ONE - THE CRAZY ONE

915 93 2
                                    

Keluar dari markas rahasia, Moza bergegas kembali ke apartment miliknya yang berada di kawasan Sudirman. Ia mengendarai mobilnya dengan tenang, namun matanya menatap malas ke arah jalanan Ibu Kota Negara yang semakin hari semakin sesak saja oleh kendaraan yang berlalu lalang.

Suara radio yang sedang memutarkan lagu-lagu barat yang menjadi tren kalangan anak muda masa kini menjadi pemecah kesunyian di dalam mobilnya. Sesekali gadis sembilan belas tahun tersebut bersenandung kecil menirukan lirik lagu yang sekiranya ia hafal.

Empat puluh lima menit kemudian, Moza memasuki area apartmentnya.

Moza memarkirkan Jazz hitamnya, lantas menyampirkan ransel rooltop hijau army-nya di bahu kanan kemudian keluar dari dalam mobil menuju lift.

Setelah masuk ke dalam lift yang kosong, gadis itu menekan tombol bertuliskan 23, letak dimana apartmentnya berada.

Sembari menunggu sampai di lantai tujuan, Moza memainkan ponsel berlogo apel tergigit keluaran terbarunya dengan tenang. Tidak ada informasi penting apapun kecuali beberapa pesan dari orang tuanya yang menanyakan kabar dirinya. Moza langsung membalas pesan dari Mama Papanya.

Nampak lift terkadang berhenti. Beberapa orang masuk ke dalamnya dan gadis itu masih sibuk dengan kegiatanya, mengacuhkan orang yang keluar masuk lift.

Namun di tengah-tengah kegiatannya membalas pesan, tiba-tiba saja dari arah belakang ada sebuah tangan yang mengagetkan Moza dengan cara mencolek pinggang kirinya dengan keras. Seseorang tersebut juga meneriakai Moza dengan kalimat tidak senonoh,

"What's up mother fucker!"

Lift dalam keadaan penuh sesak. Moza yang diperlakukan seperti itu menahan rasa malu sekaligus menahan emosi untuk tidak mematahkan tangan setan yang satu ini.

Orang yang melakukan hal teresebut malah tertawa dengan keras, tak peduli dengan tatapan tajam orang-orang maupun sang korban dari colekan yang menciptakan sensasi ngilu pada pinggang samping kirinya.

Lift berdenting, layar lift menunjukan angka 23, Moza bergerak keluar. Tangan kananya menyeret baju orang yang menjahilinya tadi.

Setelah pintu lift tertutup, Moza segera menyemprot laki-laki yang masih tertawa tersebut.

"Kau memang benar-benar gila, Elang! Berhentilah tertawa! Aku membenci suara tawamu yang menyerupai teriakan setan ketika disiksa dalam neraka!"

Laki-laki itu benar-benar menghentikan tawanya. "Apakah semengerikan itu? Tapi kata orang, suara tawakulah yang menjadikan nilai plus para wanita mau kutiduri secara cuma-cuma. Selain paras tampanku pastinya."

Moza mengernyit jijik mendengar jawaban laki-laki berpostur tegap tersebut yang sebenarnya tidak nyambung dengan omelan Moza barusan. Moza kemudian memilih pergi meninggalkan sang laki-laki yang oleh Moza tadi di panggil dengan sebutan Elang.

"Dimana aku?" gumam Elang.

"Lantai dua puluh tiga." Moza yang belum terlalu jauh dari tempat Elang berdiri menjawab malas.

"Kenapa di sini, tempat tinggalku kan masih lima lantai lagi?" Elang berucap bingung.

Moza berhenti berjalan. Tanpa berbalik ia berujar, "bodoh! Tak ingat ketika aku menyeretmu keluar lift karena kau mempermalukan dirimu sendiri dengan cara tertawa tak terkendali layaknya orang gila kesetanan?"

"Kau sudah menyebut diriku setan dua kali. Sekali lagi kau memanggilku begitu, ku pastikan kau akan membawakan belanjaanku yang banyak ini ke dalam flatku." Elang menjawab dengan tampang datar.

"Apa peduliku?" Balas Moza sinis sambil melirik kebelakang, menyadari ternyata daritadi Elang memeluk kantong belanjaan besar.

Menghela nafas, Elang segera berbalik menuju lift kemudian menekan tombol bergambar dua anak panah yang berlawanan.

"Hah, sudahlah. Tak ada gunanya berbicara dengan setan macam kau."

Kalimat yang terakhir itu Elang ucapkan bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.

Moza berbalik, menggeram marah. Dilihatnya Elang yang bergegas masuk mendesak kerumunan orang yang juga sedang berada di dalam lift.

Elang tertawa melihat Moza yang terlihat akan meremukan ketiga tulang rusuknya jika ia tidak cepat-cepat menekan tombol tutup berkali-kali.

"DASAR BOCAH IBLIS!"

Teriakan itu masih bisa terdengar karena pintu lift belum benar-benar tertutup rapat. Elang menyandarkan punggungnya ke dinding lift sambil tertawa terpingkal-pingkal, tak memperdulikan orang-orang yang memberikan tatapan aneh kepadanya.

Membuat seorang Moza yang kaku dan sok cuek terlihat kesal adalah suatu kesenangan tersendiri bagi Elang Ganendra Ardani.







Membuat seorang Moza yang kaku dan sok cuek terlihat kesal adalah suatu kesenangan tersendiri bagi Elang Ganendra Ardani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Speak The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang