15

2 0 0
                                    




“Oke  Everybody laporan kita sudah selesai, tinggal di print dan dikumpulkan deh,” semangat di akhir menyelesaikan laporan dari Zimmer mengebu-gebu kala tugas laporan kelompok kami akhirnya rampung.

“Apakah kalian tidak kelaparan? sejak tadi Zimmer hanya menyuruh fokus pada tugas ini, untung saja perutku ini bisa diajak kompromi.” Reni memegangi perutnya yang terasa lapar, sejak selesai kuliah kami bahkan belum beranjak dari taman digital meski matahari sudah sangat terik.

“Iya, makan bareng aja yuk?”ujar  Ory, sesekali dia tampak selalu memperbaiki gagang kacamata yang di pakainya itu sebelum dia bersuara.

Meski tidak bisa menatap mereka dengan lama, namun ku akui mereka berdua mempunyai wajah lokal yang mendominasi, persamaan di antara kami bertiga adalah kami masing-masing memiliki panjang rambut yang hampir sama, yaitu kira-kira sepinggang.

Dan entah kenapa hari ini kami memakai outfit pakaian dengan  warna yang senada, Zimmer yang terkesan penuh dengan nuansa kegelapan membuat dia sangat mencolok dengan kami yang memakai pakaian kuning lumayan cerah.

“Oke , sebelum kita pergi makan, aku upload foto pertamaku bersama dengan teman baruku dahulu.” kata Reni, sedari tadi dia memang tidak bosan-bosannya  mengajak berfoto.

“Jangan lupa tandai aku Ren,” ujar Ory mengemas buku-bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas.

“oke, Zimmer sudah, Ory sudah , dan…oh iya, serius Zen kamu tidak punya media sosial?” Tanya Reni

“Iya, media sosial pribadi aku tidak punya Ren, yang ada hanya media sosial untuk usahaku.” kataku menjelaskan, ya… aku tidak tertarik untuk memiliki akun pribadi, aku rasa media sosial untuk promosi toko kaktus sudah sangat cukup bagiku, akan sangat ribet jika menyimpan dua akun sekaligus.

“Wah, kamu punya usaha juga ya? apa itu?” rasa penasaran Reni memuncak, hingga membuatnya semakin menatapku menanti jawabannya.

“Hanya usaha kecil-kecilan saja kok, usaha kaktus. Kalo kamu butuh sesuatu kado menarik berikan bunga kaktus saja, diyakin itu pasti akan jadi kado terunik.” Tiba-tiba saja jiwa entrepreneur ku muncul, mempromosikan nya dengan bahasa yang ringan.

“Hahahah…kamu lucu juga ya!” Zimmer yang duduk disampingku tertawa terpingkal hanya dengan perkataanku barusan, padahal sejak tadi durasi dia tidak berbicara lumayan sudah lama.

“Kebetulan teman aku minggu depan ulangtahun Zen, dan aku mendapatkan jawaban untuk kado apa yang cocok diberikan padanya, beritahu padaku media sosial kaktusmu biar aku kepoin lebih dalam,” ujar Reni semangat.


Kami baru sampai di tempat makanan yang cocok saat Ory dan Zimmer beradu argumen tentang rekomendasi tempat makanan mereka berdua, semua pilihan mereka tidak ada yang bisa dikunjungi, mulai dari karena alasan penuh dengan pelanggan sehingga tidak ada bangku yang kosong untuk kami, menu yang di inginkan sudah habis dan bahkan yang terakhir kami kunjungi adalah tempat makan yang tiba-tiba tutup setelah kami sampai.

“Kenapa sih harus disini?” gerutu Zimmer, menutupi wajahnya dengan buku menu.

“Ini karena kalian berdua, sudah dua jam kita di jalanan karena rekomendasi tempat makan kalian yang tidak jelas itu!. Untung saja Zen saranin ke tempat ini, dan ini pilihan yang tepat. Aku suka tempatnya.” Reni mengamati sekeliling warung makan yang bernama sederhana sentosa itu. Setelah lama berkeliling di jalanan, akhirnya aku yang menentukan tempat makan yang kebetulan dekat dengan tempat kami terakhir berhenti di tempat makan pilihan Zimmer yang sudah tutup, dan saat ini kami berada di ruang makan milik sahabatku Glo.

“Jadi menu spesialnya disini adalah cumi kecap guys, indera pengecap akan dibuat ketagihan dan  kalian akan selalu memesan itu jika berkunjung kesini lagi.” kataku menjelaskan menu special di warung Glo itu.

“Hei Zimmer, kenapa kamu dari tadi tampak gusar?” Ory menepuk punggungnya, menyadarkan Zimmer yang sejak tadi celengak-celinguk, bahkan rambut panjangnya ikut berayun karena lehernya yang tidak berhenti penuh dengan tatapan was-was.

“Ini pesanannya, selamat menikmati.” ujar waitress pria disana, sepertinya dia adalah karyawan terbaru Glo,terlihat dari wajahnya yang tampak asing.

“Maaf, apakah bosmu ada disni?” tanya Zimmer berbisik ke arahnya, pertanyaannya membuatku tercenggang, untuk apa Zimmer menanyakan Glo.

“Saya minta maaf pak, jika saya punya salah, maaf jika layanan saya kurang baik, apakah saya kurang senyum? atau pesanan ini salah tempat?” Tanpa jeda seperti seorang Rapper , pelayan pria itu meminta maaf seperti baru saja membuat suatu kesalahan yang fatal.

“Astaga Zimmer, kamu ini buat onar apalagi?” kata Ory, dengan wajah kebingunangan, dia memperhatikan makanan yang kami pesan tidak ada yang salah.

“Bu…bukan itu maksudku,” jawab Zimmer terbata-bata.

“Tidak ada yang salah, kamu tidak perlu meminta maaf. Justru teman kami ini yang agak salah dipikirannya,” kataku menjelaskan dan membulatkan mataku kearah Zimmer, untungnya kacamata hitam masih menyangkut di kedua matanya, sehingga aku bisa dengan berani mengertaknya dengan tatapan.

“keanehan teman-temanku ini sudah mulai menampakkan dirinya,” kata Reni sehingga membuat kami tertawa membenarkan penuturannya barusan, baru beberapa jam kami saling dekat, kenyamanan dan sifat kami berempat sudah mulai tampak.

“Kalian bahkan mungkin sudah mengetahui kebobrokanku kan?” terkaku pada mereka semua, hanya menunduk aku menyembunyikan tatapan dari Ory dan Reni.

“Hmm, eh… iya sejak berbicara denganmu, kamu tidak melihat ke arah lawan bicara, dan itu membuatku risih Zen,” cibir Reni dengan  ceplas-ceplos.

Perkataannya barusan menyentuh hatiku.

“Tapi aku sudah mengerti bahwa kamu punya rasa takut untuk menatap seseorang, nyamankan saja dirimu ya, nanti kamu akan beradaptasi kok jika kita sering berjumpa,” Reni memelukku, dia sungguh mengetahui keadaan yang sangat aku rasakan saat ini. Aku kira tidak akan ada orang asing yang bisa memahamiku tanpa perlu aku jelaskan dahulu kekurangan yang ada dalam diriku, Reni sangat membuatku terharu sehingga tidak sengaja mebuatku menanggis.

“Ada apa dengannya? “ Zimmer yang baru datang dari toilet menjumpaiku menanggis tersedu-sedu, keheranannya memuncak kala Ory dan Reni tertawa menenangkanku.

Tanggisanku ini adalah tangisan kebahagiaan, baru kali ini aku berani untuk berteman dengan baik dan jujur akan kekuranganku. Meskipun terkesan aneh tanpa memandang pada lawan bicara, Ory dan Reni kini bahkan selalu setia menatapku jika aku berbicara dengan mereka, meskipun arah mataku teralih entah kemana-mana.

“Kalian baru tau ya? dia cewek aneh kan?” tunjuk Zimmer ke arahku, perkataannya selalu saja membuat seseorang mengelus dada bersabar.

“Aku saja sudah membuktikannya, jika kacamata ini tidak kupakai, jangankan memandang ke arahku, berbicara saja dia enggan,” terangnya, tangannya kini beralih ke arah kacamata hitam yang dipakainya.
“Padahal wajahnya begitu indah untuk di pandang mata, apalagi jika saja kita berbicara dari mata ke mata Zen,”tambahnya lagi.

“Uhuk..uhuk…” perkataannya barusan membuatku tersedak

“Astaga, pelan-pelan Zen!, perkataan Zimmer memang tidak berfaedah,”ujar Ory menepuk-nepuk punggungku, dan tampak tangan Reni menyerahkan air mineral ke arahku.

“Terimakasih Ren,” Anggukku, dan meminum air mineral yang diberikannya.

“Pasti kamu blasteran kan Zen? wajah mu tidak menampakkan kenormalan wajah gadis-gadis cantik lokal pada umumnya,”

“Gombal aja,”ejekku, menjulurkan lidah kearahnya.

Jika bukan normal jadi aku ini bagaimana Zimmer? perkataanmu selalu ambigu dan sulit dicerna.

Seharian ini kami sudah mulai saling mengenal, mulai dari menjadi mahasiswa baru yang belum mengenal siapa-siapa, hingga mulai mengenal antara satu dengan lainnya. Ternyata untuk mengenal seseorang tidak butuh waktu lama, jika di awal perjumpaan kalian sudah saling terbuka dan jujur apa adanya...




👀👀👀👀👀👀

Sendu Gugus AlkilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang