11 (1/2)

150 28 14
                                    

"Gimana, Jane, si katingmu itu?" Tanya mamanya Jane saat mereka sedang sarapan.

Saat ini, Jane dan mamanya sedang sarapan di rumah mereka. Sudah dari beberapa hari yang lalu mamanya Jane pulang dari RS. Artinya, sudah lebih dari seminggu juga Farel menghilang dari Jane.

Jane sebetulnya sudah memiliki asusmsi kenapa Farel menghilang lagi darinya entah ke mana. Namun, Jane masih denial dan berharap Farel akan segera kembali.

Jane pun tidak menggubris pertanyaan mamanya. Sungguh, Jane sama sekali enggak mood untuk membahas soal itu saat ini. Pikirannya sedang kacau, kebingungan, dan lain sebagainya.

"Siapa tuh namanya? Farel, ya? Betul Farel, 'kan? Laki-laki yang kamu inginkan jadi penggantinya Keenan itu loh!" Rupanya, mamanya Jane memang sengaja mendesak pertanyaan seperti itu ke Jane. Mungkin agar Jane segera sadar kalau katingnya itu hanya main-main dengannya. Mamanya Jane juga berharap agar Jane segera memutuskan untuk menerima ide konyol mamanya, serta keluarganya Keenan.

Jane akhirnya menggubris mamanya. Namun, ia hanya dapat menggubris mamanya dengan lirikan kesalnya. Akhir-akhir ini, Jane memang sedikit lebih bisa mengendalikan emosinya ke mamanya. Tapi sebagai imbasnya, ke orang lain Jane menjadi lebih sensitif.

Misalnya saja keempat sobat magadirnya Jane. Mereka terkadang menjadi samsak omelannya Jane. Untung saja, mereka sudah kebal dan bahkan terkadang mereka malah mengusili Jane.

Apalagi Keenan. Sejak mamanya Jane keluar dari RS beberapa hari yang lalu, Jane akhirnya mau kembali konseling dengan Keenan. Tentu saja itu karena mamanya yang memelas kepada dirinya.

Namun, peranannya Keenan sudah bukan hanya sebagai seorang psikolog saja. Si Psikolog Gadungan itu, selain menjadi psikog dan --- ekhem --- calon suaminya Jane, ia juga harus menjadi samsaknya Jane. Sejak Jane akhirnya bersedia untuk konseling lagi dengannya, Keenan harus merelakan telinga imutnya itu terpapar omelan-omelannya Jane, yang tentu saja disertai kata-kata kasar khasnya Jane.

Andai saja Jane tidak sayang dengan mamanya, boro-boro ia bersedia untuk mempertimbangkan ide konyolnya dengan Keenan, konseling saja pun Jane tidak akan mau lagi. Dia kan sebenci dan semuak itu sama Si Psikolog Gadungannya. Tapi, demi mamanya mau melakukan perawatan kankernya, Jane pun menurut untuk konseling lagi dengan Keenan. Namun sebagai imbasnya, Keenan harus selalu sabar menghadapi sikap sinisnya Jane dan kata-kata ketusnya Jane.

Cogan mah sabar :")

"Enggak bisa diperpanjang apa, Ma? Farel kan lagi sibuk skripsi," jelas Jane sedikit merajuk sambil memanyunkan bibirnya.

"Kamu mau mama keburu meninggal sebelum dioperasi?" Dengan santainya, mamanya mulai mengeluarkan senjata ampuhnya. Sekarang senjata ampuh mamanya Jane sudah semakin banyak, yaitu menyinggung tentang penyakitnya yang sudah parah, perawatan, operasi, dan nyawanya.

"APA SIH, MA?! JANGAN BAWA-BAWA ITU!" Sergah Jane sambil melotot ke mamanya. Ia panik banget kalau mamanya berbicara tentang itu. Makanya, untuk persoalan yang seperti itu, Jane sangat sering enggak bisa menahan emosinya.

"Kan aku udah konseling lagi sama dia! Emangnya itu enggak cukup buat bikin mama percaya sama aku dan melakukan operasi secepatnya?" Lanjut Jane. Matanya Jane sudah sedikit berkaca-kaca karena perkataan mamanya tadi, yang membawa-bawa tentang kematiannya.

Lagian, mamanya kenapa tega banget sih, selalu seenteng itu mengatakan bahwa dirinya akan segera mati? Jane kan sedih banget membayangkan kalau hal itu betulan terjadi! Mamanya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Enggak mungkin dia selalu menempeli keempat sobat magadirnya itu, 'kan? Mereka kan juga punya keluarga dan kehidupan masing-masing.

Borderline - Chanyeol X Wendy [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang