Juyeon mengacak rambut Eric. "Dibilangin jangan nangis sama ngerasa bersalah terus," tegurnya sambil tersenyum hangat.
Pandangan Juyeon jatuh pada sepasang mata indah berkaca milik Eric, sementara sang empunya masih kesusahan untuk menghentikan tangisnya sedaritadi. Eric merasa... alur hidup yang diatur oleh Tuhan hanya tentang bagaimana ia menangis dan merasakan seluruh bebannya semakin menumpuk. Tapi sejak saat ia memilih untuk lebih terbuka pada kakak kelasnya itu, Eric paham kenapa diberikan beban yang tak setimpal dengan tinggi badannya.
"Kak Juyeon," panggil yang lebih muda, terdengar ragu.
Juyeon berdeham, melegakan tenggorokkannya. "Kenapa, Eric?"
Eric menggigit bibir bawahnya. "Makasih.."
"Untuk?"
"Untuk..," Eric menjeda ucapannya sejenak, hendak menarik nafas dalam-dalam. "Udah mau dengerin cerita aku, gak ninggalin aku padahal jelas-jelas kakak tahu gimana keadaan aku sekarang ini. Terus juga—"
Ucapan Eric terhenti begitu saja tatkala Juyeon mendekatkan wajahnya dan menempelkan kedua hidung mereka. Kedua mata Eric melebar, bahkan tanpa sadar ia menahan nafas saat sapuan udara hangat terasa di kulit wajahnya. Ruangan bernuansa putih itu seketika hening, hanya terdengar bagaimana detak jantung tak normal baik Juyeon maupun Eric.
"Lekas pulih, sayangnya Juyeon." Lantas secara tiba-tiba, Juyeon memberanikan diri untuk mengecup sekilas bibir ranum milik Eric bahkan sebelum Eric hendak melontarkan balasan kepadanya.
—
Jeno menyandarkan tubuhnya pada Jaemin, keduanya ditambah Xiaojun yang memilih untuk menepi karena harus menjawab panggilan dari mamihnya masih setia menunggu di depan ruangan dimana Eric terbaring. Kepala lelaki berahang tegas itu rasanya akan segera meledak, jika saja dengan lembut tangan Jaemin tidak mengusap-usapnya.
"Jen, kamu gak apa-apa?" tanya Jaemin, cemas.
Jeno membenamkan wajahnya pada ceruk leher kekasihnya itu. "It's okay. Mungkin cuman karena kebanyakan mikir soal gimana ke depannya aja, selebihnya aku gak apa-apa." Ia mengangkat kepalanya, memaksakan diri untuk mengulas sebuah senyuman tipis pada Jaemin.
Jaemin menepuk salah satu pipi Jeno, menangkupnya dan secepat kilat mengecup hidung bangir lelaki itu. Setelahnya Jaemin menarik Jeno ke dalam rengkuhannya, melupakan eksistensi Xiaojun yang sudah duduk disebelah Jeno.
"Ehem. Sori ganggu lo berdua, cuman ini udah tengah malem dan di rumah sakit biasanya banyak yang bisa jadi orang ketiga di antara lo," ujar Xiaojun, datar.
Jeno mendelik, kemudian tangannya bergerak sedikit mendorong Xiaojun menjauh darinya. "Iya, dan lo orang ketiga itu. Hush, jangan ganggu, mending sana cari papih gila lo aja sama pacarnya yang lebih gak waras itu daripada disini bawaannya panas mulu."
Mendengarnya Xiaojun hanya bisa berdecak sebal. Niatnya sebenarnya sekalian ingin menjenguk Eric karena kebetulan tadi saat ia sedang mengendarai mobil dan mencari keberadaan papihnya, Xiaojun bertemu dengan Juyeon yang mengatakan kalau Eric masuk rumah sakit. Akhirnya ia menarik Juyeon masuk ke mobilnya, kemudian langsung tancap gas begitu firasatnya mengatakan kalau papihnya ada disana juga.
"Padahal niat gue baik, mau jenguk saudara," cibir Xiaojun. "Tapi kebetulan mamih udah keburu marah besar, jadi titip salam aja buat Eric. Bye," pamitnya sambil beranjak dan melenggang meninggalkan keduanya di koridor rumah sakit tersebut.
Tapi belum sempat punggungnya menghilang di balik tembok, kepala Xiaojun tertoleh ke belakang. "Kalau semisalnya papih atau pacarnya itu macem-macem, hubungin gue aja. Biar nanti gue bawa mamih gue sekalian. Oh– sama hati-hati, ya, gue pergi malah bukan cuman orang ketiga aja yang bisa ada, tapi bisa-bisa orang keseratus juga berkemungkinan hadir."
—
29 Juni, 2020berasa kemarin habis diterjang ombak di tepi pantai, terus sekarang malah hanyut ke tengah laut yang jarang ada ombaknya. eh gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
fake | juric. ✓
FanficDi balik topeng bahagianya, ada tangan yang siap menampar dirinya agar kembali pada kenyataan mengenai kehidupannya. warn! bxb, sensitive topic, a lil bit mature content, typo(s). Ⓒ httptbz, 2020