Bab 55

5.1K 803 47
                                    

55:: Gerak

☁️☁️☁️

“Om Ardekara ke mana?” Batari menatap Rishad yang baru saja datang lalu duduk ingin berbagi tugas dengan Om-nya.

“Lagi teleponan sebentar sama orang kantornya,” Rishad menjawab, dia ingin menghabiskan banyak waktu untuk merawat Batari yang sedang pemulihan pasca operasi pemasangan coiling ke dalam pembuluh darahnya.

Setelah Batari keluar dari rumah sakit, Rishad akan kembali ke Jakarta mempersiapkan dirinya di kursi perkuliahan.

“Udah berapa lama sih gue di sini? Jer, udah dulu bacain novelnya,” ujar Batari lesu, dengan suaranya yang pelan.

Rishad memperhatikan Batari yang lagi duduk tampak sangat lemas sandaran dengan bantal, dan di sebelahnya Jerry sedang membacakan sesuatu dari sebuah novel.

“Nyaris 8 bulan,” jawab Rishad dengan perasaan kacau.

“Oke, gue juga capek mulutnya ngomong mulu,” cetus Jerry menutup novel tebal itu.

“Jer, ini belom dimakan?” tanya Rishad ketika melihat makanan di nampan di atas nakas. “Bukannya nyuapin Batari malah bacain buku, emang dia bakalan kenyang makan cerita itu?”

Jerry menunjukkan wajah siap protes, sebab dia juga diminta oleh Batari untuk membacakan sebuah buku. “Batari maunya makan abis gue bacain tuh novel,” jawabnya.

“Makanya jangan sok berjanji, kalo ngeluh buat jalanin menepatinya,” cetus Rishad yang masih mengingat bagaimana mereka menyemangati Batari saat menjelang operasi.

Jerry mendengkus sambil mencibir. Pemuda itu hanya ingin menyemangati Batari, sungguh saat itu dia sedang terbawa perasaan.

Jujur saja mereka sangat takut kalau Batari tidak akan membuka mata lagi. Jerry berjanji pada Batari akan membacakan sebuah buku yang cukup bagus menurutnya. Buku yang pernah Jerry baca dan membuatnya sering mengabaikan Batari dulu.

“Ya udah, gue mau makan, tapi gue mau nyoba sendiri,” ucap Batari pelan tapi suaranya mampu membuat dua pria di dekatnya langsung terpekur.

“Lo yakin udah bisa?” tanya Jerry melotot.

“Kalo nggak dibiasain ya nggak bisa. Kata dokternya syarafnya harus dibiasain, dan diajarin lagi biar terbiasa bekerja pada fungsinya,” jawab Rishad.

“Gitu ya?” sahut Jerry.

Rishad inginnya kesal tetapi tidak bisa karena di depannya Batari juga menunjukkan raut wajah tak sabar untuk diambilkan nampan di atas nakasnya.

“Iya, udah beberapa kali kok dilatih sama susternya, dan sama dokter kadang-kadang. Tapi, masa gue coba latihan pas sama susternya doang?” cetus Batari.

“Tuh kan, udah sering terapi sama suster, pasti udah sedikit bisa perlahan,” kata Rishad.

“Tangan sama kaki kanan gue masih susah berfungsi, kenapa belum kembali seperti semula lagi padahal aliran darahnya udah menjauh dari lubang di daerah yang bengkak?” tanya Batari.

Jerry merangkul bahu Batari dengan tatapan sendu, menepuk pelan memberikan kekuatan pada gadis itu. “Sabar, nanti perlahan bisa seperti semula.”

“Apa karena pernah pendarahannya dulu hebat banget, parah ya?” tanya Batari pelan suaranya putus asa.

“Lo bisa semangat buat bertahan saat pendarahan saat itu udah hebat banget, lo lebih hebat dari kita.” Jerry bicara dengan mata berkaca-kaca dan suaranya parau.

Rishad mengambil nampan berusaha tidak memikirkan kemungkinan buruk-buruk yang pernah ada.

Mungkin keadaan Batari saat ini yang masih mengalami kelumpuhan di kaki, dan tangannya masih dalam proses pemulihan saja. Rishad meletakkan nampan di atas papan kayu ranjang rumah sakit.

Hari Ini untuk EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang