[9]

73 3 0
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Entah dia atau kenangan itu yang terlalu ku sayangi
Hingga membuatku enggan untuk melupakannya
Meskipun ingin melupakannya
_JP Helden Verleden_

"Selamat tinggal Mart!" ku tutup matanya dengan airmata yang tanpa dapat ku bendung sedari tadi. Lalu kubawa wanita pribumi disampinya karena masih terasa urat nadi di tangannya. "jangan sampai kamu mati seperti jalang itu!"

***

Ku hembuskan nafas lega telah keluar dari mansion itu. Kenapa bisa aku pernah suka dan kasihan dengan makhluk tanpa belas kasih itu? Perasaan sangat menyesal dan sadar akan betapa lemahnya jantung ini.

"Amit-amit deh sampai gue diapa-apain sama dia. Hiii!" bulu kudukku bergetar ngeri. Bagaimanapun juga segera pergi dari abad ini dan tidak kembali lagi adalah pilihan terbaik. Tapi bagaimana caranya untuk kembali?

"Hey, siapa disana" tiga orang pria dengan seragam berlari menghapiriku. Satu-satunya hal yang harus dilakukan dalam kedaan ini tentu saja berlari secepat mungkin.

"Haha.. lari saja sana disana hanya ada jalan buntu." Bagaimana mungkin hanya ada jalan buntu?

"Tau ah yang penting gue lari aja." Seperti dikejar anjing, meskipun tau tidak ada jalan di depan kita, yang terpenting menghindar dulu dari gigitannya bukan? Sepanjang pelarian doa tidak pernah berhenti dari milut ini 'semoga ada keajaiban datang padaku'. Seperti keajaiban perpindahan waktu yang ku alami ini. Meski lebih tepatnya kesialan.

Sekitar 10 meter kereta medis yang sempat ku tumpangi saat tiba di Amsterdam terparkir. Biasanya dalam sebuah adegan sinetron saat seseorang berlari dari dari kejaran mereka selalu menaiki kendaraan yang terparkir. Pada saat itu juga adegan itu ku praktikan langsung.

Salah satu anggota medis yang pernah kulihat tempo lalu sudah duduk di dalamnya. Perempuan yang kuperkirakan umurnya lebih tua sedikit dengan Helden. Bukankah dia yang terus diam tidak mempedulikanku di dalam kereta?

Wanita itu membuka gerai pembatas dengan kusir lalu berbicara bahasa Belanda. Tidak lama kemudian kereta kuda mulai bergerak. Ternyata adegan itu berhasil mengecohkan tiga prajurit itu. Hingga aku sadar jalan yang sedari tadi kami lalui terasa tidak asing. Kini aku sadar seratus persen bahwa ini jalan menuju mansion psikopat itu.

Segera ku genggam tangan wanita itu lalu menggelengkan kepala karena tidak tau bahasa Belanda. Seolah paham wanita itu melewati mansion Helden dan melanjutkan perjalanan

"Terimakasih!" ucapku lega sambil membungkuk ala penghormatan kerajaan. Senyum merekah dari mulutnya membuatku sadar, mungkin aku dapat mengandalkannya.

"Kamu bisa bahasa Indonesia?" dengan cepat ku ralat ucapan itu "maksudku Hindia?"
"Timur?" Tanyanya menggunakan bahasa Indonesia zaman dulu dan kujawab dengan anggukan. Aku baru ingat kalau dulu Indonesia diberi julukan Hindia Timur.

"Tentu saja bisa. Aku sudah bertugas disana selama 15 tahun." Air mataku menetes saat ada kebetulan seperti ini. Ini merupakan takdir paling mengharukan sepanjang hidup. "Kamu mau tinggal sebentar di rumah ku?"

"Bisakah?" tanyaku dengan perubahan wajah seratus delapan puluh derajat dan mencoba keren. Mau dimanapun aku tidak boleh terlihat menjadi seorang penakut. Namun perubahan wajahku itu seketika membuatnya tertawa.

"Kamu mirip seseorang. Perkenalkan namaku Arnold de Luzy panggil aku Luzy." Bagaimana cara ku memperkenalkan diri disini? Di abad 20 memiliki nama internasional sudah biasa. Haruskah aku membuat nama Internasional untuk menyesuaikan? Mungkin itu lebih baik. Berada di zaman sejarah dan memiliki hubungan erat dengan orang-orang yang kemungkinan besar namanya akan tercatat dalam buku sejarah kelak. Aku tidak ingin nama asliku ikut terseret dalam buku bahkan mungkin internet.

NOW AND KNOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang