Bab 41

5.5K 862 43
                                    

41:: Bagaimana untuk mengakhirinya

☁️☁️☁️

Lagu dari IU terdengar mengalun lembut, membuat suasana toko buku yang dingin karena AC itu menjadi tambah sejuk.

Seorang cewek memakai kaus lengan panjang bergaris biru-hitam sibuk memilih novel yang berjejer di rak. Matanya memindai setiap judul novel yang tercetak besar pada bagian sampul warna-warninya. Dia menggelengkan kepala saat matanya melihat judul novel yang sekiranya sudah pernah dibaca. Lututnya sampai ditekuk agar bisa membaca judul novel yang letaknya di rak paling bawah.

“Non!” Panggil seseorang diselingi sebuah jitakan kecil di kepala cewek itu.

Yang dipanggil tidak merespons sama sekali, malah asyik menyanyikan sepenggal lirik lagu IU. Matanya masih sibuk membaca judul novel yang menarik baginya.

“Batari! Adyura Batari! Batata! Batako! Alif Ba Ta Syo—“

“Hush! Berisik, ah!” Cewek yang bernama Batari itu bangkit dari posisi jongkoknya.

Ketika dia berhasil berdiri meredam nyeri di engsel sendi lututnya, di sebelahnya sudah berdiri cowok memakai kemeja flanel biru-hitam kotak-kotak, bagian lengannya digulung sampai siku. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Saat Batari bertemu pandang dengan mata milik Andra, cowok itu tersenyum kecut, dan menunjuk jamnya di tangannya.

“Nggak laper?” Andra memberi kode dengan sesuatu yang kadang aneh. Bertanya seperti itu sambil menunjuk jam tangan, apa maksudnya?

“Nyari novel dulu. Jadwalnya kan nyari novel dulu, abis itu baru makan,” ucap Batari mengulang kembali.

Andra mendengkus sebal. “Iya, emang rencananya gitu, tapi kamu milihnya lama, yang bikin ngaret. Liat udah jam berapa? Jam dua siang. Hamba laper.” Ekspresi Andra seperti musang kelaparan yang siap menyantap gadis di depannya itu dengan ganas.

“Bentar. Bantu pilihin novel yang seru!” Pinta gadis itu menarik-narik ujung kemeja Andra.

“Tau dari mana kalo novelnya seru, sementara diplastikin—kan setebel itu, astaga masa aku baca dulu sampe tamat?“

Batari melotot saat dirasa pacarnya satu-satunya itu terlalu banyak protes. “Pilihin yang judul sama sinopsisnya sedih. Ada nuansa hujan atau musim dinginnya. Pokoknya yang tentang cewek cintanya nggak terbalas.”

Andra menatap cewek berambut sebahu yang kembali asyik memilih novel di rak tersebut. Entah mengapa cewek yang sudah menjadi pacarnya beberapa bulan itu sangat suka novel romantis yang bisa bikin pembacanya baper, dan sedih berhari-hari.

Come on, itu cuma cerita fiksi, please.

Bisa tidak para wanita habis baca tuh cerita langsung lupain aja, jangan sampai baper dan kepikiran berhari-hari? Oke, Andra adalah seorang cowok. Dia tidak bisa memahami cewek, dan Batari, yang pastinya cewek juga.

“Who hurt you babe, sampe pengen baca novel sedih-sedihan? Kenapa pengen baca novel sedih yang menyiksa diri? Aku nggak mau kamu baper sedih gara-gara buku, aku nggak rela kamu nangisin tokoh fiksi.” Andra masih ngoceh sama tetapi matanya melihat-lihat judul novel yang terpajang.

“Ya soalnya ceritaku tuh seringnya orang yang bahagia, padahal aku dulu nggak tau bahagia itu seperti apa. Jangan-jangan selama ini karakterku bahagianya menyeramkan? Aku pengen melatih perasaan biar nggak salah dalam menafsirkan, apalagi ekspresiku harus banyak berlatih.”

“Ya, kamu masuk aja kelas akting, biar jadi artis. Siapa sih yang nyaranin kamu latihan ekspresi? Kamu penulis, kamu bisa membuatnya ke dalam kata-kata!”

Hari Ini untuk EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang