"Kita bakal tinggal di sini, Jen?" tanya Eric ragu sambil matanya menelisik ke sebuah rumah minimalis di hadapannya.
Jeno mengangguk, lalu ia mulai menekan bel yang tersedia di pagar rumah sebelum seorang lelaki membukakan pintu. "Gue kira lo masih tidur, Jun," ucap Jeno santai.
Xiaojun menguap, kemudian mengacak-acak rambutnya. "Kebangun gara-gara lo mencet bel gak manusiawi banget," balasnya sambil membuka lebih lebar pintu gerbang. "Masuk," titahnya pada sepasang kembar itu.
Jeno dan Eric segera menggeret koper memasuki pekarangan rumah tersebut, membiarkan Xiaojun memimpin untuk menunjukkan letak kamar yang akan keduanya tempati. Sampai baru saja Eric ingin masuk ke dalam kamar menyusul Jeno serta Xiaojun, atensinya menangkap sebuah bingkai di dekat ruang tamu.
Lee Sangyeon bersama seorang lelaki manis, berpakaian seperti pengantin.
Lantas tanpa banyak bicara, Eric membuang pandangannya. Berusaha tak terlalu memicingkan matanya melihat wajah pria gila itu, mengabaikan Chanhee yang diam-diam memperhatikannya dari ruangan lain.
—
"Jen," panggil Eric menggoyangkan lengan kembarannya itu yang tengah berbaring. "Gue mau keluar, nyari makan. Lo mau ikut?"
Lelaki berahang tegas itu mengerang, ia baru saja memejamkan mata dan Eric sudah mengganggu mimpinya. "Nitip aja gue," jawabnya parau, sedikit rancu dengan kesadaran yang baru terkumpul setengah.
Eric mendelik. Jeno ini benar-benar tidak peka atau bagaimana?! Maksud Eric 'kan ia tidak ingin sendirian keluar malam-malam begini. Mana ia belum terlalu hafal jalan-jalan di sekitar sini.
"Ish," Eric mendesis. "Ayo, Jen! Lo mau gue diculik wewe gombel?! Diumpetin di ketiaknya?"
Jeno mengerjap, sebelum salah satu kakinya terangkat untuk menendang pinggang Eric. "Ganggu aja! Sana, telepon kak Juyeon aja! Sekalian hitung-hitung nge-date, ribet banget." Lantas ia kembali menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.
Meninggalkan Eric yang merengut sebal akibat tendangan pada pinggangnya oleh Jeno.
—
Eric memutuskan keluar seorang diri. Ia tidak mau membangunkan Xiaojun dengan menggedor pintu kamarnya, itu sama saja akan membuat tubuhnya menjadi bahan tendangan dari saudara tirinya itu.
Lelaki mungil itu menggerutu kecil seiring tungkainya membawa dirinya melewati trotoar sepi, melupakan perkataan Xiaojun mengenai larangan untuk keluar pada malam hari sendirian dan melewati jalan tersebut.
"Hei, manis."
Tiba-tiba lengannya dicekal seorang pria bertato, menghentikan langkahnya dengan seringai tercetak jelas di wajah penuh lukanya.
Eric tersentak menyadari pria itu tak sendirian, kepanikannya semakin menjadi kala pria lainnya mulai menahan tangannya yang lain. Kemudian menarik tubuh gemetarnya ke sebuah gang sempit.
BRAK!
Lelaki mungil itu meringis merasakan punggungnya menghantam keras salah satu tembok setelah kedua pria asing itu mendorongnya. Kedua lututnya melemas begitu beberapa pria tersebut mulai memojokkannya pada tembok, membiarkan wajahnya memucat seiring salah seorang pria itu menyentuh permukaan wajahnya.
"Dingin sekali badanmu, ingin kami hangatkan?" tawar pria itu sambil mengelus sebelah pipi Eric.
Eric tak menjawab, terlalu takut dengan pikiran yang semakin tak karuan kala jaketnya mulai ditarik, dipaksa untuk mereka buka. Ia mencoba memberontak, sesekali berusaha menendang kaki mereka meski selalu saja meleset.
Tawa keempat pria asing itu menguar bersamaan dengan jaket milik Eric terbuka, menyisakan kaus hitam polos tanpa lengannya serta wajahnya yang semakin memucat.
Dugh!
"Jauhin tangan kotor lo semua, sialan!"
—
7 Juli, 2020haha maaf malah kepikiran konflik lain..., habisnya bingung mau diselesaiin gimana heu :(
KAMU SEDANG MEMBACA
fake | juric. ✓
FanfictionDi balik topeng bahagianya, ada tangan yang siap menampar dirinya agar kembali pada kenyataan mengenai kehidupannya. warn! bxb, sensitive topic, a lil bit mature content, typo(s). Ⓒ httptbz, 2020