Karena peran kartu member eksklusif dari club malam tersebut di keluarkan Fero, Moza berhasil bebas dari penggledahan pihak keamanan club malam dengan Glock 17 masih tersimpan di dalam tas selempang hitamnya.
Ia sekarang berjalan di lorong panjang club malam ternama di kota Jogja. Fero menggandeng tangan Moza ketika sudah memasuki area dance floor, menghindari agar mereka tak terpisah di antara lautan manusia yang tengah berjoget dengan gaya kesetanan andalan mereka.
Suara musik yang berdentum menambah keriuhan pengunjung. Kata Fero, ada DJ ternama yang malam ini akan tampil, mempengaruhi jumlah pengunjung yang akan membludak dari hari biasa.
Gandengan tangan Fero dilepaskan ketika mereka berdua mulai menaiki anak tangga.
"Kemana kita Fer?!" tanya Moza dengan sedikit berteriak karena suara musik masih saja berdentum keras.
Fero menatap Moza yang berjalan di belakangnya, kemudian menjawab Moza juga sambil berteriak, "Anak-anak pada open table di atas!"
Moza hanya mengangguk untuk menanggapinya.
Langkah Fero terlihat buru-buru. Mungkin laki-laki tersebut benar-benar khawatir mobilnya akan di jual oleh kawanya.
Tadi ketika di perjalanan menuju club malam ini, Fero sempat bercerita bahwa ia kalah taruhan saat melihat balapan mobil dengan Jeje. Tapi karena uang cash yang di bawa Fero kurang dari nominal kesepakatan di awal, Jeje meminta mobil Bugatti yang di gunakan Fero pada malam itu menjadi jaminan.
Setelah mengitari kurang lebih lima belas anak tangga, sampailah Fero dan Moza di lantai dua. Di sini Moza menemui lorong panjang lagi. Sebalah kiri ada ruangan dengan sekat kaca. Di dalamnya terlihat meja kursi yang di isi oleh manusia-manusia sedang berbuat dosa. Meja mereka terlihat di penuhi oleh berbagai merek alkohol. Hal keren dari area tersebut adalah bisa langsung menatap lautan manusia di bawahnya.
Sementara di sebelah kanan lorong, letak privat room berada. Pintu jati bernomor, berderet dari ujung satu hingga ujung lainya.
Fero terus berjalan hingga ke ujung lorong. Sesekali, ia melirik ke arah gadis yang ikut berjalan tergesa di belakangnya. Ia baru berhenti di depan pintu bernomor 15. Pikir Moza, disinalah Jeje berada. Ketika tangan Fero akan memutar kenop pintu, seseorang dari dalam ruangan lebih dulu membuka pintu dari dalam.
"Lama lo Fer! Gua jadi mabok gegara nungguin lu!" Derrel dengan muka setengah telernya meracau pada Fero.
"Lah kenapa malah jadi nyalahin gua? Kalau nggak mau mabok, ya jangan banyak minum, goblok!" balas Fero tak terima.
Moza kembali bertemu dengan targetnya. Tidak hanya seorang, tapi untuk malam ini, semua target operasi misinya kumpul menjadi satu disini. Salah satunya yang sedang berdebat dengan Fero saat ini, William Derrel, masih satu kelas dengan Jeje, dan pastinya, punya ketergantungan dengan barang haram bernama narkoba.
"Jangan debat depan pintu, woy! Ngalangin jalan tau nggak!" Leonita yang berdiri di belakang Derrel teriak-teriak tak jelas. Di samping kanan kirinya ada Sarah dan Aleta.
Gadis tersebut kemudian mendorong tubuh jangkung Derrel dengan kasar, membuatnya hampir bertubrukan dengan Fero.
"Apaan sih ini!" ucap Fero kasar dengan tangan yang terus menghalau tubuh Derrel agar tak bertubrukan dengannya.
Karena sudah teler, Derrel hanya tertawa melihat kegaduhan yang sebenarnya melibatkan dirinya. Tiba-tiba tubuhnya di hempaskan Fero begitu saja, hampir ambruk kalau tidak di tahan oleh Moza sekuat tenaga.
"Ih!, Fero kasar sama temen sendiri!" ucap Sarah sambil berusaha membantu Moza menahan tubuh Derrel.
Fero tak menjawab, ia malah membantu Moza dan Sarah untuk kembali menegapkan tubuh Derrel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Speak The Truth
AdventureNarkoba. Barang haram yang dilarang penggunaanya oleh negara maupun agama. Lebih banyak memberi dampak negatif daripada dampak positif, katanya. Tapi sayangnya, walau beribu-ribu kali kalimat penuh peringatan tersebut sudah sering di gaungkan oleh...