23

3 0 0
                                    

Mama, Aku dan Ley melangkahkan kaki menuruni pesawat yang sudah mengantarkan kami ke tempat tujuan. Untungnya aku dan Ley tidak mempunyai jadwal kuliah di hari Sabtu dan Minggu, sehingga kami bisa mengabulkan rencana untuk menemui keberadaan Papa dan mamanya Ley.

Napasku terengah kala membayangkan kembali perjalanan di atas udara barusan. Aku memang serikit norak mengenai hal ini, rasa takutku kini bahkan lebih besar dibandingkan rasa takut saat menatap mata seseorang.

Aku mengingat Sygo, entah mengapa hingga hari ini pun handphonenya masih saja tidak bisa dihubungi. Untungnya aku sudah mendapatkan alamat kosannya dari pamannya.

Awalnya aku bingung, tentang Sygo yang memilih untuk tinggal sendiri dibanding untuk menetap bersama dengan pamannya tersebut. Wajar saja, Sygo memang tidak pernah merasa membebani siapapun, rasa segannya mungkin membuat ia memilih untuk tidak tinggal bersama dengan pamannya tersebut.

"Ini minum dulu, wajah pucatmu kini lebih parah dibanding saat kamu merasa takut untuk ditatap seseorang." Tangan Ley memberikan sebotol air mineral, ia juga membelinya untuk mama.

"Terimakasih." ucapku, mama memijit-mijit tanganku pelan, agar rasa takutku menghilang.

"Ayo kita berangkat, kita akan menemui mereka di Rumah sakit tempat mereka bekerja, karena sekarang masih jadwal bekerja." matanya beralih menatap jam tangan hitam yang dipakainya.

Sejak diperjalanan wajah mama tampak menahan rasa sedih, sepertinya ia sedang menahan emosi dalam dadanya. Tangan kami tiada henti untuk saling menggengam dan saling menguatkan.

"Tan, Zen, bagaimana jika aku tidak bisa menahan emosiku nanti?" ucap Ley, aku dan mama serentak menatap ke arahnya. Apa yang sedang kami rasakan nampaknya serupa dengan apa yang sedang ia pendam juga. Mama menarik tangan kirinya, menggengam tangannya, menyatakan kata tersirat bahwa semua akan baik-baik saja.
...

Rumah sakit yang sangat mewah berada dihadapan kami bertiga, mereka berdua benar-benar sudah ingin memutuskan hubungan dengan keluarganya masing-masing, bahkan nomor lama pun sudah tidak aktif lagi untuk dihubungi. Karena mama juga seorang dokter, membuat kami mudah untuk membuat janji dan menjebak mereka untuk bisa berjumpa dengan kami yang sudah jauh-jauh datang untuk tujuan yang serupa.

"Zen," panggil papa ketika melihat kehadiranku, aku terdiam mematung ketika papa datang berlari memelukku, rasa rindu yang sudah aku pendam sudah membuat luka yang baru. Aku sedikit mempunyai perasaan kesal menerima pelukan hangat dari papa.

"Pa." jawabku, melepas pelukannya dari tangannya.

"A-aku ke sini hanya untuk bertemu untuk terakhir kalinya, ingin mengucapkan kata pamit untuk selamanya." ucapku

"Apa yang kamu katakan ini Zen?, bagaimana kabar Eldon dan mama?" tanyanya

"Sama sepertiku, tidak baik." jawabku lirih.

Papa mengarahkan pandangannya ke belakangku, melihat kehadiran mama dan Ley. Dan siapa sangka dari hadapan kami terlihat mama Ley datang dengan wajah panik.

"Ley?"panggilnya

"Terimakasih pa, sudah membuat luka di hati mama. dan Tante, Ley adalah anak yang mandiri, ia bisa hidup sendiri bahkan dia bisa merawat nenek dengan baik." jelasku

"Tetaplah bersama, namun rasa bersalah akan selalu tetap mengikuti kalian berdua." ucap mama dengan isakan tanggis.

Papa berusaha untuk menjelaskan, dan tante Vero berusaha memeluk dan berbicara dengan Ley. Namun, kami pergi meninggalkan mereka berdua.
...

Aku menyusuri taman di rumah sakit itu, menenangkan diri sejenak sendirian. Terlihat beberapa pasien yang lalu-lalang menikmati sinar pagi untuk kesehatan tulang mereka, setelah penat berada di dalam kamar sepanjang hari.

Tatapanku beralih pada sosok yang aku kenal, meski dari belakang, ciri khasnya sangat meyakinkan diriku bahwa aku sangat mengenal dirinya. Tubuh yang tinggi dan rambut yang keriting. Ia berusaha untuk melangkah berlahan, tangannya serta membawa cairan infus. Seorang suster setia berada di sampingnya, membantunya saat dia mulai tidak tahan untuk berdiri tegap.

Aku melangkahkan kaki mendekatinya, pikiranku membuang jauh-jauh tentang anggapan dia orang yang aku maksud. Tidak mungkin, dia bukan orang yang lemah, dia sedang bekerja saat ini. Tidak mungkin dia menghindariku dengan alasan karena sedang sakit. Tidak itu pasti bukan...

"Sygo?" aku mengucap namanya, saat ia menoleh kebelakang. Hatiku terenyuh, tidak menerima apa yang ada dihadapanku.

Aku tidak lekas memeluknya, ia belum mengetahui keberadaanku yang mengikutinya dari belakang.

Hingga ia berhenti pada sebuah bangku yang teduh, di bawah pohon mahoni yang rindang. Ia berbincang dengan perawat yang bersamanya sejak tadi, setelah berbincang perawat itu pergi meninggalkannya sendirian.

"Kenapa?"kataku terisak tanggis, aku terduduk disampingnya. Ia mengarahkan pandangannya ke arahku, melihat siapa yang sedang berbicara dengannya.

"Kenapa harus menghindar? kenapa kamu berbohong?, kenapa ha?" teriakku padanya, air mataku tercucur deras, menahan sesak di dada yang memuncak. Wajahnya heran, tidak menyangka akan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Tuhan membongkar kebohonganmu dengan cara yang tidak terduga." ucapku kembali.

"Kamu..." Tanganku memeluknya erat, meluapkan segala yang terjadi. Hatiku kini campur aduk.

"Zen, kenapa kamu disini, apa yang membawamu bisa sampai disini." tanyanya padaku, tanganku malah menepuk punggungnya.

"Kamu sakit apa go? kamu gak sakit keras kan?" ucapku tersedu-sedu, perpisahan terakhirku padanya juga diliputi rasa sedih, namun mengapa untuk berjumpa kembali lebih sangat menyedihkan.

"Tidak kok." Ia menepuk bahuku, menenangkanku.

"Aku tidak bisa kehilanganmu go, aku tidak ingin kehilangan orang yang berarti dalam kehidupanku lagi."

"Hei, siapa yang akan menghilang? kamu pikir aku doraemon? bisa menghilang dengan kantong ajaib?" candaan kekanakannya muncul tiba-tiba.

"Kenapa kamu berbohong? alih-alih berkata sibuk bekerja, tapi kamu sedang sakit seperti ini."

"aku akhirnya tidak bisa menghindar, padahal aku tidak ingin membuatmu khawatir seperti ini."

"Jadi karena alasan itu?"

"Ya." kepalanya mengganguk, pelukanku belum terlepas darinya.

"Bagaimana jika aku disini mengurusmu sampai sembuh Go?" tanyaku menghadap ke arahnya.

"Tidak, kamu kan harus pergi kuliah." jawabnya.

"Aku akan mengambil cuti."

Sygo melepaskan pelukannya berlahan, dan memberikan sorot mata tidak suka.

"Tidak akan ku izinkan."
jari telunjuknya ditempelkan ke dahiku, mendorongnya hingga kepalaku mendongak kebelakang.

"Jadi kamu sakit apa Go? dari tadi aku khawatir."

"Tidak begitu parah, jika kamu menyemangatiku, aku yakin aku bisa melewatinya." ucapnya santai.

"Kamu sahabatku, aku tidak pernah tidak menyemangatimu go, kamu juga salah satu disini." tunjukku ke arah hatiku, Sygo juga adalah belahan jiwaku, selain mama dan Eldon.

"Kamu bukan sahabatku...,
tapi cinta pertamaku."katanya, untuk pertama kalinya aku mendengar jantungku berdegup saat Sygo mengatakan hal itu. Sorot matanya serius memandangi kedua mataku, aku tidak melepas pandanganku darinya, pikiranku masih menyuruhku untuk bertanya arti degupan jantung yang ku rasa. Hingga aku salah tingkah dihadapannya.

"Kamu sama siapa?, udah gak takut lagi naik pesawat ya?" perkataannya akhirnya membuyarkan pandanganku darinya.

"Sama mama dan Zimmer." jawabku.

"Apa, kenapa harus bersama Zimmer?" ucapnya dengan wajah yang berubah, dia pasti akan terkejut mendengar nama itu.

Untuk menjelaskan rasa curiganya, aku akhirnya menjelaskan satu per satu kejadian yang telah terjadi. Ia tertegun setelah mendengar segalanya, dan Sygo kembali menenangkan ku lagi dan lagi. Sulit rasanya untuk mengulang cerita yang baru terjadi, apalagi jika cerita itu bukan cerita bahagia, tapi sebuah cerita yang pahit.

👀👀

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sendu Gugus AlkilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang