33. Itikad Sang Pemuda

8.5K 1.9K 322
                                    

Dan selama proses pemulihan Kirani, Harzi ternyata sudah merencanakan sebuah hal besar untuk hubungan keduanya.

Beberapa hari setelah insiden tersebut, Harzi mengajak orang tuanya berbincang serius mengenai hubungannya dengan gadis itu. Hingga sampai pada mufakat bahwa Harzi akan membawa hubungannya dan Kirani ke jenjang yang lebih serius.

Tak ada pertentangan, Ayah Jo hanya berpesan bahwa, "selama semua keputusan yang kamu buat bisa kamu pertanggung jawabkan, maka Ayah akan selalu ridho' dengan apa yang kamu lakukan."

Pesan itulah yang membuat Harzi memberanikan diri untuk menemui orang tua Kirani beserta kedua saudaranya, dengan ditemani oleh orang tuanya juga.

Dan di sinilah ia, terduduk di hadapan Cahyo, Irene, dan Kunara, beserta Jo dan Joya di sebelahnya.

Kirani sendiri memilih duduk terpisah bersama Kanaka yang sedari tadi terus merangkulnya. Sifat protektifnya seketika muncul melihat pertemuan tak wajar sedang terjadi di ruang tengah kediaman mereka.

"Jadi, ada apa? Kamu mau ngomongin soal anak saya?"

Harzi mengangguk, jantungnya benar-benar berdegup kencang.

"Sebelumnya perkenalkan, saya Harzi Echlanu, selaku pacar Kirani selama kurang lebih enam bulan ini." Ujarnya membuka. "Dan kejadian yang menimpa Kirani tempo hari itu kesalahan saya---dari masa lalu saya lebih tepatnya-"

"-sebelumnya, apa tante dan om sudah tau kalau Kirani pernah melakukan self harm?"

Irene lantas menyanggah. "Jaga omongan kamu! Anak saya nggak mungkin ngelakuin hal semacam itu. Dia anak baik."

Harzi menggeleng ribut. "Enggak, Tan. Ini bukan masalah baik atau buruknya, tapi soal bagaimana masa lalu mempengaruhi dia. Saya dengar, tante dan Ayah Kirani berpisah, dan Kirani bilang itu adalah alasan kenapa ketiga anak tante memutuskan untuk tinggal terpisah dengan tante dan om sekarang-"

"-Kirani juga pertama kali menyakiti diri sendiri sejak saat itu, Tan. Dia memendam semua rasa sakitnya sendiri karena dia berpikir dialah yang jadi alasan kenapa orang tuanya berpisah."

Irene seketika menoleh ke arah Kirani, menatap putrinya tak percaya. Sadar Kirani berubah tak nyaman, Kanaka sigap menyembunyikan tubuh sang kakak ke dalam pelukan.

"Jangan menghakimi Kak Kiran, dia cuma salah mengambil langkah."

Kunara pun mengangguk, membenarkan. "Mama nggak tau gimana susahnya Kirani bangkit dari depresi sewaktu kalian baru berpisah. Kami pun ngerasain hal yang sama, selama ini kami simpan sendiri biar Kirani nggak terlalu kepikiran. Dan ya, kami bertiga merasa lebih baik tinggal di sini tanpa keributan. Maaf Ma, tapi itu kenyataannya."

Lalu akhirnya, Irene tumbang. Ia menangis di dekapan sang suami. Menyesali semua perbuatannya di masa lalu yang ternyata menyisakan derita untuk anak-anaknya hingga hari ini. Bahkan saat ia sendiri telah berhasil menutup luka itu di hatinya.

Ayah Jo kemudian menepuk pundak sang putra, menyuruh Harzi agar meneruskan niatnya.

"Saya sayang Kirani, Tan. Saya menangisi wanita selain mama saya dan itu untuk Kirani. Saya nggak akan bilang kalau saya ini lelaki yang baik dan sempurna, tapi saya bisa jamin akan berubah untuk dia. Saya mencintai putri tante sampai rasanya saya nggak punya tujuan lain dalam hidup selain membahagiakan dia."

Harzi menelan ludahnya susah payah. "Maka dari itu, saya ingin menunjukkan keseriusan saya terhadap Kirani dan memberi kalian jaminan yang lebih baik untuk saya turut menjaga dan melindunginya-

-dengan menjadikan dia tunangan saya."


Napas Kirani seketika terhenti, apa yang baru saja dia dengar?

Ada Kanaka yang hanya bisa menganga, tak mampu berkata apapun setelah sederet kalimat itu terucap dari mulut Harzi. Jadi lelaki ini niatnya sudah sungguh sejauh itu?

Kunara justru menghela napas panjang. Matanya terpejam karena tak kuasa membayangkan kedua remaja ini berakhir di pelaminan nantinya. Memang belum dalam waktu dekat, namun tetap saja rasanya Kunara tak rela melepas adiknya yang berharga.

Berbeda dengan semua orang yang masih dilanda rasa terkejut, Joya malah tersenyum lebar di sebelah putranya. Firasat ibu memang tak pernah salah, sejak awal dirinya bertemu Kirani, dengan lugas ia memanggilnya dengan sebutan 'calon menantu'. Bukankah semua itu adalah pertanda?

"Saya tau betul ini akan sangat mengejutkan untuk kalian, tapi saya tidak akan berani mengantar putra saya kemari, jika memang tidak yakin dengan dengan kesungguhan yang dia punya." Ujar Jo menambahkan. 

Cahyo mengangguk paham. "Saya sebenarnya nggak merasa punya hak untuk mengatur keputusan putri saya. Kamu pasti sudah tau, kalau saya hanyalah ayah sambung dari ketiganya. Namun begitu percayalah, saya sangat menyayangi mereka, terutama Kirani. Walau saya tau kalau mungkin sampai hari ini, dia masih belum bisa menerima saya sepenuhnya-"

"-dan karena itu saya hanya bisa berdo'a, semoga apapun keputusan Kirani akan jadi yang terbaik untuk hubungan kalian."

Harzi balas mengangguk paham, juga tersenyum.

"Saya rasa cuma itu yang ingin saya sampaikan. Restunya mungkin bisa diberi secepatnya. Om, Tante?"

Joya tertawa hingga refleks mencubit pelan pinggang anaknya. "Kamu nih, ngebet banget!"

Irene justru sebaliknya, dia beranjak dan mengajak Kirani untuk berbicara empat mata.

"Jadi, kapan kita bisa bahas ini lebih serius? Saya, Arka, Harzi, dan Ayah kalian?"

"Kalian bisa datang ke rumah kami." Jawab Cahyo. "Hari kita sesuaikan dengan jadwal masing-masing, mengingat Arka dan Harzi juga punya kesibukan."

Harzi diam-diam bernapas lega, soalnya bau-bau restu mulai tercium.

Di sisi lain, kedua wanita ini sudah berada di kamar. Tak banyak percakapan, Irene hanya memeluk Kirani sambil terus mengucap kata maaf.

"Kiran mau kan, maafin mama?"

Kirani mengangguk cepat, jemarinya mengusap pipi sang ibu yang dibanjiri air mata. "Mama jangan nangis... ini bukan salah mama...."

"Kamu jelas-jelas begini karena mama! Mama gagal menjalankan kewajiban, Nak... mama bukan ibu yang baik untuk kalian. Maafin mama, mama menyesal."

"Udah nggak ada yang perlu disesali, Ma. Kami udah baik-baik aja, kok. Kirani begini juga karena hal lain, masalah cinta."

"Soal itu---" Irene menggenggam tangan putrinya, "Kamu sendiri, udah yakin sama hubungan kalian?"

Mendengar itu Kirani tersenyum, "Gimana bisa aku meragukan Harzi, saat dia dengan berani meminta restu ke kalian?"

Kirani kembali ditarik ke dalam pelukan. "Selama itu bikin kamu bahagia, mama akan setuju. Tapi kalau sampai dia menyakiti kamu, mama nggak akan segan buat langsung memisahkan kalian. Mama sayang kamu dan masa depan kamu, Nak."

"Dia udah janji buat menjaga Kirani. Kalaupun sesuatu terjadi di masa depan, biarlah itu jadi urusan kami berdua. Karena nyatanya, Kirani juga sayang sama dia."







"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
make you mine [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang