32. Tunggu Sampai Dia Tahu

10.4K 2.1K 266
                                    

"Kiran."

Kirani tersentak dari lamunan, kepalanya perlahan menoleh kepada Auri yang duduk di sebelahnya dengan wajah gelisah.

"Kenapa, Ri?"

"Can you just---ignore them? Please? Aku beneran khawatir sama kamu sekarang."

Mengulas senyum tipis, Kirani melepas jedai dan membiarkan rambutnya terurai guna menutupi wajahnya yang lesu.

"Earphone kamu volumenya full-in aja, ya. Mereka lagi berisik, tuh." Titah Auri.

Kirani mengangguk dan kembali menidurkan kepala di atas meja. Berharap cepat tertidur dan bangun kalau mereka sudah selesai mencerca Kirani dengan semua celaan mengenai dirinya yang katanya 'pelampiasan' dan 'murahan'.

Ya, ini masih tentang postingan Leora waktu itu.

Bahkan setelah seminggu berlalu, orang-orang masih membicarakannya.

Mereka memang tak merundung secara terang-terangan. Namun sikap mereka yang perlahan menjauhi Kirani dan cara mereka menatap gadis itu sudah banyak menjelaskan.

Pada akhirnya, Kirani harus rela bertahan disindir tiap waktu, mendapat tatapan tidak mengenakkan ke mana pun ia melangkah, dan tak dapat tertidur nyenyak setiap malamnya. Dan selama itu pula Harzi tak tahu, kalau kekasihnya tengah menderita sendirian. 

Sebab Kirani selalu bisa memberi alasan untuk menghindari waktu berdua dengannya, semata-mata karena tak ingin Harzi tahu apa yang tengah ja rasakan. Dan Kirani sungguh beterima kasih kepada Auri yang selalu siap membantu dan menemaninya kapan pun dirinya butuh.

Siang ini, Kirani dan Auri berniat menjemput laporan mereka di Laboratorium saat keduanya tak sengaja berpapasan dengan Leora yang baru saja keluar dari tempat itu.

Auri muak bukan main, melihat wajah Leora yang sok polos membuatnya ingin mencakar dan membuka topeng gadis sialan itu agar semua orang tahu bagaimana busuknya seorang Leora Savarana. Yang dengan sengaja menghasut teman-temannya agar percaya bahwa ia dan Harzi masih menjalin hubungan intens hingga kini. Lalu secara tak langsung menuduh Kirani sebagai orang ketiga dalam hubungannya dengan Harzi.

"Lo sama Kak Harzi baik, kan?" Ucapnya tanpa basa-basi. "Kemarin gue ketemu dia di cafè. Sempet ngobrol sebentar dan dia bilang lagi pusing karena banyak hal. Seharusnya lo di sana buat nemenin dia, bener nggak, sih?"

Sadar ucapannya tak mendapat tanggapan, Leora kembali menambahkan. "Sebenernya niat lo deketin Kak Harzi tuh, apa? Gue tau cewek kayak lo nggak mungkin dilirik sama dia kecuali-" ujarnya menggantung, tatapannya seolah melucuti Kirani sekarang. "-lo mau dipakai?"

"Watch your mouth, bitch-" Auri menukas dan spontan mendorong tubuh Leora menjauh. Tatapannya tajam bukan main, persetan dengan janji, ia akan memberitahukan semuanya kepada Harzi.

"Tunggu sampai Kak Harzi tahu soal ini."

tok! tok! tok!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tok! tok! tok!


Kirani? Harzi di sini."

Kirani makin menenggelamkan diri dalam selimut, berusaha untuk tidak membuat suara sekecil apapun. Berhubung dia sedang tak ingin bertemu siapa-siapa, terkhusus dengan Harzi sebab Kirani yakin Harzi sudah tahu.

Ia meringis pelan saat lengannya tak sengaja bergesekan dengan selimut. Dan baru tersadar kalau dirinya baru saja melakukan sesuatu yang seharusnya ia jauhi.

"Kiran? Gue tau lo nggak tidur, buka pintunya, please."

Kirani membekap mulut, menahan isakan yang membuat rongga dadanya seketika menjadi sesak.

Suara Harzi membuatnya runtuh. Nada bicaranya menunjukkan kalau pemuda itu benar-benar khawatir, dan sialnya Kirani tak bisa menuruti apa yang dia minta sekarang.

"Sayang, please?"

Kirani menggeleng ribut bersama dengan air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Terasa perih saat setetes menyentuh luka di lengannya.

"Ran, buka pintunya!"

Kirani turun dari kasur dan berlari masuk ke dalam kamar mandi. Tubuhnya merosot seiring tangis yang kian mengeras.

Tak lama setelahnya pintu terbuka. Seseorang baru saja memasuki ruangan, dan Kirani tersentak ketika pintu kamar mandi juga dibuka. Ia kontan beringsut menjauh dan meringkuk, tidak ingin disentuh. Rasanya makin sakit melihat orang yang menjadi sumber luka kini bersimpuh di hadapannya.

"Keluar! Gue mohon... keluar...." Pintanya terisak hebat.

Mata Harzi membola, melihat banyaknya goresan yang masih basah tercetak di lengan kekasihnya. "Ran... lo udah janji buat nggak ngelakuin ini lagi."

"Tolong pergi! Nggak seharusnya lo di sini!"

"Ran, gue nggak mau nyakitin lo. Dengan cara apapun, gue nggak ingin."

Mendengar itu isakan Kirani makin menjadi, tatapannya amat terluka. Buat Harzi seketika merasakan nyeri di ulu hati.

Namun akhirnya ia jatuh dalam dekap sang kekasih. Meremat pundak Harzi demi melampiaskan kesakitan dengan tangis sebegitu pilu, Harzi bisa merasakannya.

"Kata-kata mereka terlalu menyakitkan, gue nggak bisa." Gelengnya kuat. "... gue nggak bisa."

"Kenapa nggak cerita dari awal? Ini sama sekali nggak adil, Ran... Gue ingkar janji, gue nggak melindungi lo sama sekali."

Ujarnya perlahan menangkup wajah Kirani dan menatap mata sayu itu dengan lekat. "Lo bukan pelampiasan, lo bukan yang kedua dan semua yang mereka bilang itu omong kosong! Percaya gue, Ran. Gue beneran sayang sama lo."

Sekian menit berlalu dihabiskan untuk menenangkan Kirani, hingga akhirnya gadis itu tak sadarkan diri dan segera dibawa ke tempat tidur. Di sana sudah ada Kunara dan Kanaka yang menunggu dengan kotak p3k. Jangan lupakan raut cemas keduanya saat mendapati saudari mereka sudah terkulai tak berdaya dalam gendongan Harzi.

"Bawa ke rumah sakit aja! Sekarang!" Seru Kanaka. Walau ini bukan yang pertama kali ia melihat kakaknya dengan kondisi seperti itu, tapi tetap saja rasanya takut.

"Goresannya belum terlalu dalam. Masih bisa Kakak obatin."

Dengan telaten Kunara membersihkan sisa darah yang mengering di sepanjang lengan kiri sang adik. Harzi tak kuasa melihatnya, apalagi saat Kirani sampai terbangun dan menangis juga meracau kesakitan.

"Kak Kun... Udah. Kirani sakit...."

Ringisnya memohon, hingga mendadak setetes air mata jatuh di kening Kirani. lantas ia mencoba membuka mata, namun tertahan kala merasakan deru napas Harzi kini menyapu wajahnya. Lalu di detik berikutnya, keningnya dan Harzi telah menyatu.

"Kenapa lo ngelakuin ini? Hm?"

"Maaf...."

"Siapa aja yang gangguin? Apa Leora juga ikut?"

Kirani pun mengangguk samar. "Mereka bilang, gue cuma pelampiasan setelah lo ditolak, mereka bilang---gue cewek murahan...."

Tangan Harzi kontan mengepal kuat.

Dasar orang-orang sinting!

Harzi kemudian membuka mata, mendaratkan satu kecupan terakhir di kening Kirani sebelum berucap. "Gue akan melindungi lo, dan lo akan menguatkan gue. Ingat?"

"I-iya...."

"Kasih gue waktu, Ran. Setelah semua ini nggak akan ada lagi yang menyakiti lo. Nggak akan ada lagi air mata dan luka kayak gini." Lirih Harzi menggebu.

"Tolong pegang ucapan gue, ya?"

make you mine [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang