Setelah lama menunggu akhirnya pesanan mereka sampai. Ketiganya memesan Cappucino coffee yang sedari dulu menjadi kopi andalan mereka. Seorang barista bertopi menyajikan dengan ramah.
"Silakan Kak, Cappucino Coffee-nya," ucap barista itu seraya menata kopi itu diatas meja.
Yori dan Arini terlihat masih sibuk live instagram Yori sedangkan Hani menyambut kedatangan barista itu dengan santun.
"Terimakasih ya," ucap Hani lalu mendekatkan satu gelas ke arahnya.
Hani tertegun saat melihat ternyata barista itu masih belum pergi dari mejanya membuat Hani sedikit kebingungan.
"Kak, ada apa ya? Saya akan bayar tapi setelah saya habiskan kopinya ya," ucap Hani santun kepada seorang barista yang masih tak bergeming itu. Laki-laki itu tidak nampak jelas wajahnya karena tertutupi topi dan masker yang dipakainya, namun Hani melihat betul bahwa barista itu sedang menatap ke arahnya.
"Kak biar--"
Belum saja Hani menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba barista itu pergi meninggalkan meja itu tanpa aba-aba. Hani tentu penasaran dengan tingkah barista itu. Tak lama, ia mengingat satu hal,
Langit. Sorot mata yang sangat familiar, tatapan yang khas itu membuat Hani begitu mengenalinya.
Apa mungkin? Gumamnya dalam hati."Gais, gue ke toilet dulu bentar ya," ucap Hani mulai beranjak dari kursinya.
"Oke oke," sahut Yori dan Arini tanpa memalingkan pandangannya pada layar handphone.
Hani berbohong kepada kedua temannya. Ia tidak pergi ke toilet melainkan ke dapur pembuatan kopi di kafe itu. Ia sangat penasaran dengan sosok barista yang mengantar kopi tadi.
Hani melajukan langkahnya, mencari barista itu. Ia sedikit kesulitan karena hampir seluruh barista di dapur itu mengenakan seragam dan topi yang sama membuat Hani menghela napasnya pelan.
Seorang wanita kemudian menghampirinya, terlihat menggunakan seragam yang sama seperti barista yang lainnya seraya berkata, "Kak, cari siapa ya?"
"Em.... saya cari..." Hani kebingungan. Pasalnya ia tak tahu siapa nama barista itu.
"Cari yang nganter kopi barusan ke meja no 8," ucap Hani sedikit ragu."Biar saya cek," sahut wanita itu dengan ramah. Wanita itu terlihat berkutat di layar komputer, Hani menunggunya dengan rasa tak keruan.
"Oh, Mas Langit ya kak?"
Deg! Jantungnya berdetak lebih cepat. Apa dugaannya benar bahwa barista tadi adalah Langit? Hani tidak ingin salah mengambil keputusan, ia mencoba berpikir positif.
"La...Langit? Dd...dia barista di kafe ini?" Tanya Hani.
"Iya kak. Bahkan dia ia pemilik Kafe ini, tapi memang Mas Langit selalu ngeyel pengen ikut layanin pelanggannya."
Hani semakin tertelak. Fakta terlihat semakin jelas bahwa itu adalah Langit, cinta pertamanya yang bahkan sampai saat ini masih belum bisa ia keluarkan dari hatinya. Matanya mulai memanas, airmata membendung di kelopak matanya seolah siap ia teteskan sekarang juga. Namun, Hani menahannya. Ia berusaha membuka suaranya.
"Bu... bukannya Langit kerja di Mal--"
"Disana salah satu cabang Kafe Mas Langit Kak, dia sering mengunjungi Kafe disana juga," tutur wanita itu ramah.
"Oh, baik. Ta... tapi apa Langit masih ada disini sekarang?"
"Kebetulan, baru saja Mas Langit pergi, sepertinya Mas Langit pergi ke Kafe cabang di Bandung Kak," tutur wanita itu dengan ramah.
"Kalau boleh tau, Kakak siapanya Mas Langit ya? Biar nanti saya sampaikan kalau Kakak mau titip pesan ke Mas Langit.""Eng... enggak usah. Anggap aja saya gak pernah bertemu kamu dan gak pernah tanya apa-apa sama kamu ya. Saya bukan siapa-siapa-nya Langit kok. Permisi, terimakasih ya," ucap Hani kemudian pergi dari dapur barista itu.
Pikirannya mulai berkelana tak tertuju. Bayang-bayang Langit semakin menghantuinya, Lagi dan lagi. Ia mencoba melangkahkan kakinya menuju tempatnya semula meski terasa begitu berat karena pikirannya yang belum begitu stabil.
Ia terus berjalan perlahan sambil sesekali memandang beberapa sudut Kafe dan mengingatkannya akan hari itu, hari dimana ia berjumpa Langit di Kafe ini. Memang, setiap kali Hani bersedih pasti ia akan kesini untuk menenangkan pikirannya.
Saat itu ia sedang frustasi menghadapi daddy dan mamanya yang tak henti-hentinya bertengkar. Ia memilih pergi ke Kafe ini dan menangis, ia menangis cukup lama disana bahkan hingga larut malam tanpa melakukan apapun. Ia hanya menangis.
Sampai suatu ketika Langit yang saat itu menjadi barista disana menghampiri Hani, Langit akan segera menutup Kafenya karena saat itu sudah sangat larut malam.
"Maaf Kak, Kafenya akan segera ditutup," ucap Langit dengan begitu hati-hati. Hani tersadar, kemudian berdiri untuk pergi, namun Langit menahannya seraya berkata, "Silakan duduk kembali Kak, biar saya buatkan kopi untuk kakak," ucap Langit kemudian pergi dari hadapannya. "Tapi..."Saat itu Kafe sangat sepi, menyisakan mereka berdua. Langit menemani Hani sampai ia berhenti menangis.
Sejak saat itu Hani merasa nyaman dan ia selalu pergi kesana ketika ia sedang merasa bersedih atau ia sedang ada masalah. Apapun itu, Hani selalu bercerita kepada Langit.
Ia mencoba mengalihkan ingatannya karena sesak mulai menjalar di tubuhnya. Ia berusaha fokus dan kembali ke mejanya.
"Yaelah, dari toilet kok lama banget?" Ucap Arini saat melihat Hani datang.
"Iya nih, kopi gue aja udah abis," sambung Yori.
"Iya maaf, tadi gue mules banget," ucap Hani. Ia berbohong lagi. Sebenarnya ia tak mau berbohong pada sahabatnya itu. Namun Hani tak mungkin bercerita sekarang, di hadapan Yori yang juga merupakan masalalu Langit. Maka ia memilih menyimpannya sendirian, menahan sakit dan tangisnya.
A/N
Hehey! Makasih masih stay di cerita ini!
Me be like:
😍😍😍😍😍😍😍
KAMU SEDANG MEMBACA
LETS BE MY GIRLFRIEND [ON-GOING]
Teen FictionJANGAN LUPA BUAT REKOMENDASIIN CERITA INI❤ Cover by: moodcewekk "Tamu adalah raja." "Gue gak pernah anggap lo tamu di rumah ini." "Terus apa? Pacar? Suami?" Goda Arkan. "Ish. Kenapa sih gue harus ketemu sama orang se nyebelin lo?" "Kenapa sih gue ha...