44. my lovely little girl end

1K 28 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Seorang pria memicingkan mata dari balik kemudi saat melihat tiga pria berlagak seperti preman sedang mengelilingi seseorang, sontak ia memelankan laju mobilnya dan berhenti tak jauh dari tempat tersebut. Pria satu anak itu menggertakkan giginya saat melihat dengan jelas bagaimana dua preman itu mencekal seorang gadis yang memakai seragam abu-abu sedangkan preman satunya lagi sibuk mengobrak-abrik isi tas berwarna merah yang bisa ia tebak pastilah milik gadis itu.

"Bang.. tolong lepasin saya bang. Saya udah gak punya uang lagi bang cuman itu aja, sumpah gak boong bang."

"Halah mana mungkin, cantik-cantik masa kere."

"Ck tolong lah bang."

"Boss masa cantik gini dilepasin gitu aja sih, bisa kali di mainin sebentar." Raut wajah preman itu langsung berubah menjadi penuh arti. Dia mengangguk setuju dengan ucapan anak buahnya itu.

Melihat gelagat preman-preman itu membuat si gadis panik bukan main, dia berusaha memberontak meski nyatanya percuma saja karena dua preman yang memegangnya tentu bukanlah lawan yang sebanding dengan anak gadis seperti dirinya.

"Tumben lo pinter, emang sayang sih. Jarang-jarang kan kita ketemu sama yang bening, anak sekolah lagi hahaha yok bawa ke semak-semak."

"Siap boss."

"Jangan bang."

"Hahaha tenang cantik, kita seneng-seneng dul-"

Brukk...

Preman itu jatuh tersungkur dijalanan begitu saja saat ditendang seseorang dari belakang. Kembali bangkit sambil meringis ngilu memegangi pinggangnya yang tertendang.

"Sialan, siapa lo? brani bener lo sama gue."

"Lepasin anak itu." Ucapnya melirik tajam pada kedua preman yang masih mencekal tangan si gadis.

"Brengsek! Nyari mati lo!"

Brukk...

Lagi, untuk kedua kalinya preman itu jatuh terjungkal. Kali ini ia terbatuk-batuk mendapat pukulan keras dan cepat pada perutnya.

"Sialan.. hei lo berdua kenapa diem aja, hajar dia." Perintah si preman yang merasa tak akan sanggup melawan pria asing ini seorang diri.

"Siap boss.."

Senyum smirk ditampilkan oleh pria asing ini, meskipun kalah jumlah namun ia sama sekali tak gentar. Pukulan dan serangan mereka berikan kepadanya, meski sesekali ia harus menerima pukulan keras itu namun kemampuan bela dirinya berhasil membalik keadaan hingga ia bisa membereskan ketiga preman itu sampai mereka lari tunggang langgang.

Pria ini menepuk tangannya yang berdebu kemudian merapikan pakaiannya kembali. Dia celingukan mencari kemana anak gadis tadi yang baru ia tolong, ahh tidak tahu berterimakasih sekali anak itu. Udah di tolongin malah pergi duluan. Umpatnya dalam hati.

"Makasih mas.."

Pria ini terlonjat kaget mendengar suara lembut itu kembali, dia menoleh dan menemukan anak gadis itu keluar dari semak-semak. Senyum tercetak di bibirnya menyadari jika gadis ini terlalu ketakutan sampai bersembunyi di balik semak, malah sayangnya ia kira di gadis tidak tahu berterima kasih sudah meninggalkannya duluan.

"Kamu gak papa?"

Gadis itu mengangguk kecil, kedua tangannya masih saling bertautan dengan gerakan meremas. Terlihat sekali ia benar-benar shock dengan kejadian barusan.

"Lain kali kalo jalanannya sepi jangan jalan sendirian ya."

Gadis ini menangguk lagi, bagai anak kecil yang sedang mendengar nasehat dari ibunya. Tak bisa membiarkan anak ayam yang masih ketakutan ini untuk pulang sendiri maka dia pun mendapat ide untuk mengantarkannya pulang.

"Rumah kamu mana? Biar saya antar."

"Ahh gak usah mas, rumah saya deket situ kok. Udah di tolong aja saya udah berterimakasih, saya gak mau ngrepotin masnya lagi. Sekali lagi terimakasih mas, saya permisi." Gadis ini membungkuk sebelum hendak melangkah pergi, tetapi baru dua langkah ucapan dari pria itu membuat langkahnya berhenti kembali.

"Gimana kalo preman-preman itu masih nungguin kamu di ujung jalan? Saya gak jamin loh ya bakal mau bantuin lagi. Kalo mau aman ayo saya antar." Langkah lebar pria ini menyalipnya, gadis itu hanya bisa meringis sambil meremat kedua selempang tasnya.

Merasa tak punya pilihan lain maka ia mengejar langkah lebar pria itu.


"Kamu sekolah di SMA Garuda?" Tanya pria itu memulai obrolan daripada hanya saling diam membuat suasana di mobil terasa mencekam.

"Iya."

"Kelas brapa?"

"Dua belas."

"Hmm kebetulan dong, kenal Amirah Prasetya?"

"Mira? Iya, kami teman sekelas. Apa masnya kenal Mira? Ahh mas pasti kakaknya Mira ya? Wajah kalian keliatan mirip."

Pria itu terkekeh pelan sambil menggeleng, dia melirik sebentar kearah gadis itu. "Saya ayahnya Mira." Balasnya membuat mata gadis itu melebar bahkan hampir lepas dari tempatnya.

"A-ayah?"

Noaki menjawab dengan anggukan tapi justru tawa Chika terdengar menggelegar.

"Hahaha bisa aja bercandanya, ayah temu gede ya hahaha."

"Emang kamu pikir umur saya brapa?"

"Hmm 24, eh 250?"

"Bukan, saya udah 35 dan saya beneran ayah kandungnya Mira."

"Astaga Tuhan, maaf mas- ah maksudnya pak -eh om ya? Aduh maaf saya gak sopan ya dari tadi panggil mas, yaampun maaf."

Naoki melebarkan senyumnya melihat reaksi lucu dari gadis ini. Memang siapa yang akan menyangka jika pria ini ternyata sudah jadi ayah beranak satu, anaknya sudah SMA lagi. Padahal jika dilihat dia maaih tampak seperti pemuda umur 25 tahunan, jadi anak kuliahan juga masih pantas.

"Kamu tinggal disini?" Tanya Naoki menatap bangunan apartemen yang menjulang tinggi.

"Iya om. Sekali lagi makasih ya om, kalo-"

"Iya iya, udah ya. Kalo saya itung kamu dari tadi ngomong terimakasih udah lebih dari dua puluh loh."

"Hah? Hehehe.." gadis ini menggaruk belakang kepalanya sambil memamerkan senyum konyol.

"Oh iya, siapa nama kamu?"

"Astaga maaf om, aduh gak sopan banget sama udah di tolong dan dianterin pulang tadi belum memperkenalkan diri. Hehehe maaf om, nama saya Yesica ah maksud saya Chika. Panggil aja Chika."

"Yasudah lain kali kamu lebih hati-hati ya Chika, kalo begitu saya pulang dulu."

"Iya om, hati-hati dijalan ya om. Sekali lagi terimakasih hehehe."

Naoki mengangguk, lalu dia melajukan mobilnya meninggalkan lobby. Pandangan mata Chika masih menatap mobil hitam mengkilap itu meski sudah melaju dengan jauh.

"Ayah Mira ganteng banget, yaampun tadi gue gak minta kenalin lagi. Ihh om ganteng namanya siapa.." cicitnya sambil melompat kecil dengan suka cita. Sungguh sedari tadi Chika menahan diri untuk tidak bersorak atau bersikap berlebihan karena terkagum dengan paras tampannya. Mau bagaimanapun remaja seperti Chika pasti dalam fase-fase centilnya kan.

"Ahh astaga kenapa gue kepincut sama bapa-bapa. Tapi sumpah ayah Mira bikin jantung gue berdebar. Sial sial.. gue masa falling in love sama suami orang sih, jangan Chika. Tahan diri, gak boleh macem-macem sama suami orang ya. Tahan diri tahan.."

.

.

"Semuanya Rp 140.500 kak.."

Chika terus mencari-cari dalam isi tasnya, mencari dompet kecilnya yang ia yakini sudah dia masukkan sebelumnya. Tapi sekarang dia berkeringat dingin tak berhasil juga menemukan dompetnya, dia melirik kebelakang dimana banyak orang yang sudah mengantre dibelakangnya juga dirinya mendapat tatapan tajam dari karyawan di balik meja kasir.

"Hehehe... mba hm -anu itu."

"Ck, ada uang apa engga? Kalo gak ada uang kenapa sok-sok an belanja sih. Dasar bocah."

"Gak gitu mba, tapi ini hmm dompet saya emm ketinggalan-"

"Halah alasan aja, mau ngeprank? Lagi bikin konten youtube?"

Chika makin beringsut takut meremas ujung roknya saat di pelototi si kasir. Memang benar kok dompetnya ketinggalan, kenapa dia dimarahi seperti ini.

"Tambah ini ya mba." Ucap suara berat dari belakang Chika sambil menaruh barang yang biasanya dibeli oleh para wanita. Chika dengan cepat menoleh dan tersenyum lega melihat pria ini kembali hadir untuk menolongnya.

"Om ayahnya-Mira!"

Naoki terkekeh mendengar panggilan lucu itu dari gadis ini. Dia kembali menatap pada karyawan kasir yang sedang menambahkan barang yang dia hendak beli itu.

"Totalnya jadi Rp 174.300."

"Ah iya ini." Naoki mengeluarkan kartu kreditnya dan semua masalah Chika menjadi beres. "Saya duluan ya Chika."

"Eh makasih ya om, nanti pasti aku ganti. Uangnya bakal aku titipin ke Mira deh."

"Gak perlu, lain kali jangan ceroboh aja." Jawab Naoki lalu terlihat buru-buru mau meninggalkan Chika.

Bibir Chika mengerucut mendengar ucapan itu, dia menenteng banyak belanja bulanannya dengan sebal sambil melihat punggung lebar bagian belakang Naoki yang sudah menjauh.

"Emang siapa yang cerob-"

Brukkk...

"Aduhhh.."

Chika memekik keras saat dirinya terjengkang karena menginjak lantai basah yang baru saja di pel. Padahal di dekat sana sudah dipasang papan penanda namun sepertinya gadis itu masa bodoh dan berakhir dengan kejadian memalukan seperti ini.

"Mba gak papa? Udah tau lantainya basah kok malah lewat sih mba? Jatoh kan mba. Sakit ya?"

"Ihh mas-nya masih tanya lagi, sakit lah mas."

Chika menggerutu, pantatnya sakit sekali. Kakinya juga sepertinya terkilir saat terpeleset barusan. Sial.. kenapa hari ini dia selalu mendapat kesialan bertubi-tubi seperti ini sih.

"Baru tadi di bilangin, sekarang udah ceroboh lagi."

Sebuah tangan terulur di depannya, Chika mengangkat kepalanya dan mendapati Naoki sudah berdiri didepannya. Loh bukankah tadi dia lihat pria itu sudah setengah berlari seperti di kejar sesuatu, namun sekarang dia malah sudah didepannya lagi.

Chika meraih uluran itu, namun saat Naoki menariknya untuk berdiri dia langsung meringis menepis kembali uluran itu untuk memegangi kakinya.

"Sakit..."

"Kamu gak papa?"

"Sakit om."

"Wadohh kayaknya terkilir tuh, harus digendong mas." Ucap pengunjung lain yang ada disana. Alis Chika menukik tajam, matanya melotot saat Naoki berjongkok dan benar-benar berniat menggendongnya.

"Ehh gak usah om, aku bisa sendiri."

"Shut diem."

Nyali Chika menciut ketika ditatap dengan tajam seperti itu. Setelah mengangkat Chika, tak lupa Naoki juga membawa belanjaan gadis ini yang berserakan. Membawanya menuju parkiran tanpa mau berlama-lama lagi. Tak tahukah Naoki jika perbuatannya ini membuat jantung Chika berdegub dengan tidak teratur.


Chika melirik keatas dashboard dimana Naoki meletakkan barang belanjaan miliknya tadi, sebuah barang yang di khususkan untuk perempuan saja. Kekehannya tidak bisa ditahan lagi melihat betapa sweet nya ayah itu.

"Kamu ketawain apa?"

"Eh hehehe enggak om, lucu aja ada papa muda yang mau bela-belain masuk ke mall cuman buat beliin pembalut."

"Memang ada yang salah? Saya biasa tuh beliin pembalut itu buat Mira."

Chika tersenyum kecut, mendadak hatinya dikuasai iblis yang membisikkan rasa iri dan dengki kepadanya. Dimana dia merasa iri dengan Mira yang mempunyai orang tua yang begitu sayang kepadanya. Sedangkan ia disini hanya sendiri, berjuang sendirian melawan dunia.

"Enaknya jadi Mira, punya ayah kayak om dan aku tebak bundanya Mira juga gak kalah baik dari om. Sempurna banget hidupnya."

"Hmm bunda Mira sudah meninggal saat di umur 1 bulan."

"Hah apa? Ja-jadi Mira punya ibu tiri?"

"Bukan gitu, saya yang mengurus Mira sejak dia bayi. Memandikannya, buatin susu, gantiin popok, gendong dia.. semua itu saya lakukan sendiri. Mira itu udah kayak harta paling berharga buat saya, tapi saya belum bisa bahagiakan Mira sepenuhnya."

Terlihat Naoki mencengkram erat setir kemudinya, kedua matanya seolah terlapisi kaca bening. Chika yang menyadari itu pun menjadi tidak enak.

"Om salah, pasti Mira bahagia kok om. Meski gak dengan keluarga yang utuh tapi kasih sayang dan cinta tulus dari om pasti udah nyempurnain hidup Mira."

Entah apa yang Chika pikirkan namun tangannya terangkat sendiri mengelus bahu Naoki. Seolah ingin memberikan kekuatan. Dan Naoki pun tak keberatan dan membiarkan saja perlakuan Chika padanya.

"Astaga, maaf om."

Chika menarik kembali tangannya setelah sadar akan kelancangannya itu. Salah tingkah dan merutuki dirinya sendiri yang sudah bertindak tidak sopan. Ahh pasti Naoki akan berpikir dia gadis yang genit, padahal kan Chika hanya berniat menenangkan saja.

.

Ditengah guyuran hujan deras Naoki melajukan mobilnya membelah jalanan, dia menggerutu dengan derasnya hujan ini yang membuat pandangannya sedikit buram. Jam yang sudah menunjukkan pukul 9 malam membuatnya sedikit senang karena jalanan cukup lengang sehingga tak menghalanginya untuk sedikit mengemudi dengan kecepatan sedang.

Mata itu ia sipitkan saat melihat seorang wanita berjalan di pinggir jalan, tanpa payung membuat tubuhnya tentu basah kuyup oleh guyuran hujan. Naoki meringis ngeri, merasa takut jika itu bukan wanita biasa. Mana mungkin ada yang mau hujan-hujanan di hari yang sudah gelap seperti ini dan juga suasana sesepi ini.

Dia kian menginjak pedal gasnya dalam, matanya tetap penasaran melirik wanita itu dari kaca spionnya. Ingin memastikan jika kaki itu masih menapak pada tanah. Namun itu membuat Naoki berhasil melihat wajah wanita itu. Matanya membulat. Pedal yang semula ia injak dalam-dalam langsung ia lepas berganti untuk menginjak pedal rem.

Naoki menengokkan kepalanya kebelakang, memastikan lagi jika ia kenal dengan wanita itu.

"Astaga, apa yang ada di pikirannya." Gumam Naoki lalu keluar dari mobilnya begitu saja tak peduli dirinya yang akan basah kuyup terkena hujan.

Langkah lebarnya bergerak menghampiri si wanita yang masih berjalan gontai sambil menatap kosong kedepan. Belum juga Naoki sampai di depannya, si wanita sudah jatuh terlebih dahulu. Tergeletak di jalanan yang basah oleh hujan.


Mata indah itu mengerjap perlahan, kepalanya terasa begitu pening. Hingga sampai ia tersadar, tak sengaja tangannya mendapati handuk basah yang ditaruh pada keningnya. Seketika matanya terbuka dengan sempurna, ia begitu kebingungan mendapati dirinya tersadar di kamar yang begitu ia kenal. Ini kamar miliknya sendiri.

Pening kembali menyergapnya. Kenapa ia bisa berada di sini, padahal tadi seingatnya ia berjalan tanpa arah dibawah guyuran hujan. Semuanya basah, dari rambut hingga baj-

"Astaga!" Pekiknya kaget, dia terlonjat duduk fiatas ranjang dan melotot lebar begitu menyadari pakaiannya sudah berganti dengan yang baru.

Tatapan matanya menelisik ke sekitar, mencari siapa yang sekiranya mungkin menolong dirinya. Tapi rasanya tak mungkin, bahkan sepertinya tak ada orang lain yang tahu dimana tempat tinggalnya.

Pintu kamarnya terbuka, sosok yang masuk dengan menebarkan senyum penuh pesonanya itu sungguh membuat gadis ini terbelalak kaget.

"Om Naoki?"

Naoki tersenyum, dia melangkah mendekat kemudian duduk ditepi ranjang. Menyentuhkan punggung tangannya pada kening gadis ini untuk memeriksa suhu badannya.

"Udah agak mendingan." Ucap Naoki, tangannya ia tarik kembali lalu tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada gadis itu. "Kenapa?"

Sontak wajah gadis itu mundur menjaga jarak, dia menatap takut pada sosok yang seakan sengaja di takdirkan oleh Tuhan untuk terus hadir saat ia butuh bantuan.

"O-om Naoki kenapa?"

"Kamu yang kenapa! Kenapa malam-malam hujan deras kayak gini kamu ada di luar? Jalan-jalan gak jelas, sampai kamu pingsan di jalanan. Kamu pikir kalo saya gak ada, apa yang bakal terjadi sama kamu Chika?" Ucap Naoki menatap tajam pada gadis didepannya ini.

Chika menundukkan kepalanya mendengar ucapan Naoki, bukan karena takut. Namun dia hanya teringat kembali tentang sesuatu.

"Ha-hari ini aniversary pernikahan papa dan mama, sekaligus tanggal dimana mereka pergi meninggalkanku untuk selama.." cicit Chika, gadis itu meremat selimut tebalnya. Kaca bening terlihat jelas di kedua mata coklat indahnya. Bibir merah itu juga bergetar menahan tangis.

Naoki menjadi tertegun mendengar ucapan gadis ini, jadi dia tidak punya orang tua? Astaga kenapa aku baru sadar, pantas saja dia tinggal sendirian disini. Pikir Naoki.

"Hari ini... seharusnya menjadi hari yang membahagiakan, tapi semuanya sirna setelah kejadian malam itu empat tahun lalu."

"Awas..."

Cittttt

Brakkk...

Chika menutup kedua telinganya rapat saat bayangan kecelakaan itu terlintas kembali di kepalanya. Dimana mobil yang di kemudikan sang papa tertabrak mobil lain yang melaju tak terkendali dari arah berlawanan. Kejadian berlangsung cepat, yang bisa Chika ingat hanya ia terbangun di rumah sakit. Hingga ia sadar jika ia sudah kehilangan kedua orang tuanya dihari itu.

"Untuk apa Tuhan menyelamatkanku, seharusnya Tuhan juga memanggilku bersama papa dan mama. Arhh sekarang aku tidak punya siapapun, apa lagi yang aku harapkan dari dunia ini..."

Gadis ini menangis histeris, memukuli kepalanya sendiri sembari merapalkan seruan memanggil papa dan mamanya.

Dengan jiwa kebapakan yang Naoki miliki, dia bisa merasakan rasa kehilangan yang besar pada diri Chika. Ia jadi teringat dengan putrinya sendiri. Tanpa pikir panjang ia menarik kedua tangan Chika agar berhenti menyakiti dirinya sendiri. Memberikan pelukan hangatnya serta kata-kata penenang yang rupanya itu berhasil membuat Chika menjadi terkendali lagi.

Cukup lama mereka dalam posisi berpelukan seperti itu, hingga Naoki merasa hembusan nafas teratur di dadanya. Dia melirik ke bawah mendapati Chika sudah memejamkan kedua matanya. Dengan hati-hat ia membaringkan gadis ini kembali, selimut ia tutupkan di tubuhnya. Naoki tersenyum miris melihat gadis itu, ternyata kehidupannya tidak seberwarna yang ia lihat. Ada luka menganga yang gadis ini simpan dalam hati, dan hebatnya ia mampu menyembunyikan itu semua dengan senyum indahnya.

Hari sudah sangat larut, dia tidak bisa meninggalkan Chika dalam keadaan seperti ini begitu saja. Naoki takut apabila Chika kembali di kuasai oleh pikiran dangkalnya dan bertindak membahayakan. Akhirnya Naoki memutuskan untuk menginap.

Dia duduk bersender di headboard dengan kedua tangan di lipat di depan dada. Mulai memejamkan matanya untuk menjemput mimpi.

Siapa sangka beberapa saat Naoki menutup mata, ada sepasang mata lain yang justru terbuka. Itu adalah Chika. Dia memandang lekat pahatan sempurna paras pria itu.

'Tuhan terus mempertemukan kita saat aku dalam kesulitan, apakah itu artinya kita memang berjodoh? Tapi yang jelas, aku ngrasa nyaman saat berada disampingmu, Naoki.'

Gadis ini bersusah payah untuk kembali bangkit, di elusnya dengan lembut rahang kokoh tersebut.

Cupp...

Satu kecupan lembut ia daratkan di bibir merah sexy itu, Chika dibuat terkejut saat bola mata Naoki kembali terbuka menatap kepadanya. Bukannya segera melepaskan ciuman curian itu namun Chika malah melingkarkan kedua tangannya di leher Naoki dan mencium lebih dalam lagi. Hati Chika bergejolak riang saat Naoki tidak menolak ciumannya meski pada kenyataannya dia pun tidak membalas ciuman tersebut.

Ciuman terlepas, Chika menyatukan kening keduanya.

"Makasih... makasih banyak selalu hadir saat aku butuh seseorang."

Naoki tidak menjawab, ia hanya melingkarkan kedua tangannya pada pinggang ramping gadis ini. Menariknya dalam dekapan lalu memberikan elusan lembut pada punggung belakang Chika.

.

Chika tersenyum melihat seseorang yang berada di balik kemudi, pria itu terlihat melambaikan tangan kearahnya. Lambaian itu kembali di turunkan cepat membuat Chika menoleh kebelakangnya. Dia melihat Mira yang tengah berjalan sembari menunduk. Mira melewatinya begitu saja.

"Mira.."

Kepala Mira terangkat mendengar suara berat itu, wajahnya begitu terkejut melihat sang ayah sudah berdiri di samping mobilnya.

"A-ayah?"

Seakan tak percaya, Mira berlari kearah ayahnya. Tentu ia kaget melihat ayahnya untuk pertama kali mau menyempatkan menjemput dirinya di sekolah. Pelukan itu begitu erat, Mira terlalu hanyut dalam bahagia sampai ia tak sadar jika ayahnya yang tengah memeluknya juga sedang melambaikan tangan. Lambaian tangan yang ia tujukan pada Chika.

Inilah awal dari semua yang terjadi kini. Sejujurnya dari awal Naoki bersikap baik hanya untuk mengobati hati Chika yang hancur, memosisikan diri sebagai orang tua pengganti dan memberikan kasih sayang sama seperti yang ia berikan pada Mira. Tapi lambat laut, ada rasa tersendiri yang muncul dari dalam hatinya dan dia tak bisa mengelaknya. Rasa kasih sayang yang ia berikan tak tahu mengapa berubah menjadi rasa cinta dengan rasa ingin memiliki. Hingga sampai menjadi seperti ini lah akhirnya.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

os jeketiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang