Juyeon mengerjapkan matanya, beberapa saat lalu ia tanpa sadar jatuh ke dalam mimpi. Sama halnya dengan Eric begitu kepalanya tertoleh dan menemukan lelaki itu sudah memejamkan kedua matanya. Juyeon perlahan bergerak, merasakan bahu beserta lengannya kram.
Ia mulai memindahkan posisi tangannya, ke bawah lutut Eric dan ke punggung kecilnya. Rencana Juyeon saat ini adalah membawa tubuh mungil itu ke dalam agar tidak kedinginan. Segera ia bangkit, dengan kedua tangan mengangkat tubuh Eric yang ternyata ringan. Juyeon beranjak masuk ke apartemen, mendorong pintu kamar Eric menggunakan bahunya.
Juyeon panik. Ia nyaris membuat Eric terbangun karena tanpa bisa ia tahan, keseimbangannya hilang dan kini tubuhnya jatuh tepat di atas tubuh Eric yang baru saja ia selimuti. Cepat-cepat lelaki itu bangkit, kemudian berlari keluar kamar Eric dan menyambar jaketnya yang tersampir di dekat pintu apartemen.
Juyeon meraih knop pintu, membukanya dan segera mengambil langkah lebar keluar dari apartemen adik kelasnya itu dengan kedua telinganya yang memerah.
—
Eric membuka matanya, merasakan sesuatu menutupi tubuhnya dengan hangat. Pandangannya turun pada tubuh mungilnya yang kini sudah terbalut selimut tebal milik Jeno. Kedua alisnya saling bertaut, kenapa ia bisa tidur di kamar Jeno?
Bukankah semalam– ah, Eric ingat. Semalam sepertinya ia ketiduran akibat terlalu lama menangis dan terlalu–ehem, nyaman. Kedua ujung telinga Eric memerah tanpa bisa ia tahan, Juyeon semalam benar-benar menenangkannya. Tuhan seperti baru saja mendengar harapan Eric dengan menghadirkan sosok Juyeon semalam.
Segera saja ia menutup seluruh tubuhnya dan berteriak dengan kencang. Apa-apaan detak jantungnya ini?! Masih pagi dan Eric sudah nyaris mengalami serangan jantung.
Eric beringsut turun dari kasur Jeno, berjalan dengan sedikit sempoyongan ke arah pintu. Sesekali ia menguap, sementara matanya mencari keberadaan jam dinding yang tergantung di ruang tamu. Pukul 06. 10 AM, masih terlalu pagi untuknya mengawali hari liburnya.
Baru saja ia berniat untuk masuk ke kamarnya, suara pintu apartemennya dibuka oleh seseorang mengurungkan niatnya. Eric berjalan mendekat ke ruang tamu dan mendapati Jeno sudah duduk di sofa.
"Ric, gue punya kabar buruk," kata Jeno sebagai pembuka topik pagi ini.
Eric mendekat, menjatuhkan diri di sebelah kembarannya itu. "Apa?"
Pandangan Jeno lurus, tepat pada mata Eric. "Bang Jae bilang, bunda meninggal karena ditikam seseorang."
Hati Eric mencelos, mendengar nama salah satu orang terkasihnya pergi begitu saja tanpa sempat pamit kepadanya. Tubuhnya melemas, sementara Jeno dengan cekatan menahan tubuh Eric yang mulai merosot dari sofa.
"Jen, lo yang bener aja?" Tangis Eric pada pagi ini pecah, kedua bahunya bergetar.
Jeno membuang muka, merasakan pilu yang kini tengah Eric rasakan. Kemudian dengan perlahan lelaki itu menggeser tubuhnya, merengkuh tubuh mungil kembarannya itu erat. Eric terisak, bersamaan dengan Jeno yang mulai menitikkan air mata.
—
21 Juni, 2020hm... no comment deh
KAMU SEDANG MEMBACA
fake | juric. ✓
FanfictionDi balik topeng bahagianya, ada tangan yang siap menampar dirinya agar kembali pada kenyataan mengenai kehidupannya. warn! bxb, sensitive topic, a lil bit mature content, typo(s). Ⓒ httptbz, 2020