48

1.8K 248 13
                                    

Semuanya kembali normal.

Eric serta Jeno memilih untuk mengosongkan apartemen dan pindah ke rumah Xiaojun. Kehidupan keduanya ditunjang Chanhee, hingga Jeno tak perlu diam-diam harus kerja part time di salah satu cafe.

Meski sesekali diam-diam Eric masih sering mengunjungi apartemen seorang diri jika suasana hatinya sedang buruk atau pikirannya sedang kusut. Ia masih melakukan cutting, meski waktu Juyeon tanya ia menjawab sudah tak melakukannya lagi.

Entahlah, Eric merasa setelah ia melakukan hal seperti itu, perasaan juga pikirannya menjadi sedikit... lega?

Intinya, Eric beralasan pada dirinya sendiri bahwa cutting dapat menghilangkan sebagian bebannya selama sehari. Katakan saja Eric bodoh atau apapun, tapi nyatanya bad habbit-nya ini susah sekali untuk ia lepas.

Seperti malam ini, contohnya.

Eric mengirim pesan pada Jeno akan pulang telat karena ingin jalan bersama Juyeon, padahal tidak. Juyeon saja sekarang ini tengah disibukkan dengan jam tambahan karena sebentar lagi ia, Hyunjae, beserta Younghoon akan segera menjalani ujian kelulusan.

Lelaki mungil itu berdusta sewaktu Jeno menuduhnya hanya membual. Kembarannya itu jelas tahu kalau Juyeon sudah dihadapkan dengan soal-soal, lelaki Lee itu tidak akan pernah bisa diganggu. Bahkan dengan Eric sekalipun.

Jeno

| lo bohong ya?

engga, jen |
gue emang mau nyamperin kak
juyeon, sekalian kasih semangat |

| hm..
| yauda, hati-hati ya
| sampe ketauan bohong,
awas aja

iya jen iya |
read.

Eric bergegas masuk ke dalam bangunan bertingkat sepuluh tersebut, menunggu lift yang akan membawanya ke lantai lima, dimana apartemennya berada. Cuaca di luar sedang tidak bagus, angin bertiup cukup kencang dan nyaris menerbangkan beanie yang Eric kenakan. Udaranya pun terbilang dingin dan menusuk, padahal ini masih bisa dibilang sore.

Lelaki mungil itu mengeratkan jaketnya, mencoba menghalau rasa dingin dengan memasukkan kedua tangannya pada saku jaket dan sesekali menghembuskan nafas panjang. Lama sekali, gerutunya dalam hati begitu lift tak kunjung terbuka supaya membiarkannya masuk dan segera membaringkan tubuh di apartemen.

Ting!

Akhirnya setelah selama beberapa menit Eric sibuk menggerutu mengenai lambatnya lift, lift tersebut terbuka dan ia segera melangkah masuk tanpa ingin membuang waktu lebih lama. Sesekali Eric meremat seragamnya, mood-nya benar-benar buruk sejak terakhir kali ia dan Juyeon bertemu di gang sepi itu.

Kesialan terus menerus menimpanya, entah dalam bentuk fisik atau batinnya.

"Ck." Eric berdecak, tangannya beralih menekan password pada pintu apartemen sebelum tungkainya membawa dirinya masuk. Eric langsung menutup pintu dan berlari memasuki kamarnya, hendak membaringkan tubuhnya yang sudah sangat lelah.

Netra gelapnya berkilat tatkala petir tiba-tiba menyambar, menghasilkan cahaya yang cukup membuat kamarnya mendapat cahaya meski sesaat. Eric beranjak dari ranjang, membuka laci nakas disebelah ranjang dan meraih sebilah cutter yang sudah cukup lama menemaninya disaat-saat seperti ini.

Ia duduk di bawah kasur, membelakangi pintu kamar dan menghadap jendela yang kini menampilkan suasana gelap serta sesekali sambaran kilat yang saling bersahutan. Perlahan, pandangannya memburam, cairan bening mulai berdesakkan ingin keluar dan mengaliri pipinya.

fake | juric. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang