19. Di Sembilan Hari Waktu Itu

13.8K 3.3K 298
                                    

Kirani diikuti Kanaka kini merecoki si sulung sepulang bekerja. Kirani berbaring nyaman di paha kanan Kunara sementara Kanaka meringsek di paha sebelah kirinya.

Kunara sih senang-senang saja, sangat suka malah. Kalau kedua adiknya sedang mode manja begini itu kadang jadi healing tersendiri bagi dia dari peliknya urusan pekerjaan.

"Kirani gimana kuliahnya?"

"Pusing."

Kunara tertawa, mengusap lembut rambut adik perempuannya. "Kuliah emang bukan ajang leha-leha bagi orang yang serius cari ilmu."

Kirani mengangguk kecil dengan mata terpejam. "Kak Kun."

"Hm?"

"Kenapa ya, semua hal terasa rumit? Ini salah siapa? Aku atau takdir?"

"Masalah Harzi?" Tebak Kunara, buat Kirani lantas mencebik pelan.

Mendengar itu Kanaka lalu bangun dari posisinya. "Katanya mau kuliah biar bisa fokus dan ngurangin overthinking? Tapi kalau itu bikin Kak Kirani stress lagi, ya udah. Berhenti dulu aja."

"Adek pikir segampang itu?" Sanggah Kunara. "Coba Kak, cerita."

Menghela napas panjang, Kirani akhirnya membuka suara. "Aku merasa nggak pantas jadi pasangan siapa pun. Gimana kalau aku ngecewain dia? Gimana kalau ekspektasi dia soal aku yang bisa merubah dia itu nggak akan terjadi dan malah bikin keadaan tambah runyam? Gimana kalau suatu saat aku menyerah dan ninggalin dia? Dan, gimana kalau sebenarnya dia nggak beneran sayang sama aku? Aku harus mikirin gimana cara ngadepin itu semua."

"Kirani, menjalin hubungan itu bukan sebuah beban. Bukan tugas yang harus kamu buat sesempurna mungkin biar bisa dapet nilai bagus. Harzi suka sama kamu memang karena keputusan dia sendiri, dan ingin berubah atas kemauan dia sendiri. Kakak tau benar kamu nggak ngelakuin apa-apa bahkan sebisa mungkin berusaha menghindari dia, iya kan?"

Kirani mengangguk.

"Harzi milih kamu jadi pasangannya karena dia udah yakin sama kamu. Kalau masih setengah-setengah, dia nggak akan bertahan di sembilan hari waktu itu. Banyak malam yang kamu sia-siakan buat mendengar kesungguhan dia ke kamu, dia cerita semua itu ke kakak. Dan sebagai sesama lelaki, kakak paham."

"Dia bahkan minta ijin ke gue buat macarin lo. Sumpah sih, seketika gue merasa bangga jadi adek lo. Hahahaha... Udah kayak mau dilamar aja." Tawa Kanaka menimpali.

Kirani pun terdiam mendengar penjelasan kedua saudaranya. "Jadi, aku harus gimana?"

"Itu terserah kamu, mau ambil waktu lebih banyak atau membalas perasaan dia segera. Semua keputusan ada di tangan kamu."

Bermaksud mencairkan suasana, Kanaka akhirnya berseru. "Giliran gua, dong! Mau curhat juga."

Setelah itu Kirani hanya manggut-mangut saja mendengar Kanaka bercerita sementara pikirannya sudah melanglang buana entah ke mana.

Hingga akhirnya mereka pamit untuk kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat, namun sebelum itu Kirani sempatkan untuk memeluk sang kakak erat-erat.

"Terima kasih sudah jadi tempat curhat Kirani yang paling nyaman. Aku sayang kakak, sehat terus dan semangat kerjanya, ya."

"Gue juga dong!" Celetuk Kanaka lalu turut merentangkan tangan meminta dipeluk.

Dan karena suasana hati Kirani sedang bagus. Akhirnya ia terjun bebas menyerang dengan peluk dan cium kepada si bungsu yang kini meronta dan menjerit.

"Busettt matii gueee!!!!!!"

make you mine [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang