Bab 54

5.1K 833 59
                                    

54:: Kelopak mata yang terbuka


☁️☁️☁️

6 bulan setelahnya…

Batari, bangun…

Seorang gadis yang terbaring di kasur, entah sudah berapa lamaㅡitu perlahan membuka matanya. Seperti baru terlahir ke dunia bayangan pertama yang dilihatnya adalah bayangan putih dan berbayang. Suara mesin detak jantung berbunyi keras bersamaan dengan terbukanya sepasang mata.

Batari menegaskan pandangan mencoba mencerna apa yang tengah terjadi padanya. Seluruh tubuhnya sakit, terutama kepalanya yang terasa habis dihantam palu.

Berat dan sakit. Nyeri. Kedua tangannya sulit digerakkan. Batari merintih ketika dia kehilangan rasa juga pada kedua kakinya. Dia mencoba untuk menggerakkan lagi seluruh tubuhnya. Sesaat dia sadar bahwa ada bagian tubuhnya yang mati rasa, sangat sulit untuk digerakkan. Kaki kanannya dan oh, tangan kanannya juga.

“Ah… Ah…” Batari ingin memanggil seseorang namun suaranya sulit keluar.

Pandangannya masih buram tertuju pada seseorang yang berdiri di ujung kasurnya dengan pakaian serba putih. Dalam sekejap bayangan itu menghilang, sebagai gantinya bayangan yang lebih berwarna terlihat tidak jauh dari ranjang posisinya.

“Batari?” pekik seseorang dengan keras.

Batari senang ada yang menyadari usahanya, menyadarkan orang-orang itu bahwa dia sudah bangun. Dia merindukan suara itu.

Suara Ardekara.

Orang-orang itu, tepatnya Rishad, dan Oma Batari langsung berjalan mendekat ranjang. Ini sebuah keajaiban akhirnya Batari membuka matanya.

Ardekara menangis, tidak pernah terbayangkan dia bisa melihat kelopak mata Batari terbuka lagi. Pria itu mengucap syukur berkali-kali dalam hatinya.

“Om Deka? Oma?” Suara Batari tidak jelas hanya terbaca dengan gerakan mulut saja. “Kalian!”

Batari tertegun melihat Oma yang berada di sisinya dengan tingkah yang tak biasa. Mengapa Oma sangat terlihat senang dengan keadaan dirinya yang seperti itu? Oma tersenyum lebar bahagia tetapi matanya tetap meneteskan air mata tanpa henti. Tidak biasanya Oma menangis dan tersenyum lebar padanya.

Ardekara menaikkan sebelah alisnya mendengar namanya disebut oleh Batari dengan sebutan ‘Om’. Pria itu melempar pandangan heran ke Rishad dan Jerry. Sepertinya mereka baru sadar satu hal. Ini tidak beres, bangunnya Batari tidak bertanda baik juga.

Rishad tampak cerah dengan senyuman lebar, dia ikutan berdiri di sisi ranjang Batari mencari bel tersebut. Yang penting bagi Rishad, saudaranya membuka mata kembali setelah sekian lama tertidur tak berdaya dan tak ada kepastian.

“Jerry, kamu pencet bel biar dokter dan susternya ke sini.” Oma memandangi Jerry.

Oma terlihat sangat senang berdiri di sisi ranjang Batari, dia ingin memeluk tubuh gadis itu namun takut membuat tubuh Batari sakit. Oma menangis bahwa segala doa dan kesabarannya terbayarkan dengan suatu kabar baik.

“Jer, kamu nemu tombolnya nggak si?” cetus Rishad jutek, dia juga lupa di mana keberadaan tombol itu.

“Ini udah dipencet tau, di sini nggak ada tandanya. Tapi di ruang depan yang jagain, udah ngasih tanda di ruangan ini kita butuh bantuan,” jawab Jerry sambil memencet tombol merah bulat itu sampai menyala berkali-kali. Lalu dia memandangi Batari dengan rautnya penuh rasa syukur. “Batari, akhirnya lo bangun juga,” ucap Jerry dengan mata berkaca-kaca.

Hari Ini untuk EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang