lampu-lampu kendaraan yang berlalu lalang di jalanan malam Ibukota.

Lima menit kemudian, bel apartment milik Elang berbunyi. Moza di paksa untuk membuka pintu oleh Elang. Awalnya Moza dan yang lain heran dengan kelakuan Elang, tapi setelah Moza membuka pintu, Moza sadar hukuman macam apa yang di berikan Elang kepadanya.


Di sana nampak seorang laki-laki yang menggunakan jaket berlogo salah satu restoran cepat saji terkenal membawa lima kotak pizza dan tiga botol besar minuman bersoda. Ia datang mengantar pesanan pizza atas nama Moza.
Moza yang untungnya membawa uang cash segera membayar tagihan makanan yang sebenarnya bukan dia yang memesan.

Moza membawa makanan tersebut ke balkon apartment milik Elang, tempat di mana rekan timnya masih berkumpul.

"Kau memesan semua pizza itu untuk kami?" Dafa yang pertama kali berkomentar.

"Sebenarnya bukan aku yang memesan, tapi bocah iblis itu." Moza melirik Elang malas.

"Itu sebagai hukuman karena kau membuat lima menit kami terbuang sia-sia menunggumu." Elang mencibir.

Moza yang sadar bagaimana kelanjutan percakapan ini memilih diam. Ia mengikuti Alexa dan yang lain menyantap pizza pesanan Elang.

Akhirnya, malam itu Moza habiskan untuk berbincang dan bersenda gurau bersama anggota tim lain yang akan menjalankan misi bersamamya. Ia juga malah mendapatkan kesempatan berbicara berdua bersama Arthur.

Ketika itu Moza sedang berdiri di tepi pagar balkon, menatap pemandangan malam kota metropolitan. Sementara anggota tim lainya duduk bergerombol di halaman balkon, masih dengan pizza dan minuman bersoda. Tiba-tiba Arthur datang menghampirinya. Berdiri di samping kirinya, ikut menatap ke jalanan padat Jakarta.

"Maaf soal perlakuan Elang."

Moza tersenyum. Ia menggangkat gelas di tangan kananya, menyesap minuman bersoda di dalamnya sebelum menjawab, "tak masalah. Kenapa malah bang Arthur yang meminta maaf?"

Arthur diam. Ucapan Moza membuat ia kembali memikirkan kejadian di masa lampau. Masa di mana adiknya terlihat sangat menikmati indahnya kehidupan, belum mengenal kerasnya hidup di dunia yang sebenarnya.

Dulunya Elang adalah tipikal anak yang ramah terhadap semua orang. Hari-harinya selalu di warnai dengan keceriaan. Setiap hal bisa dijadikan bahan tertawaan oleh Elang. Ibu-ibu kompleks sering mengajak Elang kecil kerumah mereka dikarenakan tampang Elang yang tampan, manis sekaligus menggemaskan.

Hingga wajah menggemaskan itu berubah menjadi muram setelah kabar tentang kedua orang tuanya yang tewas. Arthur melihat perubahan adiknya yang signifikan, adiknya itu berubah menjadi pendiam tapi sekaligus menjadi bocah tengil yang menyebalkan. Elang cenderung mau menang sendiri.

Pernah suatu sore, selang beberapa bulan pasca kematian orangtuanya Arthur yang berniat memberikan suasana baru kepada Elang mengajak adiknya tersebut untuk bermain sepak bola bersama beberapa anak di lapangan kompleks rumah mereka.

Speak The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang