[14]

36 2 0
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Aku tau semuanya sangat cepat.
Lalu apa yang harus kulakukan?
Jika perasaan itu tiba-tiba tercipta secepat kilat.

_Stella de Suzy_

“Menurutmu lebih baik aku sendirian disini tanpa Helden. Atau ikut pergi dengan taruhan nyawa?”
“Mungkin nyonya tidak akan benar-benar mati jika ikut dengan tuan.”

***
Sorenya Helden pulang dengan lesu. Surat pengajuan cutinya ditolak mentah-mentah oleh ayah kandungnya sendiri. Sebagai gantinya Verleden hanya membuat kesepakatan akan memberikan jaminan tunjangan untuk Suzy jika Helden gugur di medan tempur.

“Kau sudah pulang. Aku sudah mengisi air dingin di bak mandi. Kamu mandi dulu! Sebentar lagi satenya akan jadi.” Suzy mengelap tangan kotornya pada kain yang menutupi bagian depan tubuhnya. Diambilnya tas Helden dan diletakan pada kursi makan.

“Nanti aku taruh dikamar” Helden bingung dan terus memandangi wajah serius Suzy. Tangan lentiknya dengan cekatan melonggarkan tali kerah kemeja Helden. Seragam luarnya dilepas Suzy. Tiba-tiba Suzy tertawa renyah membuat Helden semakin bingung atas tingkah Suzy.

“Kenapa?”

“Tidak, tidak, tidak apa-apa. Hanya saja,aku teringat sering menghayal moment ini.” Suzy menahan tawa dan meletakan seragam Helden dilengannya. “Bukankah aku sudah seperti istri yang baik hati?” goda Suzy dengan mengedipkan mata pada Helden lalu mengambil tas Helden. Tanpa sadar Helden diam-diam mendekati punggung Suzy. Sikap Suzy yang tiba-tiba berperan sebagai istri membuatnya juga ingin berperan sebagai suami.

“Grabh! Bukankah aku sudah seperti suami yang baik hati?” Helden memeluk Suzy dari belakang.

“Hey! Mandi suamiku yang bau!” bisik Suzy pada telinga Helden.

“Laksanakan!” Helden mengangkat tanganya melakukan posisi hormat sempurna seperti apa yang dia lakukan pada atasannya.

Hari-hari sebelum kepergian Helden mereka terus bermain peran suami istri. Suzy terus mempertimbangkan keputusannya. Akankah dia mengambil resiko ikut Helden atau tidak. Sebenarnya dia ingin menghormati keputusan Helden. Itulah alasan dia terus bermain peran. Selain itu, Suzy juga takut Helden tidak akan pernah merasakan kehidupan pernikahan yang sangat didambanya.

Suzy akan memasak dan Helden akan mencuci piring. Suzy akan menyapu dan Helden akan mengepel. Suzy akan mengisi air dan Helden akan menjaga api menyala. Suzy akan merapihkan kerah dan Helden akan mencium kening sebelum berangkat kerja.

Mereka menghabiskan malam-malam dengan bercerita satu sama lain seolah tidak bosan dan berakhir dengan tidur dipelukan satu sama lain. Hari-hari itu sangat tenang dan nyaman membuat Helden ingin berhenti menjadi Jendral dan hidup bersama Suzy.

“Apa aku berhenti jadi Jendral saja?” bisik Helden dengan kepala dipangkuan Suzy.

“Tidak! Aku menolak! Sekedar informasi aku adalah seorang wanita matrealistis.” Ditekannya kata demi kata.

“Hahahaha… Benar, tidak mungkin aku berhenti. Aku sudah janji akan membawamu kembali ke Hindia. Tentu saja satu-satunya jalan adalah mewarisi VOC.”

“Betul! Jika tidak kita akan ada dalam Daftar Pencarian Orang.” Mereka berdua tertawa dan menatap wajah satu sama lain. Hingga keheningan datang.

“Bolehkah?” Suara Helden saat menelan saliva terdengar jelas oleh telinga Suzy. Mendengar itu, Suzy juga ikut menelan saliva. Suara saut menyaut tegukan saliva keduanya kini terdengar kencang.

NOW AND KNOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang